Friday 6 September 2013

Cerpen Cinta: Bukan Cerita Biasa

Bukan Cerita Biasa
oleh Fahrial Jauvan Tajwardhani

Cinta itu ibarat perang, berawalan dengan mudah namun sulit di akhiri.

Suatu hari, bermula dari pertemuan-pertemuan yang menyenangkan disekolah. Kebiasaan-kebiasaan ramah, saling bertatap wajah. Bercanda gurau habiskan masa-masa sekolah (dari tk, sd, smp, sampe sma) penuh suka, penuh gembira. Hingga akhirnya tercipta sebuah rasa yang dinamakan cinta.
***

Tak terasa masa-masa sekolah akan berakhir didepan mata. Masa muda yang penuh cita siap menantang dunia berupaya mengubah jalan cerita di hidupnya. Kemudian ada cinta yang merangkul rasa menemani ceria yang sebentar lagi akan berbalut luka. Karna akan berpisah selamanya.

Begini ceritanya,

Anatasha dan Reza, sejak kecil sampai remaja selalu bersama. Alasan apapun tak pernah membuat mereka berpisah. Tak pula mereka hanya sahabat saja, melainkan sejoli yang tangguh dan kokoh dalam cintanya.

Meski Reza tau Anatasha tak bisa bertahan hidup lebih lama darinya. Hal itu tak membuatnya goyah ataupun menyerah mencintai kekasihnya. Hanya saja, Reza tak kuasa menahan airmatanya manakala Anatasha memintanya pergi dan mencari pengganti dirinya yang tak sampai 1 bulan lamanya menikmati dunia.

Bukit berbunga, tepat dibelakang sekolah akan jadi saksi cinta mereka yang setia. Tempat favorit yang sering mereka kunjungi untuk mendengarkan lagu kesukaan bersama, belajar bersama, menikmati indahnya sunset yang jingga, tempat yang penuh akan kenagan manis mereka.

Itu semua akan jadi kenangan yang kemudian akan segera pudar sebagaimana tinta hitam yang melekat pada kertas putih kemudian terkena air lalu memudar dan akhirnya menghilang.
***

Ada pula cinta yang coba memaksa, datang menghantui Reza, memburamkan pandangannya agar Anastasha menghilang dari hatinya. Lantas cinta itu tak kuat merasuk ke hatinya hingga hilang dan berlalu begitu saja. Anatasha lah pemilik hati Reza seutuhnya. Hingga tak ada celah yang tersisa.

Tak sedikit air mata Reza yang tertumpah untuk Anatasha, manakala melihat tempat yang sering mereka lalui berdua hanya akan jadi kenangan.

Tak kalah hebat cinta Anatasha untuk Reza, korban rasa jadi hal biasa untuknya. Berpura-pura lupa telah mencinta, menyiksa hatinya demi kebohongan belaka. Hingga Reza tak terluka lagi dihatinya. Meski ceroboh tapi Anatasha melakukan yang terbaik untuk kekasihnya.

Tak terasa sampai pada waktu dimana 1 bulan kebersamaan mereka hanya tersisa 1 jam saja.

T ak banyak yang bisa dipersembahkan Reza untuk Anatasha yang waktunya hanya tersisa satu jam saja. Kemudian handphonenya berdering. Tak lama membuka handphone, airmatanya bercucuran di pipi. ‘waktu anda tersisa 1 jam’ begitulah tertulis pada catatan handphonenya. Pantas airmatanya berderai.

“Kenapa Reza menangis.”

“Aku hanya bahagia pernah berdampingan denganmu. Airmata ini sepertinya tulus keluar dari mataku,” Reza hanya tersenyum agar Anatasha tak mengkhawatirkan perasaannya.

“Meski itu bohong tapi aku bahagia mendengar ucapanmu,” tepisnya ragu perasaan Reza.

Reza hanya tersenyum. Kemudian bergerak, jalan menuju Anastasha.

“Hanya ada satu jam waktuku bersamamu, lalu apa yang kamu inginkan dariku? Apa aku harus melompat dari gedung tertinggi itu,” ujar Reza menunjuk gedung paling tinggi ditempat mereka berada, “Atau kamu mau aku menunggumu kembali?” lanjut Reza.

Airmata tulus mulai meleleh dari mata Anatasha. “Sudah saatnya cintamu diperbarui!!! Hari ini kurasa cintamu sudah sampai dibatas akhir.”

“Kalaupun kudapatkan kesempatan itu. Aku hanya ingin memperbarui cintaku dengan orang yang sama bukan dengan yang baru.”

“Bagaimana jika orang yang sama itu tiba-tiba menghilang?”

“Aku akan menunggunya kembali!!! Kapanpun aku menemukannya, aku akan mencintainya lagi. Seperti ini, iya benar-benar seperti ini.”

Anatasha menangis tanpa suara, melangkah tak bernada, kemudian bergerak, berdiri tepat membelakangi lelaki yang di cintainya.

“Waktumu hanya tersisa setengah jam. Lalu apa yang kamu inginkan dariku?”

“Gendong aku kemanapun kamu mau, kemudian bila aku diam, jangan pernah menoleh kebelakang. Jangan pernah berbalik melihatku, biarkan aku menghilang.”

“Sekali lagi aku mohon, saat aku tiada jangan pernah berbalik untuk mencariku, biarkan saja aku menghilang. Kumohon biarkan aku jadi bagian terindah dimasa lalumu. Biarkan aku tergantikan oleh orang lain.” Lanjut Anatasha terbata-bata dengan airmata yang membasahi pipinya.

“Bagaimana kubisa lakukan itu? Sementara sebentar saja aku tak melihatmu, aku berlari mencarimu. Mungkinkah aku bisa membiarkanmu pergi untuk selamanya? Aku tak akan menemukanmu lagi meski aku berlari lebih cepat dari biasanya.”

“Sebelum bertemu denganmu, aku hanya punya lem dan benang ditepian hatiku. Kemudian kamu datang merajut hatiku dengan benang itu, dan kamu kuatkan rajutan itu dengan lemnya. Lantas, bagaimana ia akan terbuka lagi?” lanjut Reza dengan airmata yang perlahan menetes.

“Biarkan ia sampai mengeras, tak lama ia akan pecah. Kemudian ada celah yang terbuka disana. Perlahan benangnya akan putus karna rapuh. Lalu ia sepenuhnya akan terbuka.”

“Tidak….! Jika benangnya putus dan hatiku terbuka, aku akan merajutnya kembali, meski itu menyakitkan. Tapi aku akan melakukannya.”

“Biarkan saja ia terbuka.” Suara Anatasha mulai letih, matanya terpejam. Tak lama badannya memberat.

Akhirnya, cinta mereka berhenti pada masa yang berbahagia. Dimana mereka saling tau apa yang dirasa, meski airmata yang jadi saksinya. Cukup yang dicinta tau apa yang di rasa, itu sudah cukup untuk bahagia.

SELESAI

Fahrial Jauvan Tajwardhani
Profil penulis:

Nama Lengkap: Fahrial Jauvan Tajwardhani
Panggilan : Jauvan
Agama : Islam

Jejaring sosial

Facebook : Fahrial Jauvan Tajwardhani
Twitter : @FahrialJauvan
Cerpen lainnya: Izinkan Aku Hidup

Tuesday 3 September 2013

Cerpen: Akhir Pertualangan Cinta Sang PlayBoy

Cerpen Playboy
Bicara tentang cinta, ya Boy dah biangnya. Si petualang cinta alias sang play boy ini akan mati-matian dan bila perlu sampe bersujud untuk merayu dan mendapatkan seorang cewek cantik. Sang play boy ini tidak akan pernah tahan bila sudah melihat cewek cantik melintas di depan matanya, seakan matanya tidak akan pernah berkedip untuk terus mengikuti langkah kaki sang cewek. Ya bila perlu sampe membuntuti dari belakang (emangnya mau nyopet, Boy?).

Singkat cerita Boy bakalan jungkir balik dah untuk mendapatkan sang cewek bila sudah naksir banget. Boy kagak perduli apakah nantinya itu cewek bakalan mau apa nggak? Apakah hubungannya nanti akan berlangsung lama atau nggak? Bagi Boy kudu mandapatkannya dulu, apapun caranya.

Lantaran cap play boy nya itu, si petualang cinta ini suka gonta ganti cewek (kayak baju aja Boy, digonta ganti). Tapi sayang dimata cewek-cewek di sekolahnya kartunya udah mati kagak bisa diperpanjang (kayak KTP aja ah). Sehingga sang play boy harus berpetuang di tempat lain, kecuali ada anak baru di sekolah ini yang kagak tahu dengan belangnya Boy.

Awal cerita neh. Pada suatu hari, Boy lagi ngebet banget sama Lila, adik kelasnya yang baru aja menjadi siswi di sekolahnya. Padahal saat itu, Boy sudah memiliki gandengan (kayak truk aja pake gandengan segala), si Ivon anak SMU 2.

”Jek, gua naksir banget nih ame anak baru,” kata Boy curhat dengan sobatnya Jaka yang biasa dipanggil Jek.

”Ah! Elo kagak boleh melihat barang baru apalagi yang cantik-cantik dan mulus-mulus,” jawab Jek. ”Tuh! Ada yang mulus, kenapa kagak lo embat aja sekalian?” lanjut Jek sambil tertawa menunjuk ke arah Pak Didin, guru Fisika yang jidatnya emang rada botak licin.

”Bercanda lu ah! Gua serius nih,” gerutu Boy.

Untuk cewek-cewek baru angkatan Lila, memang Lila bidadarinya. Orangnya cantik, putih dan tinggi lagi, perfect dah pokoknya. Tapi sepertinya bila dilihat, kayaknya Lila terlalu tangguh, lincah dan pinter untuk ditaklukan oleh sang play boy. Hati-hati Boy! Ini bakalan jadi batu sandungan buat lo. Lila juga terbilang cukup menonjol dan heboh diantara temen-temennya. Apalagi kalau sudah ngumpul maka suaranya akan lebih menonjol dan kedengeran kemana-mana.

Tapi dasar udah bergelar master play boy, akhirnya sang petualang berhasil juga dengan perjuangannya yang mati-matian dan bisa dibilang jungkir balik, rada susah banget memang untuk mendapatkan Lila. Akhirnya Sang play Boy berhasil meruntuhkan tembok hati Lila, runtuh oleh rayuan maut sang play boy yang memang sudah terkenal itu.

Ups! Tapi tunggu dulu sobat. Tadinya memang Lila belum tahu dengan Boy, tapi karena ia sudah lama temenan dengan Ivon, sehingga ia akhirnya tahu juga siapa Boy. Boy nggak tahu dengan situasi itu, ya karena asal seruduk aja kagak diselidiki dulu, siapa cewek yang bakal diseruduk (yah, itu tadi kelemahan si Boy maen seruduk aja. Kambing kali ya?) sorry Boy!.

Rupanya Sob, sang play boy sudah terperangkap dalam jeratan permainan cintanya sendiri. Boy terperangkap ke dalam skenario sandiwara cinta yang sudah dibuat oleh Lila. Lila memang menerima cintanya Boy, tapi ada maksud dan tujuannya. Itu bukan berarti ia mau berkhianat dengan temennya sendiri, Ivon. Karena skenario itu sudah ia beritahu sebelumnya kepada Ivon.

Lila yang cantik, lincah dan pintar ini, rupanya hanya ingin memberi pelajaran ekstra kurikuler kepada sang play boy. Dia tidak ingin kecantikannya dimanfaatkan hanya untuk dipermainkan, termasuk Ivon yang telah menjadi korbannya.

Walau terbilang anak baru, Lila termasuk cepat menyesuaikan keadaan dan peka dengan situasi perkembangan yang ada di sekolahnya, demikian juga dengan watak dan perilaku Boy yang sebaliknya akan menjadi korbannya. Ya, lantaran karena dia cukup gaul, sehingga sangat cepat mendapat kabar baru atau gosip-gosip dari teman-temannya.

Tapi secara naluriah wanita, mata hatinya tak bisa memungkiri, jika Boy terbilang cakep sehingga layak menjadi play boy. Wajar kalau Ivon pun jatuh cinta kepada Boy waktu itu. Cuma sayang kegantengan yang dimilkinya hanya untuk merayu dan berpetualang guna mendapatkan cewek-cewek cantik yang ia sukai. Boy lupa diri sehingga ia tidak tahu bahwa kaum cewek juga harus dan wajib dihargai dan disayangi, bukan untuk dipermainkan.

”La, elo kok mau aja menerima cintanya Boy. Nekat lu!” kata Mery merasa khawatir dan prihatin sama Lila. Wajar Mery khawatir, karena ia takut temannya yang cantik ini hanya akan menjadi boneka mainan, korban keserakahan cinta sang play boy.

”Terima kasih ya, Mer kamu telah mengingatkan dan menasehati aku. Aku tahu kamu khawatir kalau aku akan menjadi korban cintanya Boy. Tapi kamu tidak usah takut dan khawatir, aku sudah tahu kok siapa Boy sebenarnya. Aku menerima dia, bukan lantaran kegantengannya atau rayuan gombal murahannya. Lantas aku dengan begitu murahannya jatuh ke dalam pelukan Boy. Caranya dan rayuannya udah kuno terlalu konvensional, mudah ditebak, sayang,” kata Lila meyakinkan sobatnya Mery.

”Syukurlah kalau kamu sudah tahu siapa dia. Aku berdo’a moga kamu tidak terjebak dalam permainan cintanya Boy,” kata Mery lagi.

”Iya aku mengerti Sob. Tapi percayalah, sebenarnya skenario ini aku jalani ada maksud dan tujuannya, Mer. Tapi bukan berarti aku juga mau mempermainkan orang atau mau balas dendam sama cowok yang seperti ini, seperti yang pernah aku alami sebelumnya (ooo ...pernah mengalami bro). Gua hanya ingin dia bisa membuka mata dan hatinya, agar dia juga bisa menghargai kita sebagai kaum wanita yang secara fisik lemah dan butuh perlindungan. Kita bukan boneka yang hanya bisa dipermainkan untuk menjadi eksperimen cintanya kaum laki-laki.” Lanjut Lila.

”Baguslah kalau kamu punya pemikiran dan prinsip yang begitu luar biasa untuk memperjuangkan dan mempertahankan harga diri wanita,” kata Mery senang.

”Gua yakin, dia tidak akan bisa berbuat banyak dan macam-macam sama gua. Justru dia akan terperangkap sendiri dalam permainnan ini. Biar kelak dia tahu rasa, bagaimana rasanya kalau dipermainkan. Kuharap satu saat kelak dia nyadar telah menyakiti hati cewek-cewek yang telah menjadi korbannya.”

Bener. Dalam tiga bulan hubungan Lila dengan Boy, apa yang dikhawatirkan oleh Mery, benar-benar terjadi. Rupanya diam-diam Boy sedang menjalin hubungan dengan Kania, tetangga barunya Jek. Tapi bagi Lila itu bukanlah sebuah berita menakutkan, ibarat kesambar petir disiang bolong. Baginya itu bukan sebuah kejutan atau petaka baginya yang harus disesali dan yang ditakutkan oleh semua cewek. Apa yang akan terjadi kedepan semua sudah jauh ada dalam pikirannya. Itu pasti akan terjadi cuma menunggu waktu. Dalam pikirannya justru itu adalah awal petaka bagi Boy dan tentunya akan menambah serunya rencana permainan yang akan dibuat oleh Lila.

Ingat Boy! Ada pepatah mengatakan sepintar-pintar tupai melompat pasti akan jatuh juga, dan sepandai-pandai orang menyimpan kebusukan pasti akan tercium juga. Hukum karma pasti akan ada, Boy.

Elo bukan play boy, Boy. Elo lebih tepat dibilang bajing yang bajingan. Tunggu tanggal mainnya, lo. Semua akan berakhir, Boy. Gua akan beraksi, yang akan bikin lo bertekuk lutut di kaki gua, bisik Lila dalam hati.

Boy yang piawai dengan rayuannya dan ditambah dengan akting sempurna, bolehlah dibilang jagonya. Kata-katanya begitu manis dan santun dengan rayuannya akan membuat siapapun terkena tipu dayanya. Ditambah lagi dengan kepandaiannya mengatur strategi jitu dalam mengatur jadwal ngapel ke rumah pacar-pacarnya. Biar nggak dicurigai, ia selalu bilang kepada cewek-ceweknya, kalau ia ngapel nggak tergantung hanya pada malam minggu (kalau ngapelnya malam Jum’at, yasinan aja sekalian, Boy. He...he..he). Tetapi strategi seperti itu sudah duluan terbaca oleh Lila. (lagi-lagi terlalu konvensional, coy). Basi tau nggak! Sehingga Lila pun kagak terlalu mikirin banget tu anak mau ngapel atau kagak, termasuk pada malam minggu.

Melihat pertualangan sang play boy sudah over pede dan semakin menggila, karena denger-denger lagi, dia baru aja mau mendekati seorang cewek. Gila nggak tuh! Padahal ia belum lama menggaet si Lila (Gila bro! Lo doyan cewek apa lagi nuntut ilmu, Boy. Harus sampe berapa sih, cewek yang harus lo dapet, biar ilmu lo sempurna?).

Akhirnya Lila pun mulai mengatur rencana dan strategi pula buat ngerjain Boy. Seminggu sebelum menjalankan rencananya, Lila segera menghubungi Ivon. Sementara karena si Kania belum ia kenal, kemudian ia dan Ivon pun berusaha mencari dan menemui Kania. Setelah Lila dan Ivon menceritakan semua rencanya kepada Kania, mereka pun sepakat dan menjadi akrab sehingga mereka pun bersatu untuk menumpas kejahatan (kayak di sinetron silat aja).

Beberapa hari menjelang hari eksekusi terhadap Boy, ketiga bidadari itu pun sering berkumpul di rumah Lila dan berbagi cerita termasuk strategi nantinya. Merekapun akhirnya mempunyai tujuan yang sama yaitu membikin kapok dan mempermalukan si Boy, yang emang nggak punya rasa malu.

Sabtu, sehari sebelum rencana Lila dan temen-temennya dilaksanakan, mereka bertiga sengaja ngumpul di rumah Lila, karena hari itu rencananya Boy akan datang ke rumah Lila.

”Sebentar lagi Boy akan datang. Ntar kalian berdua ngumpet aja dulu di kamarku sambil nguping,” kata Lila mengatur strategi awal.

”Siplah!” jawab Kania.

”Terus langkah selanjutnya gimanah nih?” tanya Ivon pula.

”Nanti biarkan kita berdua seolah-olah enjoy dulu, ntar tugas kamu Von teleponin si Boy. Biar dia gelisah kita kerjain. Tapi ingat ini baru sebahagian dari rencana kita yang sebenarnya, karena rencana besar itu besok baru kita tumpahkan,” kata Lila ngejelasin.

”Oke kalau begitu,” kata Ivon sambil mengangguk dan bersemangat.

Tak beberapa lama setelah mereka bertiga ngerumpi, akhirnya Boy pun datang walaupun agak terlambat dari waktu yang telah dijanjikannya kepada Lila. Tapi itu semua tidak berarti bagi Lila, dan masa bodoh ah! baginya.

”Dasar jam karet,” bentak Lila pura-pura menggerutu seolah perhatian.

”Sorry deh telat dikit,” jawab Boy seolah tanpa dosa dan pede banget. ”Oya, gimana kalau kita keluar aja?” ajak Boy guna mengalihkah agar Lila nggak marah.

”Emangnya mau kemana?” tanya Lila asal.

”Terserah kemana, yang penting kita keluar aja,” kata Boy.

”Gua lagi males nih. Gua pingin di rumah aja,” jawab Lila penuh sandiwara. Sementara apa yang berputar dalam otak Lila, mampus ntar lo, nayawamu tinggal sedikit lagi, Boy.

Ketika Boy mau bicara lagi, tiba-tiba aja Hpnya berdering. Sementara dari raut wajahnya terlihat salah tingkah dan gugup banget, karena ternyata yang menghubunginya adalah Ivon. Gawat! Mati gue! pikirnya. Lila yang sudah tahu sebelumnya ambil gaya berpura-pura cuek dan nggak peduli banget, karena ia sudah tahu kalau itu dari Ivon.

”Bentar La,” kata Boy sambil meninggalkan Lila dari ruang tamu dengan penuh gundah menuju teras rumah, karena ia takut pembicaraannya didengar Lila. Padahal bagi Lila itu nggak penting banget.

”Halo Boy! Elo lagi dimana? Kok nggak jadi ke rumah kemaren?” tanya Ivon iseng seolah-olah ia berharap banget. Padahal ia hanya ingin menguji kejujuran Boy aja, walaupun sebenarnya dia sudah tahu apa jawabannya.

Ya nggak mungkin akan jujur orang seperti ini, abis emang sudah dari sononya nggak pernah jujur. Janjian mau ketemu dengan Ivon aja bisa batal. Ntah keduluan janjian dengan siapa saat itu sehingga nggak jadi ke rumah Ivon.

”Sorry ya, kemaren gua lupa. Gua sekarang lagi di rumah Jek,” jawabnya berbohong. Sementara matanya terus mengamati Lila di dalam rumah, karena khawatir kalau Lila nanti bisa mendengar pembicaraanya dengan Ivon. Bisa kiamat pikirnya.

Lo nggak perlu khawatir Boy, walau Lila nggak dengar, Lila nggak bakalan percaya sama elo. Jujur aja orang sudah kagak percaya sama elo, apalagi kalau elo berbohong.

Tapi sayang, rupanya suara Boy terdengar juga dengan Lila. ”Busyet! Sialan! Emang dasar buaya darat kampungan,” kata Lila ngomel sendiri dari dalam rumah. ”Elo lebih mentingin si Jek daripada kita-kita,” lanjut Lila lagi yang emang udah geram banget sama Boy.

”Elo lebih mentingin Jek daripada gua,” jawab Ivon pula dengan asal.

”Bukan begitu, sayang. Kemaren gua lupa ngasih tahu ke elo, kalau kemaren di rumah Jek lagi ada selamatan,” jawab Boy dengan penuh gombal kampungan. Sorry Jek, elo jadi tempat berlindung gua, bisik hati Boy.

Sayang kentut lo! bisik hati Ivon.

”Ya udah kalau begitu, sampe ketemu,” kata Ivon menutup pembicaraan.

Tak beberapa lama kemudian, dengan penuh salah tingkah si Boy pun kembali masuk ke dalam menemui Lila.

”Dari siapa sih?” kata Lila iseng pura-pura bertanya.

Kontan aja, mendengar pertanyaan Lila itu Boy terlihat serba salah dan salah tingkah, ia galau dan gelisah dengan wajah penuh dusta. Mampus dah!

”Dari Jek,” jawabnya santai.

Elo gak tahu kalau gua sudah tahu semua kebohonganmu. Dasar bajingan kampung, kata Lila ngedumel dalam hati. Lila pun kemudian diam seolah-olah percaya aja dengan jawaban Boy barusan. Baginya yang penting tujuan untuk mengerjain Boy harus lebih penting.

Boy yang emang sudah galau dan gelisah merasakan suasana sudah tidak nyaman, padahal nuansa di rumah Lila lagi nyaman dan adem. Akhirnya Boy pun terasa nggak betah dan pulang lebih cepat diluar dugaan Lila.

Keesokan harinya, yang merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh Lila, Ivon dan Kania untuk menghabisi dan menghentikan pertualangan sang play boy, Boy. Cukup sampe disini Boy, kata mereka bertiga.

Hari ini merupakan giliran Kania janjian ketemu dengan Boy. Mereka berdua sepakat ketemuan di kafe tempat pertama kali mereka bertemu, tempat pertama kali Kania menjadi korban rayuan gombalannya Boy. Boy benar-benar nggak nyadar kalau semuanya ini sudah diatur. Boy pun nggak nyadar kalau ia sudah masuk dalam sebuah perangkap skenario besar dari korban-korbannya sendiri.

Lila dan Ivon terlihat sedikit gelisah dan sudah tidak sabar menunggu kehadiran Boy. Mereka memang sudah pada duluan hadir di tempat itu dan berada di tempat yang tidak bisa dilihat oleh Boy.

Tepat pukul 20.00 wib, akhirnya Boy yang ditunggu-tunggu pun tiba langsung menghampiri Kania. Kania pun lantas berdiri dari duduknya menyambut kedatangan Boy.

”Sudah lama nunggunya?’” tanya Boy kepada Kania.

Basa basi doang lo! Bisik Kania dalam hati. ”Nggak, barusan aja aku disini,” balas kania juga dengan basa basi.

Lebih kurang tiga puluh menit sudah, Boy dan Kania berada di kafe ini sambil menikmati makanan yang mereka pesan, namun tiba-tiba aja Hp Boy berbunyi lantaran dihubungi oleh Ivon.

”Halo, met malam, Von,” kata Boy kalem membuka pembicaraan sambil menjauh dari Kania.

”Ya, malem,” jawab Ivon. ”Elo lagi dimana sih?” lanjut Ivon iseng bertanya.

”Gua lagi di rumah,” jawab Boy spontan.

Benar-benar bangsat, lo! Udah basi, telat lo ngelesnya! Bisik Ivon dalam hati. ”Kesini dong, gua lagi bete nih,” rayu Ivon sambil mencuil lengan Lila.

”Gua lagi capek banget, lagi males mau keluar. Sorry ya!” kata Boy pede dengan kebohongannya.

”Ya udah kalau begitu, nggak papa,” balas Ivon.

Setelah kontaknya diputus, Ivon dan Lila pun nggak bisa menahan tawanya sambil menutup mulutnya dengan tangan agar tidak didengar oleh Boy.

”Rasain lo, sebentar lagi dengan pembalasan kita. Waktu untuk pembinasaan lo tinggal menghitung detik doang, Boy,” kata Ivon bicara pelan dengan Lila.

Lila dan Ivon sudah benar-benar nggak sabaran untuk menghabisi Boy. Nasib baik lagi nggak berpihak, hukum karma sepertinya segera berlaku buat Boy. Sementara Kania sudah gelisah menunggu kehadiran kedua temennya untuk beraksi menjalankan skenarionya. Mereka bertiga memang sudah nggak sabaran mengacak-acak mukanya Boy dan menyiramkan jus mengkudu busuk kesekujur tubuh Boy, yang memang sudah mereka persiapkan dari rumah.

Malam itu merupakan malam yang naas dan apes bagi Boy. Dia harus mempertanggujawabkan atas semua perbuatannya terhadap ketiga cewek ini. Skenario yang diatur oleh Lila berjalan mulus. Boy yang lagi asik, tiba-tiba aja menjadi kaget nggak karuan melihat kehadiran korban-korbannya, Lila dan Ivon tiba-tiba datang secara bersamaan. Boy hanya terpaku diam menunggu eksekusi. Tapi dasar play boy tengik, dia berusaha terlihat santai, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Padahal dalam hatinya berkecamuk nggak karuan dan jantungnya berdebar kencang. Mampus dah gua! Pikirnya.

”Dasar bajingan! Buaye lu! Jadi ini kerja lo selama ini?” kata Ivon berang banget.

Lila yang nggak bicara, nggak tinggal diam. Lila lalu dengan semangatnya menyiramkan jus mengkudu tadi ke tubuh Boy. Pyuuuuur basah. Duh! Bau banget. Mampus deh lo, Boy!

Kania dan Ivon pun terus mencaci maki Boy habis-habisan. Lila yang sudah geram banget, akhirnya nggak tahan juga menahan emosinya, lalu dengan spontan menggampar muka Boy. Plaaaaaak, Boy tidak mengelak dan hanya diam.

Boy yang seperti maling ketangkap basah nggak bisa berkutik dan hanya diam dan pasrah tanpa perlawanan apa-apa dengan perlakuan ketiga cewek tadi. Mau bicara pun sudah nggak sanggup lagi. Mau ngeles pun sudah nggak bisa lagi. Ia seperti orang yang sudah kehilangan akal. Ia malu banget karena belangnya selama ini sudah ketahuan.

Dengan peristiwa itu membuat semua tamu di kafe pun tertuju kepada mereka berempat dan membuat membuat pengunjung heboh dan tertawa sambil bertepuk tangan melihat seorang cowok yang sudah basah kuyup menjadi bulan-bulanan tiga orang cewek. Rasain deh, Boy!

”Cukup sudah pertualangan cinta lo sama kita, Boy,” kata Lila sambil berlalu meninggalkan Boy berdiri sendirian.

Lila, Ivon dan Kania akhirnya pergi meninggalkan Boy sendiri. Boy pun akhirnya dengan perasaan malu banget pulang meninggalkan kafe yang menjadi neraka buatnya malam itu. Mimpi apa gua semalam, bisik hatinya seperti nggak percaya dengan apa yang telah terjadi.

Selama diperjalanan, mereka bertiga melepas tawa sejadi-jadinya di dalam mobil sedan yang dikendarai oleh Lila. Mereka pun merasa puas setelah sukses mengerjai Boy.

Makanya Boy, jadi orang jangan sombong banget dengan kegantenganmu, sehingga membuatmu lupa akan daratan. Kalau elo masih nggak nyadar juga, maka tunggu aja sebuah hukum karma yang mungkin lebih besar dari malam ini akan menghampirimu lagi. Percaya deh! Tuhan Maha Pengampun, kembalilah ke jalan yang benar, Boy. Insyaallah.
TAMAT



Penulis : Ardhian, S.Sos.
FB : Ardhian Dhian
Tweeter : @ardhian_dhian