“Dia bagaikan sebuah pohon mati, tidak berbuah, tidak juga berdaun... tetapi dia terus hidup dan bertahan untuk waktu yang lama... Dia selalu diam, mematung tak berkutik... Ia tak pernah berlari terlalu kencang, atau berjalan terlalu lambat, Ia hanya memperhatikannya... Ia tersenyum namun hatinya menangis... Ia tertawa namun penderitaan yang terdengar... Ia makhluk misterius yang memasuki kehidupanku, merubah segalanya menjadi rumit, dan juga indah...”
Sudah berulang kali Chris membaca novel karya Rosaria Cianni yang berjudul “Qualcuno” dan bagian itu adalah favoritnya. Walaupun novel tersebut merupakan buku pertama yang dikeluarkan Rosaria pada tahun 2005, tetapi Chris masih sangat menyukainya. Rosaria Cianni adalah penulis yang memberikan inspirasi bagi hidup Chris. Setiap kalimat dalam novel yang diterbitkannya selalu mengandung filosofi dan dapat membuat Chris seolah-olah terhipnotis. Ia tidak pernah kelewatan untuk sekedar meng-update info tentang penulis itu melalui fan page yang tersebar luas di jejaring media sosial. Mulai dari novel pertama sampai yang terbaru, Chris selalu mengikuti perkembangan ceritanya. Yang sedikit aneh dan terasa ganjil hanyalah, Rosaria Cianni tidak pernah menulis profil tentang dirinya di akhir halaman novelnya. Tidak ada sedikit info pun tentang dia.
“hey Chris! Pagi-pagi sudah membaca novel, lagipula kau kan sudah berulang kali membacanya. Aneh sekali!” sahut Bianca mendekati Chris.
Chris tidak terlalu memperdulikannya. Ia tetap fokus membaca novel pertama karya Rosaria Cianni. “ada apa kau tiba-tiba datang ke kedaiku? Aku tidak memberikan free gelato hari ini.”
Bianca menghebuskan nafas kesal dengan kencang melalu hidung mancung nan langsingnya. “Chris, kau jangan berburuk sangka dulu terhadapku! Aku akan bayar kok, aku tidak meminta gelato-mu secara cuma-cuma.” Ia berpindah tempat duduk, dari yang semula berada di depan Chris, kini Bianca sudah berada di samping pria berambut coklat terang itu.
Chris menaruh novel penulis favoritnya di atas meja, wajahnya nampak kesal, Ia berdiri dan tangannya bersidekap di depan dada. “Harus berapa kali aku katakan kepadamu Bianca? Tidak ada tempat untukmu di hatiku.” Chris menarik nafas dalam-dalam lalu ia berkata lagi. “kau mau pesan apa?” tanyanya cuek.
Air muka Bianca seketika berubah suram. Tanpa ragu-ragu Chris mengatakan hal itu padanya. Apa Chris tidak sadar bahwa Ia baru saja melukai hati Bianca? Tetapi Bianca berusaha terlihat tegar. Ia memberikan senyum termanisnya kepada Chris. “Forest Berry Gelato per favore!” Chris menatap Bianca malas, kemudian Ia segera beranjak menyiapkan pesanan dari gadis yang sangat menyebalkan baginya.
Tiba-tiba bel pintu kedai “Gelato & Caffè” milik Chris berbunyi. Ia berpikir keras, siapa orang yang akan memakan hidangan beku di pagi hari selain Bianca? Ia memperhatikan orang itu... seorang wanita dengan rambut hitam lurus panjang setengah pinggang, memakai coat berwarna biru tua, serta syawl putih yang meliliti lehernya tampak sedang mencari spot yang nyaman untuk ditempati. Ia duduk, lalu mengeluarkan laptop dari tasnya. Chris sedikit terpesona dengan wanita yang mempunyai wajah jelita tersebut. Setelah selesai membuat Gelato Forest Berry pesanan Bianca dan mengantarkannya, Ia pun berjalan menuju wanita itu dan menyodorkan daftar menu sambil memberi salam.
“buongiorno.” Ucap Chris tersenyum.
“ah, buongiorno.” Wanita itu membalas sapaan Chris tanpa melihatnya. Ia sibuk menjelajahi macam-macam jenis Gelato di buku menu. “aku pesan Gelato Dark Chocolate dan Espresso Con Panna.” Lagi-lagi wanita itu tidak menatap Chris! Chris sedikit sebal, bukan karena tatapannya yang tak terbalas, tetapi wanita ini sedikit tidak sopan dan berlagak angkuh.
“aspetta un momento signorina!” ujar Chris lalu berjalan ke arah counter sambil masih menggerutu di dalam hatinya. “Wanita cantik namun sangat sombong.” Pikirnya.
“Ho finito.” Bianca menyisakan gelato-nya yang tinggal sedikit. Ia membereskan barang-barang yang ada di atas meja kemudian menghampiri Chris yang sedang meracik Con Panna dan mencium pipi pria itu. Chris terdiam beberapa saat, menunggu amarahnya naik sampai ke ubun-ubun.
“Vattene!” hardik Chris. Wajahnya memerah kesal. Tapi sayang, rupanya Bianca tidak takut sedikit pun, ia malah meledek Chris dan menjulurkan lidahnya. “a presto il mio amore!” Bianca tertawa geli kemudian berlari menyelamatkan diri dari Chris yang sedang mengamuk. “D- dasar!” keluh Chris sembari membawa pesanan wanita yang dipikirnya angkuh.
Chris menahan nampan di lengan kirinya, sedangkan tangan kanannya meletakkan gelato dan kopi ke atas meja dengan hati-hati. “Selamat menikmati.” Kata Chris, kali ini ia tidak menatap wanita itu lagi. Ia tau pasti ia akan diacuhkan.
“duduklah, temani aku.” Chris hampir tak percaya. Ternyata dugaannya salah. Wanita itu... tidak sesombong seperti yang ia kira. Chris menarik bangku yang ada di depan wanita tersebut kemudian duduk dengan manis.
Wanita itu terkekeh. “aku tidak mengira akan mendapat inspirasi di kedaimu.” Ia memandang Chris sesaat lalu kembali berkutat dengan laptopnya. Jarinya menari-nari di atas keyboard dengan cepat, sesekali ia berhenti untuk menyesap Con Panna dan menyicipi gelato-nya.
“che fai ?” tanya Chris penasaran.
“menulis.” Jawabnya singkat.
“ah... sì, sì” angguk Chris berpura-pura mengerti. Ia bingung hal apa yang enak untuk dibicarakan. Baru pertama kali Chris merasa gugup berada didekat seorang wanita, biasanya wanita lah yang mengejarnya. Contohnya, Bianca.
“apa kedai Gelato & Caffè ini milikmu?” Chris senang sekali! Akhirnya wanita itu mau bertanya. Perlahan suasana kaku pun mulai mencair.
“No, ini bukan milikku. Kedai ini kepunyaan Nonna, namun semenjak Ia meninggal, aku sebagai cucu yang tinggal bersamanya dari kecil yang melanjutkan usaha ini.” ujar Chris diakhiri dengan segurat senyum yang dipaksakan.
“Jadi kau dan orangtuamu yang mengurus ya?” tanya wanita itu lagi.
Chris sejenak membisu, lalu berkata. “Orangtuaku sudah meninggal, mereka ditembak oleh orang tak dikenal ketika kami sedang menikmati gelato di sebuah kedai di Venezia. Nonna bilang pembunuhnya adalah saingan bisnis papaku.”
“mi dispiace tanto.” Ucapnya penuh nada penyeselan.
“tidak apa, itu sebabnya aku membenci gelato. Meski meneruskan usaha nenek ku, tetapi aku tidak pernah lagi mencoba gelato sejak kejadian tersebut.” Jelas Chris. Entah apa yang ada dipikirannya. Ia tidak suka terlalu terbuka kepada orang lain, namun, ketika duduk bersama wanita di depannya itu, Ia merasa tenang. Setiap kata mengalir begitu saja dari mulutnya.
Wanita itu menutup laptopnya dan memasukannya ke dalam tas. Ia menghabiskan sisa Espresso Con Panna dan Gelato Dark Chocolate-nya dengan cepat kemudian berdiri sambil menggandeng tas. “Ini adalah pagi terbaik selama hidupku. Terimakasih. Kau telah memberiku banyak inspirasi.”
Wanita itu menaruh uang di meja lalu mengulurkan kertas persegi panjang dengan latar kosong warna merah pada Chris. “ini hadiah untukmu. Aku harap kau tidak mengatakannya pada siapa pun. Jangan di balik sebelum aku keluar dari kedai ini. Arrivederci.” Katanya lalu tersenyum.
***
Chris benar-benar terkejut bukan kepalang. Wanita yang kemarin pagi datang ke kedainya ternyata adalah Rosaria Cianni. Ya, Chris mengetahuinya dari kartu nama yang diberikan Rosaria secara langsung kemarin hari. Namun seperti dugaan Chris, pada kartu itu juga hanya terdapat nama dan pekerjaannya, yaitu penulis. Chris sungguh menyesali kebodohannya. Dia seharusnya tidak mengikuti perkataan Rosaria untuk tidak membalik kartu tersebut sebelum dirinya keluar dari pintu kedai Gelato & Caffè. Andai Ia dapat memutar kembali waktu, Chris rela memberikan apapun demi untuk bertemu lagi dengan Rosaria.
Satu fakta tentang kemarin adalah, sebenarnya Chris tidak sengaja membuka kedainya pada pagi hari. Itu hal yang jarang sekali, atau bahkan tidak pernah Ia lakukan. Tetapi, karena semalaman Ia tidak bisa tidur dan paginya Ia tidak merasa mengantuk, akhirnya Ia memutuskan untuk membuka kedai dari jam 7 pagi. Mulanya Ia berasumsi bahwa pasti tidak akan ada yang berkunjung, namun Bianca adalah buktinya. Chris tidak tau menahu dari mana Bianca bisa mengetahui kedai miliknya sudah buka pukul 7, tapi yang pasti yang paling membuatnya sangat gembira yaitu kehadiran Rosaria. Ia tidak menyangka kemarin akan mendapat tamu seistimewa itu. Jika tau, mungkin Chris akan bersiap-siap selama 2 jam lebih untuk menyambut wanita yang dikaguminya tersebut.
Sekarang tepat jam 12 siang, kedai semakin ramai dan Chris sedikit kewalahan mengerjakan pekerjaannya seorang diri. Sampai Bianca datang dan menawarkan bantuan. Awalnya Chris enggan, mengingat kejadian kemarin, Ia malu dan jengkel sekali. Namun apa daya Ia tak sanggup menolak, ya, karena kenyataan juga yang mendesaknya.
Bianca membawa pesanan para pelanggan dari satu meja ke meja lainnya dengan suka cita. Ia menebarkan senyumnya kepada setiap orang dan berkata begitu manis. Chris mengawasinya dari counter, hati kecilnya seperti tergelitik. Perasaan aneh yang membuat Ia tertawa dan tersenyum ini selalu datang ketika Ia memusatkan penuh perhatiannya pada Bianca. Segera mungkin Chris menghapus pikiran itu. Ia pasti bergurau karena merindukan Rosaria Cianni, wanita yang memberinya inspirasi serta mampu membuatnya merasa tenang.
“Chris, ada apa?” tanpa Chris sadari rupanya Bianca kini tengah berdiri di hadapannya. Wanita berambut coklat gelap dan bermata hijau itu menyuguhkan Espresso Macchiato dalam demitasse cup kepada Chris. “minumlah.” Katanya.
Chris meraih daun telinga cangkir itu, menyesap Espresso Macchiato dengan gaya yang khas. Entahlah seperti apa, tapi itulah yang paling disukai Bianca darinya. “delizioso.” Gumamnya pelan, sangat pelan. Chris tidak mau Bianca melompat dan memeluknya karena pujian yang Ia lontarkan.
Chris menunjuk ke arah tempat duduk paling pojok. “di sana, sepertinya baru saja ada pelanggan yang datang, tolong layani mereka.” Tuturnya.
Bianca membuat tanda hormat dan tersenyum memperlihatkan deretan baris giginya yang rapih dan putih. “Oke, bos!” terkadang, hanya terkadang... Chris merasa dirinya sedikit kelewatan kepada Bianca, padahal wanita itu sering membantunya di kedai. Ia orang yang cukup baik. Tidak. Sangat baik mungkin. Meskipun Chris sudah berulang kali memarahi dan mengusirnya, tetapi Ia tetap tidak mundur selangkah pun untuk berada di dalam hidup pria itu. Bianca tidak berniat sedikit pun untuk meninggalkan Chris. Tidak pernah, walaupun harus bersaing dengan Rosaria Cianni, Ia tidak takut.
***
Satu hari, dua hari, tiga hari, seminggu, sebulan terlewati. Chris menunggu dan menunggu namun Rosaria tak kunjung datang ke kedainya lagi sejak saat itu. Chris mulai kehilangan harapan. Ia mulai berfikir, tidak mungkin Rosaria punya cukup waktu luang hanya untuk memakan gelato dan bercerita bersamanya di kedai. Rosaria pasti sibuk mempersiapkan novel terbarunya. Chris ingat betul ketika wanita itu datang, Ia berkata Ia sedang menulis. Artinya, cepat atau lambat Rosaria akan segera mengeluarkan karya selanjutnya.
Hari ini adalah tanggal 24 Desember. Bertepatan dengan momen indah 1 bulan yang lalu ketika Rosaria muncul dan memesan Espresso Con Panna serta Gelato Dark Chocolate, momen di mana Chris merasa begitu tenang. Utuh. Dan tak terasa pula Hari Natal akan segera datang. Hari Natal yang mungkin sama seperti tahun lalu, tidak ada yang spesial. Chris hanya akan sibuk bekerja dalam kesendirian di tengah kerumunan orang-orang yang menikmati hari natalnya bersama keluarga, teman, atau kekasih mereka.
“Chris... kau ada acara untuk malam natal?” Bianca tampak sedang bersih-bersih, menyemprotkan semacam cairan kimia pada permukaan meja.
Hari ini kedai tutup lebih cepat, orang-orang terlihat begitu sibuk. Terutama keuskupan, mereka sibuk untuk menyiapkan Misa Natal. Chris bukanlah seorang Katolik, Ia mengikut Papanya yang berasal dari Amerika dan seorang Karismatik. Ia tidak tau akan melakukan apa pada perayaan natal tahun ini. Kebingungan selalu menyeruak ke dalam pikirannya ketika perayaan Natal sudah dekat.
“aku tidak kemana-mana.” Ucap Chris ketus.
Air mukanya sungguh tidak menarik. Bianca yang tadinya ingin mengajak pria itu jalan-jalan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia tidak berani mengganggu Chris jika wajahnya sudah menampakan aura negatif seperti itu. Setelah selesai membersihkan meja Bianca segera pamit kepada Chris. Dan disaat inilah Chris benar-benar sendiri. Kesepiaan.
Alih-alih menghilangkan rasa sunyi, Chris tergerak membuka kembali kedainya. Pukul 22.00. Ia tau tidak akan ada orang yang datang, semua sibuk dengan acaranya masing-masing. Chris berjalan ke arah pohon natal yang masih bersih tanpa ornamen. Melihat pohon natal Ia jadi teringat akan orangtua dan neneknya. Chris biasa menghias pohon natal bersama mereka, namun, sekarang keadaan berbalik. Semua sudah berbeda. 15 tahun Ia merayakan natal tanpa orangtuanya, dan 5 tahun tanpa nenek yang sangat Ia sayangi. Chris mengambil ornamen berbentuk rumbai yang panjang berwarna merah dan emas lalu melingkarkannya di sekeliling pohon natal, ditambah bola-bola mengkilat warna perak-biru, cupid yang sedang memanah, malaikat-malaikat bersayap, serta tak ketinggalan figura santa claus dan tongkatnya, dan masih banyak ornamen lainnya.
Tiba-tiba bel pintu kedai Chris berbunyi. “seseorang datang?” benaknya.
Chris membelokan tubuhnya. Ia melihat seorang pria berumur sekitar 30 tahun yang memakai kaca mata berdiri di dekat counter. “buonasera signore, ada yang bisa aku bantu?”
“ah yes, Americano please.” Ujar pria berjanggut tipis itu. “you can speak English Sir ?” tanya Chris sembari membuat pesanan. “of course, I’m an English man, you know!” Pria itu merapatkan jaket kulitnya yang tebal dan mengosok-gosokkan kedua telapak tangannya. “here, hope it helps.” Ucap Chris menyuguhkan kopi pesanan pria itu.
“why are you working? It’s Christmas eve, you’re so weird!” Chris menahan emosinya. Ia tidak mau merusak malam natal yang damai ini. Ia lebih memilih diam daripada harus beradu mulut dengan pria asing.
“I’m just kidding. By the way, you make good coffee kid.” Chris malas. Sungguh malas. Ia tidak tahan dengan pria itu. Ia ingin menutup kedainya segera dan pergi ke tempat tidur.
“Rosaria wants to meet you.” Chris menjatuhkan cangkir yang sedang dibersihkannya. Ia terkejut. Ia menghampiri pria itu.
“what did you say?” Chris mengepalkan kedua telapak tangannya. Seketika tubuhnya gemetar mendengar nama perempuan itu.
Pria berkacamata tersebut menghela nafas panjang. “Rosaria wants to meet you. Rosaria Cianni. I’m her editor. She asked me to come to your place to tell you that.”
Chris mencoba menanggapi dengan enteng. Ia tidak mau percaya begitu saja. “Stop joking around Sir. You should go, I want to close this shop. Here’s your bill.”
Pria itu menaruh uang di atas meja. “It’s up to you whether you want to come or not. I’m just doing what She asked me to do. The choice is yours.” Lalu Ia mengeluarkan secarik surat, meletakannya di dekat bill dan meninggalkan kedai Chris.
Chris menggapai kertas note tersebut. Ia membacanya dengan perlahan. Perlahan- sampai air mata mengalir di pipinya tanpa Ia sadari.
***
Minggu, 25 Desember pukul 07.00
Chris mencoba menghubungi Bianca berulang kali namun ponselnya tetap tidak aktif. Ia ingin Bianca menemaninya untuk menemui Rosaria. Ia tak akan sanggup melihat wanita itu terkulai di kasur seorang diri. Chris gelisah. Ia berjalan bolak-balik sambil menggenggam surat dari Rosaria yang diberikan pria itu kemarin malam. Ia tidak pernah tau bahwa keadaannya akan seburuk ini. Ia sungguh merindukan Rosaria Cianni! Chris membaca ulang surat dari Rosaria;
“Chris Vicenzo, itu bukan namamu? Aku mengetahuinya dari internet, kau tidak tau bahwa kau ini cukup terkenal sebagai penjual gelato tertampan? Itu sebabnya aku tidak perlu repot-repot kembali ke kedaimu hanya untuk menanyakan nama pemiliknya. Chris... aku telah membuat draft cerita novelku yang berikutnya. Aku ingin kau bekerjasama dengan editorku Mr. Benjamin (aku tau kau pasti sudah bertemu dengannya). Aku mohon lanjutkan novelku ini Chris. Aku mengerti kau pasti akan menolaknya karena alasan ‘tidak punya pengalaman dalam hal menulis’ tetapi aku mohon kepadamu... cobalah, untukku. Dan saat kau selesai, berikan judul novel ini ‘La Fedeltá’. Satu lagi yang kau perlu tau, aku rasa aku jatuh cinta dengan salah satu penggemarku. Ia adalah yang saat ini sedang membaca surat dariku. Merry Christmas and I hope God always be with thee.”
“Hey Chris! Buka pintunya!” Bianca! Chris bergegas membuka pintu kedai. Belum sempat Ia berbicara Bianca langsung menarik pergelangan tangan Chris menuju mobilnya.
“kita mau kemana?” tanya Chris heran.
“ke rumah sang penulis yang sangat kau kagumi dan cintai.” Chris tak berkata apa pun. Ia benar-benar bingung. Bagaimana bisa Bianca tau rumah Rosaria? Apa mereka memiliki hubungan keluarga? Saudara misalnya?
“Chris, kau ingat ketika dulu kita masih duduk di bangku kuliah? Bukankah aku yang memperkenalkan padamu novel pertama karangan Rosaria Cianni yang berjudul ‘Qualcuno’? dan tanda tangan di halaman pertama novel tersebut bukanlah tanda tanganku, tetapi itu adalah tandangan Rosaria. Ia memberikan novel pertamanya yang bahkan belum terbit di toko manapun kepadaku sebagai hadiah ulangtahunku. Ia adalah sepupuku.” Ungkap Bianca.
Chris shock. Ia hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Jadi, apa kau juga tau wanita yang datang waktu itu adalah Rosaria?” tangan Chris mengepal kuat. Gemetaran. Ia sungguh marah.
“i- itu, aku...” Chris memotong perkataan Bianca. “tidak perlu dijelaskan.” Ujarnya geram.
Sepanjang perjalan menuju rumah Rosaria tidak satu pun diantara mereka yang membuka mulutnya. Chris menopang dagu memandang keluar kaca mobil dan Bianca fokus menyetir. Bianca benar-benar merasa bersalah pada pria itu. Ia tidak bermaksud untuk membohonginya. Alasan Ia melakukan hal itu, semua karena ‘Cinta’. Ia tidak ingin kehilangan Chris Vicenzo. Tetapi Bianca sadar, sepertinya cara Ia melindungi Chris dari wanita lain salah. Bianca harap Chris akan mengerti suatu hari nanti. Dan kini, Bianca siap untuk meninggalkan pria yang pernah Ia cintai.
“Paman Ben! Di mana Rosaria?!” tanya Bianca dengan intonasi tinggi begitu memasuki tempat tinggal sepupunya bersama Chris.
“Bianca, Chris, kalian telat. Orangtua Rosaria baru saja membawanya pergi.” Ucap Benjamin tak tega.
Chris jatuh bersimpuh. “kemana? Kemana Rosaria pergi?”
Ben menatap Chris nanar. Ia dapat melihat pemuda itu sangat mencintai Rosaria. “Amerika, mengobati penyakitnya.”
***
“Papa!” pekik seorang anak berumur 6 tahun. Ia lari menuju rangkulan papanya yang sedang beristirahat sambil menikmati gelato.
“Grazia!” Pria yang dipanggil papa itu meraih anak perempuan kesayangannya dan menggendongnya.
“Grazia, mama bilang jangan lari-lari seperti itu!” omel wanita itu kepada anaknya.
“tidak apa. Grazia, kau mau gelato?”
“per favore.” Angguk Grazia semangat.
Pria itu berjalan ke arah counter pembuatan gelato dan istrinya Rosalie mengikutinya dari belakang. “Chris, aku ingin bicara.” Ucap Rosalie sedikit gugup.
Meski sudah 6 tahun bersama, tetapi Rosalie yakin Chris tidak benar-benar berada di dunianya. Chris tidak pernah berbicara panjang lebar, dingin, dan selalu menghindar dari Rosalie. Namun kepada Grazia Ia sangat lembut dan penuh kasih sayang. Tidak, Rosalie tidak cemburu terhadap anaknya sendiri. Ia hanya ingin mengakhiri semuanya. Tidak seharusnya Ia jatuh cinta dengan penulis buku ‘La Fedeltá’ itu.
Chris membelai rambut Grazia. “ini sayang gelato-mu. Papa ingin bicara sebentar dengan mama. Kau di sini saja ya?” Grazia tersenyum dan mencium pipi Chris. “sì Papà.”
Lalu Chris menghampiri Rosalie yang sedang duduk di luar kedai. Menunggu.
“hal apa?” tanya Chris sekenannya.
“kita harus mengakhiri ini.” ujar Rosalie tertunduk tak berani menatap mata Chris.
Chris duduk di samping kiri Rosalie, memasukan kedua telapak tangannya ke dalam saku coat. “jika itu yang kau inginkan, aku tidak bisa mencegahnya.”
Rosalie mengalihkan pandangannya ke arah kanan. Ia berusaha berbicara walaupun kini suaranya terdengar serak seperti orang sedang menangis. “kenapa Chris? Kenapa kau melakukan ini semua kalau kau tidak mencintaiku? Kau bahkan tidak mau mencoba mempertahankan hubungan kita.”
Chris menghela nafas, mengeluarkan gumpalan asap dingin dari mulutnya. “Salah. Kau salah. Kau lah yang tidak mau mencoba mempertahankan. Untuk apa jika hanya aku seorang yang mempertahankan hubungan kita?”
Chris memalingkan tatapannya pada Rosalie. Ia mendekap wajah Rosalie dengan kedua telapak tangannya yang besar dan hangat. Chris mendekatkan wajahnya ke arah Rosalie, dan mencium bibir wanita itu dengan lembut.
“jangan berfikir aku tidak mencintaimu. Aku sangat mencintaimu Rose. Tolong, bertahanlah sedikit lebih lama lagi. Aku butuh waktu untuk melupakan Rosaria. Dan aku juga membutuhkanmu serta Grazia untuk tetap berada di sisiku... untuk memberiku kekuatan.” Rosalie tidak mampu menahan air matanya terjun bebas. Ia memeluk Chris dan menangis di pundak suami yang sangat Ia sayangi.
“aku akan melakukan yang terbaik Chris, aku akan selalu bersamamu.”
“kau melakukan hal yang benar Chris.” Ucap seseorang. Chris seketika melepas dekapannya. Ia tercengang melihat sosok wanita yang sedang berdiri disebrang jalan. Wanita itu seperti... Rosaria! Perlahan Ia mulai melangkah mendekati Chris dan Rosalie. Sampai akhirnya Chris dapat melihat dengan jelas.
“Rosaria?” katanya terheran. Kedua mata Chris tak berkedip dan terus memandangi Rosaria yang sesekali tersenyum.
“Rosaria?” Rosalie kebingungan. Apa maksud Chris wanita yang berdiri di hadapan mereka berdua saat ini adalah wanita yang sangat dicintai suaminya itu?
“kau tidak perlu khawatir, aku kembali ke Italia bukan untuk merebut Chris. Aku hanya rindu akan kenanganku dulu bersamanya. Aku juga sudah menikah, sama seperti kalian.” Rosaria menjelaskan pada Rosalie dengan santai. Ia tidak ingin istri Chris salah paham terhadapnya. Ia memang mencintai Chris, namun, itu dulu.
Tiba-tiba Rosalie berdiri dan memeluk Rosaria. “aku akan menjaganya Rosaria. Aku akan membuatnya bahagia.”
Rosaria mengendurkan rangkulan Rosalie, sedangkan Chris memperhatikan perbincangan kedua wanita itu. “ya, aku yakin kau pasti bisa.” Rosaria tersenyum, memberi suntikan semangat untuk Rosalie.
***
Rosalie yakin sepenuhnya dengan Rosaria maupun Chris. Yang dibutuhkan Chris saat ini adalah Rosaria seorang, Chris ingin semua kejadian di masa lalu menjadi jelas. Dan Rosalie mengijinkan itu. Chris meminta izin kepada Rosalie untuk berbicara empat mata dengan Rosaria. Rosalie pun masuk ke dalam kedai dan menemani anaknya yang sedang menikmati gelato. Meskipun dengan sedikit rasa cemas di hati... cemas akan perasaan Chris yang takutnya justru akan semakin kuat kepada Rosaria setelah Ia kembali ke Italia, dan cemas akan Rosaria yang mungkin masih mempunyai rasa terhadap Chris.
“mengapa pergi tanpa menungguku?” tanya Chris sambil menatap Rosaria dengan teliti. Wanita itu tidak berubah sedikitpun. Masih dengan gaya rambut yang sama, dan cantik seperti dulu.
Rosaria tertawa kecil. “kau masih saja menanyakan hal itu! Aku kembali untuk bertemu denganmu dan menikmati gelato buatanmu yang lezat Chris.”
“jawablah... karena hanya jawabanmu yang bisa menenangkan hatiku dan juga sekaligus melepaskanmu, menerima Rosalie sepenuhnya.” Ucap Chris datar. Nadanya begitu serius dan tegas.
“karena jika aku bertemu denganmu sebelum pergi ke Amerika, mungkin aku tidak akan mau meninggalkan tempat ini. Aku ingin sembuh Chris. Aku sangat berterimakasih kau telah meneruskan novelku. Tetapi setelah aku memikirkannya berulang kali, aku tidak ingin itu menjadi karya terakhirku. Walau harus menyakitimu dengan kepergianku, aku ingin terus menulis. Aku ingin kau tetap membaca novelku, dan memahami perasaanku yang sebenarnya.” Rosaria mengeluarkan sebuah buku dengan cover berwarna biru berjudul ‘La Fedeltá 2’ dan mengulurkannya kepada Chris. “ini adalah novelku yang akan terbit besok. Cerita ini adalah kelanjutan dari novel yang dulu aku dan engkau buat. Ini juga adalah ungkapan perasaanku kepadamu. Bacalah dan kau akan mengerti Chris.” Jelas Rosaria lalu tersenyum dan beranjak dari sana.
Chris membiarkan Rosaria pergi. Ia hanya ingin sendiri... dan membaca buku itu.
“...aku berharap tidak akan bangun dari mimpi ini, aku ingin tetap memejamkan mataku dan memeluk kehadiranmu untuk diriku seorang. Namun, aku pikir aku terlalu serakah. Aku tidak seharusnya seperti ini, tetapi hatiku sangat menginginkanmu. Maafkan aku... Kau tidak pantas jatuh cinta padaku, aku hanya wanita berdarah dingin yang tamak akan hal bernama ‘cinta.’ Kesetiaanku telah membuatku buta selama ini... Rasa cintaku telah membelenggumu dalam dimensi lain hingga kau tak mampu merasakan bahwa ada wanita lain yang ditakdirkan untuk bersama denganmu. Aku akan melepaskanmu... Aku akan membiarkanmu membentangkan sayap indahmu, terbang bebas, dan menghirup aroma kehidupan yang sesungguhnya... yang tak pernah dapat ku berikan kepadamu.”
THE END
Written by Bella Justice
@bellajusticee