Saturday 29 June 2013

Cerpen Lucu: Tukang Mie Ayam Main Facebook

Kejadian ini bermula ketika secara tak sengaja aku berpapasan dengan tukang mie ayam keliling yang biasa beredar di depan rumah. Siang itu, kulihat dia tengah berasyik masyuk di pinggir jalan, cekikikan sambil melihat sesuatu yang ada di tangannya. Bahkan saking asiknya, gerobak mie ayam itu ditinggalkannya begitu saja, seakan mengundang pemulung jail untuk mengangkutnya.

Karena penasaran, diriku pun bertanya:
"Mas Jason (panggil saja demikian, karena dia sering dipanggil Son ama pelanggannya "Son..mie ayamnya siji maning sooon.."), sedang apa kok asik bener di pojokan?"

"Eh mas ganteng...( satu hal yang aku suka dari Jason adalah : Orangnya suka
bicara Jujur!), ini mas, lagi update status!!..." jawab Mas Jason.

***WADEZIG!!!

"Weehhh... njenengan fesbukan juga to??" tanyaku heran.

"Ya iyalah mas... hareee geneee ga fesbukan?! Lagian kan lumayan juga buat menjaring pelanggan lewat fesbuk, kata pak Hermawan Kertajaya kan dalam berdagang kita harus selalu melakukan diferensiasi termasuk dalam hal pemasaran mass." jawabnya lagi dengan penuh keyakinan.

***GLEK!!
Gw yang sering naik Kereta ke Jawa aja gak tau kalo ada yg namanya Hermawan Kereta Jaya

"Emang mas statusnya apa?" tanyaku penasaran.

"Nih mas aku bacain:
Promo Mie Ayam, beli dua gratis satu mangkok, beli tiga gratis nambah kuah, beli empat gratis timbang badan...takutnya anda obesitas...segera saya tunggu di gang Jengkol, depan tengkulak Beras Mpok Hepi. Mie Ayam Jason: Melayani dengan Hati... ampela, usus dan jeroan ayam lainnya." sambil menunjukan handphone-nya.

***GUBRAK!!
Dua kosong untuk mas jason. Gw yg uda lama fesbukan aja ga bisa bikin status se--atraktif dia.

Tapi ada yg aneh pas kulirik ke handphone  yang dia pake. Aku kira handphone-nya blackberry atau minimal nokia seri baru yang uda bisa pake internetan. Selidik punya selidik, ternyata...handphone-nya lawas bin jadul. HP yang masih monokrom, suara belum poliponik, dan masih pake antena luar kayak radio AM.

"Mas, tapi kok bisa update fesbuk pake henpon sederhana gitu? (bahasa halusnya henpon lawas). Gimana caranya?? tanyaku bingung.

"Owwh.. gampang mas, saya tinggal nulis statusnya lewat SMS lalu kirim ke Tri.” jawab dia datar.

"Ohh.. mas nya pake Kartu Three ya? Yang gratis internetan itu?" tanyaku lagi.

"Bukaaaan mas, Tri itu lengkapnya Tri Ambarwati. Dia itu pacar saya, sama-sama dari Tegal, yang kerjaannya jagain Warnet 24 Jam! Jadi kalo butuh update, tinggal sms dia aja nanti dia yang gantiin status saya. Lha wong dia tiap hari di depan komputer jagain warnet. Paling sebagai balesannya saya gratisin mie ayam seminggu sekali...murah to??" jawabnya sambil cengengesan.

Mendadak kepalaku pusing, bagaikan menderita dehidrasi akut sekaligus hipotermia tingkat tiga. Aku limbung mendengar jawaban SPEKTAKULER dari Mas Jason...BRUK!!

Thursday 27 June 2013

Puisi Sosial: Surat Buat Bapak Presiden

SURAT BUAT BAPAK PRESIDEN
(semoga beliau baca...)


Pak Presiden yang Terhormat,
bila harga BBM naik, dengan gagah dan baik hati konon
Bapak akan memberi kami kompensasi.
Bapak akan membuat kami mengantre untuk mendapatkan uang bantuan agar kami tak merasa kesulitan. Tapi, pikiran kami sederhana saja!

Pak, benarkah Bapak suka melihat kami mengantre panjang mengular dari Sabang sampai Merauke? Kami tidak suka itu. Kami tak suka terlihat miskin, apalagi menjadi miskin.
Kalau memang Bapak punya uang untuk dibagikan kepada 
kami,
pakailah uang itu, kami rela meminjamkannya untuk menyelamatkan ‘perekonomian nasional’ yang konon sedang gawat itu.

Tak perlu naikkan BBM! Pakailah uang kami itu: kami rela meminjamkannya untuk menyelamatkan bangsa!
Hidup kami sederhana, disambung lembaran-lembaran uang recehan.
Ilmu hitung kami kelas rendahan:
berapa untuk makan sehari-hari, uang jajan anak sekolah,
biaya transportasi, biaya listrik bulanan, dan kadang-kadang
cicilan motor, dispenser atau DVD player.
Tak perlu kalkulator.
Bila sedang beruntung, kami bisa punya sisa uang untuk jalan-jalan di akhir pekan.
Bila sedang sulit, kami tidak kemana-mana.

Pak Presiden yang Mulia:
Kami mencari kebahagiaan gratisan di televisi.
Meski...
kadang kala justru dibuat pusing dengan berita-berita tentang beberapa anak buah Bapak yang korupsi.
Bila perlu...
berdirilah di hadapan kami, katakan apa yang negara perlukan dari kami untuk menyelamatkan kegawatan bencana ekonomi negara ini?
Bila Bapak perlu uang...
kami akan menjual ayam, sapi, mesin jahit, jam tangan, atau apa saja agar terkumpul sejumlah uang untuk melakukan pembangunan dan penyelamatan perekonomian bangsa.
Bila Bapak disandra mafia...
pejabat-pejabat yang bangs*t, atau pengusaha-pengusaha yang menghisap rakyat,
tolong beritahu kami: siapa saja mereka? Kami akan bersatu untuk membantumu melenyapkan mereka.
Tentu saja, semoga Anda bukan salah satu bagian dari mereka!

Pak Presiden yang baik,
Dengarkanlah kami! Berdirilah untuk kami!
Berbicaralah atas nama kami! Belailah kami, maka kami akan selalu ada,
berdiri, bahkan berlari mengorbankan apa saja untuk membelamu.
Berhentilah berdiri dan berbicara atas nama sejumlah pihak,
membela kepentingan-kepentingan golongan.
Berhentilah jadi bagian dari mereka yang ingin kami benci sampai mati.
Jangan jadi penakut!
Pak Presiden, jangan jadi pengecut!
Buanglah kalkulatormu, singkirkan tumpukan kertas di hadapanmu,
lupakan bisikan-bisikan penjilat di sekelilingmu!
Lalu...
Dengarkanlah suara kami! Tataplah mata kami :
tidak pernah ada satupun pemimpin di atas dunia yang sanggup bertahan dalam kekuasaannya
jika ia terus-menerus menulikan dirinya dari suara-suara rakyatnya!

Pak Presiden,
Sekali lagi, tentang kenaikan harga minyak,
barangkali kami memang tak pandai berhitung.
Tapi...sungguh, kami tak perlu menghitung apapun untuk untuk
memutuskan mencintai atau membenci sesuatu, termasuk mencintai atau membencimu!

Sunday 16 June 2013

Cerpen Cinta: Blind

Victoria membuka matanya perlahan. Sekujur tubuhnya terasa lemah, lemas, remuk, semua bertumpuk menjadi satu. Matanya sembab. Dipijaknya lantai kamar putihnya yang terasa sangat dingin itu. Dress putihnya bergerak pelan ketika Victoria berdiri. Kamar itu masih berantakan. Foto tersebar di sana-sini. Bahkan beberapa bingkai fotonya telahpatah dan kacanya pecah. Keadaan kamar itu begitu kacau, sekacau pikiran Victoria.
Victoria melangkah pelan mendekati jendela dengan kaki telanjangnya. Tak sedikitpun terlintas di otaknya bahwa ia takut menginjak beling-beling yang berserakan, tidak, dia malah justru menginginkan itu.
Tangan kanan Victoria menyibak gorden cream itu pelan, melihat keluar. Sinar Matahari telah setengah sempurna di luar sana. Tapi keadaannya sepi. Sangat sepi.
“Eoddiga?” lirih Victoria dengan suaranya yang menghilang.
Matanya kembali mencari, mencari sesuatu. Lelah, benar-benar lelah. Tapi dia tak menemukan apa-apa.
Gorden itu kembali ditutup dengan perlahan. Lagi-lagi kaki Victoria melangkah untuk keluar dari kamarnya.
Satu demi satu langkahnya tercipta tanpa iringan. Dan KRAK!!!
“Ah,” rintihnya. Kakinya menginjak beling. Beling itu menancap cukup dalam.
Victoria mendudukan dirinya. Ia mengeryit dalam saat tangannya bergerak menarik beling itu. dan matanya terpejam menahan sakit,bersama sebuah airmata mengalir.
“Sakit... tolong aku..!!!” rintihnya.
Tapi tak ada yang menanggapi permintaan tolongnya itu. Tidak ada suara. Tidak ada langkah kaki yang tergesa-gesa menghampirinya. Bahkan anginpun tidak bertiup.
Airmata Victoria semakin deras mengalir.
“Kau dimana ? Aku butuh bantuanmu… chagi !! Kakiku sangatsakit.” Teriak Victoria.
Darah segar mengalir menetes di lantai.
“Chagi ! Kyuhyuun !! Kau dimana? Kyuhyun! Kau dimana? Kau tidak meninggalkanku kan? Kyuhyun!!” teriaknya lagi. Kali ini teriakkan ituberpadu dengan rasa takut Victoria.
Mata Victoria memandang ke arah pintu. Tubuhnya melemas, dengan mata berkunang. Di pintu itu…tidak. Di pintu itu tidak ada siapapun!Kyuhyun tidak ada disana. Tidak ada.
Tubuh Victoria tergeletak lemah di lantai.
“Kyuhyun, kau dimana?” tanya Victoria menggantung dalam udara di sekitarnya tanpa ada satupun suara menjawabnya. Dunia Victoria kembalimenggelap.
--
*FLASHBACK*
“Lihat, lihat cincin-ku ! Bagus kan?” celoteh Victoria menyandar pada bahu Kyuhyun.
Kyuhyun tertawa dan ikut menyandarkan kepalanya ke kepalaVictoria. Tangannya juga terangkat ke depan, menjajari tangan Victoria.
“Kau pikir hanya punyamu yang bagus? Aku dua kali lipat lebih bagus dibandingkan cincinmu!” bantah Kyuhyun.
Victoria memukul gemas paha Kyuhyun.
“Ya! Cho Kyuhyun, dimana-mana itu namja seharusnya memuji penampilan yeoja-nya, bukan membanggakan diri sendiri!” protes Victoria seraya mengangkat kepalanya dan kini ia berhadapan dengan Kyuhyun.
“Yeoja sepertimu untuk apa dipuji? Cantik… tidak. Manis…tidak. Feminim… tidak…”
Sebelum Kyuhyun mengucapkan lebih banyak lagi kata-kata ejekan super duper menyebalkan yang pernah Victoria dengar, Victoria segera membungkan mulut Kyuhyun kuat-kuat.
“Diam! Aku memang tidak cantik, manis, feminim dan bla blabla..tapi kau mencintaiku kan? Buktinya sekarang kita memakai cincin yang sama. Cincin pertunangan!” bangga Victoria dengan wajah bahagianya.
Kyuhyun melepas bungkaman Victoria itu. dan menggenggam tangan halus itu erat-erat.
“Ne ne ne, untuk yang itu, aku tidak bisa mengelak. Memangaku cinta, akh tidak bahkan sangat mencintamu.” Kata Kyuhyun mencium sekilas tangan Victoria. Membuat pipi Victoria bersemu merah.
“Nado saranghaeyo Kyuhyun!” balas Victoria lengkap dengan senyum khas-nya.
Senyum yang selalu bisa membunuh Kyuhyun kapan saja. Membuat Kyuhyun terdiam, dan merasa seperti tersengat listrik. Dan hanya Victoria yang bisa berbuat seperti itu padanya.
Kyuhyun kemudian meraih Victoria ke pelukannya. Hangat. Terasa sangat hangat.
“Saranghae… jeongmal saranghae.. yeongwonhi. Aku akan terus mencintaimu sampai aku mati..” kata Kyuhyun pelan terdengar seperti berbisik ditelinga Victoria.
Victoria tersenyum simpul.
“Arra, aku juga mencintamu..” balas Victoria.
Mereka berpelukan cukup lama, hingga jam dinding Victoria berbunyi. Berdentang sebanyak 11 kali.
“Astaga, jam 11 ? akh, kenapa aku tidak sadar..” pekik Victoria melepas pelukan itu.
Kyuhyun menilik jam tangannya.
“Vicco, aku harus pulang sepertinya…” kata Kyuhyun tiba-tiba.
Mata Victoria membulat.
“Mwo? Tapi ini sudah malam. Aku tidak mau terjadi apa-apa denganmu. Lebih baik kau menginap saja ya?” tawar Victoria.
Kyuhyun menggeleng.
“Aniya. Kita belum menikah, jadi kita tidak boleh tidur dalam satu rumah yang sama sebelum menikah. Kau mau tetanggamu beranggapan buruk tentangmu?” ucap Kyuhyun.
“Tapi kita kan tidak tidur dalam satu kamar yang sama. Kau bisa di sofa dan aku di kamar.”
“Aniya, aku harus pulang.” Kata Kyuhyun kemudian meletakkan tangannya di atas kepala Victoria.
“Song Xi Quan, dengar ya. Aku, Cho Kyuhyun, tidak mau tidur dalam satu rumah yang sama denganmu sebelum kita menikah. Tapi itu bukan berarti aku tidak mencintaimu. Justru karena aku sangat sangat mencintaimu, aku tidak mau terjadi hal yang tidak kita inginkan. Dan satu lagi, catat ucapanku, ingat, atau kalau perlu kau ukir baik-baik di pikiranmu. Aku Cho Kyuhyun, selamanya hanya mencintai Victoria Song. Tidak ada yang lain. Arra?”
Victoria terdiam. Jantungnya berdebar. Sungguh kata-kata itu begitu membuatnya ingin terbang mengelilingi dunia. Membuat darahnya menari-nari tidak jelas di dalam tubuhnya.
Victoria hanya bisa mengangguk dengan selembar senyum. Dan Kyuhyun ikut tersenyum, tangannya mengacak rambut Victoria pelan.
Kyuhyun bangkit seraya menggegam tangan Victoria.
“Kajja, antarkan aku ke depan.” Kata Kyuhyun.
Victoria mengangguk dan mempererat pegangan tangannya.
Mereka berdua melangkah pelan menuju pintu, hingga pintu ituterbuka, suasana di luar rumah begitu sepi. Hanya terdengar kerikan jangkrik.
“Hati-hati di jalan Kyuhyunnie…” kata Victoria tetap berpegangan erat. Entah kenapa rasanya enggan sekali melepas genggaman itu.seakan-akan genggaman itu adalah genggaman tangan yang terakhir dari Kyuhyun.
Kyuhyun tersenyum.
“Hmmm arraseo ! sudah ya, aku pulang..” kata Kyuhyun melepas pegangan tangannya pelan lalu mulai melangkah pergi, tapi tiba-tiba ia berhenti.
“Ah, ada yang lupa..” katanya berbalik dan tersenyum lebar mendekati Victoria.
“Apa?” tanya Victoria mengangkat alisnya.
Kyuhyun tertawa kecil lalu ia memegang bahu Victoria.
“Ini…”
Bibir Kyuhyun menyentuh lembut dahi Victoria. Cukup lama.
Pipi Victoria bersemu lagi. Tubuhnya terasa panas dingin.
“Annyeong My Victoria…”kata Kyuhyun melangkah pelan ke mobilnya.
Di nyalakannya mesin mobilnya itu. Lalu sekali lagi, matanya mengarah pada Victoria yang juga sedang memandangnya.
Kyuhyun melambai dan tersenyum lebar. Victoria balas lambaian itu dengan segera.
“Jaga dirimu baik-baik, chagi..” lirih Kyuhyun.
Di injaknya gas mobil dan perlahan mobil itu meninggalkan halaman rumah Victoria.
Sementara Victoria terus memandangi mobil Kyuhyun hingga mobil itu benar-benar hilang. Tangannya mengepal di depan dadanya. Meremas bajunya.
“Jaga Kyuhyun-ku, Tuhan..” ucapnya.
---
Kyuhyun melaju pelan. Jalanan malam itu benar-benar sepi.
“Victoria…victoria..victoria..” ucap Kyuhyun menyenandungkan nama Victoria dengan riang.
Senyumnya terus terukir dengan pikirannya yang terus memputar-putar tampilan wajah Victoria. Senyum Victoria, tawa Victoria. Dan segala tentang Victoria.
Mobil hitam Kyuhyun terus melaju dengan pelan.
Namun, dari arah berlawanan sebuah mobil melaju ugal-ugalan.J alannya tidak sinkron. Sebentar di kanan lalu ke kiri. Melaju begitu cepat.
Dan mobil itu melaju di lajur yang salah. Jalan yang salah!.
Sementara mobil Kyuhyun menikung pelan dan mata Kyuhyun langsung membelalak begitu melihat mobil dari arah berlawanan melaju dengan cepatnya. Tangannya baru akan membanting stir. Tapi terlambat.
Suara dentuman yang amat keras terlebih dahulu terdengar beserta suara sirine kedua mobil. Tabrakan itu tak bisa dihindari. Tubuh Kyuhyun lemah terkulai. Terjepit stir dan tempatnya duduk. Darahnya mengalir dari segala bagian tubuhnya. Beling kaca mobilnya menyilet-ngilet wajahnya. Tangannya menggantung.
“Vic…….”
Nama itu belum selesai disebutkan. Belum selesai!. Tapi nyawa itu telah lebih dulu terangkat dari tubuh pemiliknya.
Tangan yang menggantung itu juga sudah tak bergerak, dan sebuah darah mengalir melewati cincin berwarna perak itu.
*END FLASHBACK*
----
Mata Victoria terbuka seketika. Nafasnya tersengal dengan keringat mengalir. Mimpi itu. Mimpi tentang kilasan wajah Kyuhyun yang telah beku dan tak mengucapkan apa-apa.
Victoria bangkit. Matanya mengelilingi kamarnya sendiri.
“Kyuhyun tidak ada…” ucapnya lirih dengan airmata dan isakan. Dadanya penuh akan sesak.
“Kyu..” sekali lagi nama itu terucap. Semakin membuatVictoria sakit.
Victoria menunduk. Tangannya yang masih terkena darah dikakinya tadi bergerak pelan mengambil salah satu foto di dekatnya.
Foto itu. Foto Kyuhyun merangkulnya.
“Kyuhyun… kyuhyun… aku mencintaimu….” Lirihnya terus mengisak dengan airmata yang tak pernah habis.
----
Victoria tersenyum simpul. Senyum yang sangat tipis. Duka hatinya masih bergelora sampai bulan ketiga ini. Ditutupnya pulpen berwarna merah muda itu. Kemudian lembaran kertas di hadapannya itu di lipat rapi dan dimasukkan ke dalam amplop.
“Selesai..” katanya lalu bangkit dan meletakkan amplop itu di nisan Kyuhyun bersama dengan bunga ester putih-kuning itu.
“Kau harus membacanya..” kata Victoria memandang nisan itu. Airmatanya tidak bisa ditahan, dan mengalir begitu saja.
“Annyeong..” ucapnya mengusap airmatanya pelan dan berbalik.
Victoria melangkah pelan. Rambutnya berterbangan ringan ditiup angin. Seraya melangkah ia kembali mengingat apa yang telah ditulisnya tadi.

To : Cho Kyuhyun.
Hai, Kyuhyun.
Aku ingin menyampaikan segala perasaanku yang tak pernah kau tahu selama ini. Perasaan yang sangat besar dan hanya tersedia untukmu. Perasaan yang begitu menggembung lebar dalam diriku. Tidak pernah bisa sama sekali aku menghilangkannya.
Bahkan setelah tiga bulan kau pergi, perasaan ini masih begitu jelas untukku. Baiklah, aku tahu kau tidak suka basa-basi, jadi aku akan langsung mengatakannya.
Kyuhyun, aku sangat sangat mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Dan aku semakin mencintaimu sekarang. Meski kita berada di alam yang sangat berbeda. Dan aku tak akan pernah lagi bisa melihatmu dengan mataku ini, tapi mata hatiku hanya akan selalu melihatmu.
Aku menyayangimu. Dan aku senang, kau menepati janjimu. Janji bahwa kau akan mencintaiku sampai mati. Aku sangat bangga memiliki tunangan sepertimu, apa aku sudah mengatakannya? Kurasa belum.
Kyuhyunnie, Song Xi Quan di sini sangat merindukannmu. Sangat sakit hatinya karena tak bisa melihatmu. Sangat rapuh jiwanya karna tidak ada kau di sini. Tapi, aku juga sangat kuat karena cintamu. Cintamu yang sampai sekarang masih mengalir dengan kentalnya bersama darahku. Masih hidup bersama detakan jantungku.
Selamat tinggal Kyuhyun. Meski kau tidak ada di dunia yang sama denganku, jiwamu akan selalu tertanam di dalam sini, di hatiku..
Saranghaeyo, ChoKyuhyun.

Victoria Song.

Cerpen Remaja: Antara Kita dan Hujan


Hujan punya cerita tentang kita. Hujan mengerti tentang betapa aku merindukanmu, betapa aku mengharapkanmu kembali ke sampingku. Dan hujan pula yang tahu seberapa besar aku merindukan kisah denganmu.
“Dit, kamu tau Ara mau pindah?” pertanyaan Regi spontan membuatku kaget.
“Nggak lucu tau bercandamu,” kataku.
“Serius Dit, dia mau pindah ke Palembang. Aku aja baru tau dari Rena tadi. Katanya lusa dia berangkat,” Regi mencoba meyakinkanku.
‘Kok dia nggak cerita sama aku yah?’ Tanyaku pada diri sendiri.
“Thanks ya Gi infonya, aku mau ke rumah Ara dulu,” Aku kemudian bergegas mengayun kencang sepedaku ke salah satu sudut di kompleks perumahan itu. Tujuanku cuman satu, menanyakan kebenaran kepada Ara.
Aku dan Ara sudah kenal dekat sejak kecil. Kemanapun kami selalu bersama. Bisa dibilang kami tak bisa terpisahkan. Dimana ada Ara di situ juga ada aku, begitu pun sebaliknya. Aku tak pernah membiarkan anak-anak kompleks yang nakal itu mengganggu Ara. Aku hanya ingin melindunginya, dimana pun dia berada. Bahkan orang tuaku dan orang tua Ara sangat senang dengan keakraban kami. Ayah dan Ibu Ara selalu mempercayai keselamatan anaknya padaku. Saat mereka sedang dinas ke luar kota, Ara selalu menginap di rumahku. Ibuku pun senang dengan kehadiran Ara di hidup kami. Maklumlah, selama ini dia mendambakan anak perempuan. Setelah ada Ara, ibuku selalu menganggap bahwa dia adalah bagian dari keluarga kami, sebagai adikku tentunya.
“Araa,” panggilku sembari menyandarkan sepedaku di tembok rumahnya.
Aku langsung masuk ke rumah tanpa permisi. Yaa, ini sudah seperti rumah keduaku. Orang tua Ara juga sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri, terlebih setelah ayahku meninggal, ayah Aralah yang menggantikan sosok ayahku.
“Kenapa Dit?” kudengar suara dari belakang rumahnya. Kualihkan tujuanku ke taman di belakang rumah Ara.
“Jelasin, apa yang kamu sembunyiin dari aku?” tanpa basa-basi aku langsung bertanya padanya.
“Sembunyiin apa sih Dit? Aku nggak sembunyiin apa-apa,” terlihat ekspresi Ara mulai berubah.
“Kamu mau pindah kan? Iya kan? Kenapa kamu nggak mau ngomong ke aku sih Ra?”
“Maaf Dit,” Ara menunduk. Perlahan kulihat air mata membasahi wajahnya. “Maaf..”
Aku berjalan menghampirinya. Kunaikkan wajahnya yang masih menunduk. Kuseka airmata yang mengalir di pelupuk matanya. Tak tega aku melihatnya menangis, apalagi untuk melukai perasaannya.
“Maaf, aku udah bikin kamu nangis. Aku cuman nggak mau kamu bohong sama aku,” Ara memelukku. Aku terdiam.
“Maafin aku Dit, aku nggak bermaksud bohongin kamu, aku cuman takut aku nggak bisa ninggalin kamu,”
“Tapi Ra. Aku bakal jauh lebih sedih kalau disaat terakhir sahabatku di samping aku, justru aku nggak ngasih kenangan manis buat dia. Udah yaa, jangan nangis lagi,”
Terlihat awan mendung mulai menyelimuti langit. Titik demi titik air mulai berjatuhan membasahi bumi. Semakin deras. Kuajak Ara untuk memasuki rumah.
“Ujan Ra, masuk yuk,”
“Nggak mau ah Dit, udah lama kita nggak ujan-ujanan. Aku pengen ngelewatin hujan ini bareng kamu. Belum tentu kan kita bisa bareng kayak gini lagi?”
“Yaudah yuk aku temenin,”
Kami berlari menerjang hujan. Bermain-main bersama percikan hujan. Terlihat Ara tertawa tanpa beban, ‘ah aku pasti akan sangat merindukan tawanya,’ gumamku. Yaa, kita sama-sama menyukai hujan. Mencintai setiap titik yang terlahir dari awan mendung.
***
Sebelum matahari mulai menampakan wujudnya, aku telah duduk di halaman rumah Ara. Hari ini saatnya aku dan dia berpisah. Aku tak ingin melewatkan waktu berharga dengan sahabatku.
“Mau kemana kita hari ini?” tanya Ara bersemangat.
“Ke trampolin aja yuk,”
“Okee, ayo kita cabut,” Ara berlari meninggalkanku.
Aku dan Ara duduk di atas trampolin. Kita sama-sama terdiam. Masih dengan lamunan masing-masing. Tiba-tiba suara Ara mengagetkanku.
“Nyanyiin aku lagu dong Dit,”
“Males ah,”
“Tega nih? Ayolah,” bujuk Ara.
“Iya deh, aku ambil gitar dulu ya,”
Aku berlari memasuki rumah. Tak berapa lama aku kembali dengan gitar ditanganku.
Berjanjilah wahai sahabatku
Bila kau tinggalkan aku
Tetaplah tersenyum
Meski hati, sedih dan menangis
Kuingin kau tetap tabah menghadapinya
Terputar kembali kenangan-kenangan indah bersama Ara. Semua kisah sedih dan senang yang kita lewati bersama.
Bila kau harus pergi
Meninggalkan diriku
Jangan lupakan aku...
Semua waktu yang telah kita lewati berdua. Canda dan tawanya. Senyum dan tangisnya. Aku pasti akan sangat merindukannya.
Semoga dirimu di sana
Kan baik-baik saja
Wahai sahabatku
Di sini aku kan selalu
Rindukan dirimu
Wahai sahabatku....
Aku terdiam. Kulihat butir halus muncul perlahan di pelupuk matanya.
“Kamu nggak apa-apa kan?” tanyaku.
“Dit, tetep inget aku yaa,” ucap Ara lirih.
“Pasti lah. Aku bakal tetep inget sama kamu, sahabat sejatiku,”
Kuraih sebuah kotak yang terletak di sampingku. Kuberikan kotak kecil itu untuk Ara.
“Nih, aku ada kenang-kenangan buat kamu, biar kamu inget aku terus,”
“Liontin?” tanya Ara heran, setelah dia membuka hadiahku.
“Iya, ini sepasang. Pasangannya ada di aku. Biar kita yakin kalo suatu saat nanti kita bakal ketemu lagi. Aku pakein ya?” ucapku. Ara mengangguk.
“I will miss you so much Radit,” Ara menunduk sedih.
“Me too Ara. Jaga diri baik-baik yah,”
Diiringi dengan hujan, perpisahan pun tak terelakan. Ara telah pergi meninggalkan aku dan semua tempat kenangan kita.
“Aku pasti bakal balik lagi ke sini, tungguin aku yah..” teriak Ara dari kejauhan. Aku hanya tersenyum. Raganya kini tak lagi bersamaku. Aku dan dia kini telah terpisah.
Awan hitam masih terus muncul, membuat sang bintang tak juga menampakkan sinarnya. Aku masih duduk melamun di trampolinku. Membiarkan hujan mengguyur ragaku.
“Radit ayo masuk nak, mau sampai kapan kamu di sini?” Suara di belakangku mengagetkanku.
“Mah, Radit nggak bisa pisah dari Ara,”
“Udah nak, kalo Tuhan ijinin pasti kalian ketemu lagi. Ayo masuk, kamu udah basah kuyup nih,”
“Iya mah,”
***
3 tahun berlalu. Kini aku duduk di bangku SMA, di salah satu sekolah ternama di kotaku.
Aku tumbuh menjadi pemuda yang cuek. Tak peduli dengan gaya hidupku, aku tetaplah nyaman dengan apa yang ada didiriku. Tak pernah ada yang mengusik hariku, hingga seseorang datang mengubah kehidupan tenangku.
Koridor sekolah nampak lengang, aku masih terus berlari menyusurinya. Jam pertama di kelasku sekarang adalah Matematika, dan aku sukses berangkat terlambat karena semalaman insomniaku kambuh. Semenit saja aku terlambat masuk kelas, habislah kesempatanku mengikuti pelajaran itu, karena sang guru sangat disiplin soal waktu.
Brukk. Seseorang menabrakku. Aku langsung bangkit dan berniat lari menuju kelas, namun terhalang oleh perbuatan orang yang menabrakku itu.
“Seenaknya aja kamu main pergi-pergi. Udah nabrak bukannya minta maaf malah kabur!”
“Brisik loe! Gue lagi telat nih. Salah loe sendiri jalan nggak liat-liat!” bentakku.
“Kamu tuh yang main nabrak-nabrak aja!”
“Minggir loe! Gue udah telat nih!”
“Nggak mau! Minta maaf dulu!”
“Yaudah gue minta maaf, minggir!” Aku langsung lari meninggalkan orang tersebut. Sial! Umpatku dalam hati. Pasti aku tak bisa mengikuti pelajaran pagi ini. Gara-gara ulah orang itu.
Namun dewi fortuna sedang berpihak padaku. Sampai di kelas tak terlihat tanda-tanda guru killer itu berada di kelas. Kulangkahkan kaki menuju bangkuku.
“Kemana aja loe? Jam segini baru nongol. Untung tuh guru belum masuk,” ucap salah seorang temanku.
“Insomnia gue kambuh nih. Mana tadi acara tabrakan sama orang gila lagi!”
“Siapa Dit?” tanyanya lagi.
“Tau tuh. Anak baru kali,”
“Cewek apa cowok?”
“Cewek,”
“Cantik nggak?”
“Kepo banget sih loe!” bentakku kesal.
Sesaat kelas hening, setelah wali kelasku memasuki ruangan. Terlihat di belakangnya seorang gadis yang kutabrak tadi. Sial! Umpatku lagi. ‘Kenapa harus sekelas sama dia sih?’ tanyaku dalam hati.
“Hallo semua. Namaku Tiara Natasya. Aku pindahan dari Palembang, salam kenal,”
Deg. Mendadak aku terdiam setelah gadis itu memperkenalkan diri. Tiara?  Dari Palembang? Ingatanku memutar pada sosok di masa laluku. Sahabat kecilku. Mungkinkah dia?
Hujan mencegahku untuk meninggalkan sekolah. Aku memang sudah tak menyukai hujan semenjak seseorang meninggalkanku saat hujan. Kulihat Tiara bersandar di tembok sambil menengadahkan tangannya. Kuhampiri dia.
“Kamu lagi kamu lagi, males ngeliat!” ucapnya.
“Yee, siapa juga yang seneng ngeliat loe!” gerutuku.
“Yaudah sana pergi!”
“Loe aja sana! Gue ogah! Lagi ujan gede gini juga,” Tiara justru langsung berjalan diantara rintik hujan yang turun kian deras. Aku kaget. Nekad benar dia.
***
Sebulan sudah Tiara menjadi siswa baru. Rasa penasaranku tentang Tiara di masa lalu makin memuncak saat aku tak sengaja melihat kalung yang dia pakai.
“Ra, kalungnya bagus,” celetukku.
“Apa sih? Nggak usah cari gara-gara deh,”
“Gue cuman mau nanya loe beli dimana?”
“Ngapain nanya-nanya? Ini tuh nggak bakal bisa loe dapetin dimana pun!” Setelah mengatakan itu, Tiara bergegas meninggalkanku.
“Gue yakin dia pasti Ara,” ucapku.
Hujan terus mengguyur Jakarta seharian ini. Lagi-lagi aku enggan beranjak dari tempatku sampai hujan berhenti.
“Mau sampai kapan loe di sini? Hujan kayak gini pasti bakalan awet,” aku mencari sumber suara itu berasal.
“Tiara? Emm.. Sampai hujannya berhenti lah,” ucapku sambil mengalihkan pandangan ke arah rintik hujan.
“Udah gue bilang kan, hujannya bakalan awet. Mending ujan-ujanan aja sama gue,” ajak Tiara.
“Ogah. Gue males kena air ujan. Lagian kenapa sih loe tiba-tiba baik gitu sama gue?” tanyaku penuh selidik.
“Pede loe! Gue cuman nggak mau aja ngeliat loe lama-lama di sini!” Tiara lagi-lagi berlari menerobos hujan.
“Sebenernya siapa sih dia? Kok tiap gue ngeliat dia gue jadi inget Ara yah?”
***
Kulangkahkan kakiku menuju kantin, rasa lapar ini sudah hampir mencapai puncaknya. Namun, langkahku terhenti saat aku melihat kerumunan siswa di lapangan.
“Ada apa sih? Kok rame gitu?” tanyaku pada salah seorang siswa.
“Ada yang pingsan. Tiara,”
“Tiara?” ulangku tak percaya. Kuterobos kerumunan itu hingga kudapati seseorang yang dimaksud. Yaa, memang Tiara yang pingsan. Spontan aku langsung membawanya ke UKS.
Sejam berlalu. Tiara tak kunjung sadarkan diri. Sesuai saran dokter, usai insiden tadi dia langsung dibawa ke Rumah Sakit. Entah kenapa aku menawarkan diri untuk menunggunya. Seperti ada perasaan yang mengganjal setiap aku melihatnya.
Hujan terus turun dengan derasnya bersamaan dengan Tiara yang mulai sadarkan diri.
“Kamu nggak apa-apa kan?” tanyaku khawatir.
“Kamu?” Tiara nampak bingung.
“Iya aku, Radit. Tadi kamu pingsan di sekolah, terus di bawa ke sini deh. Sebenernya kamu sakit apa sih?”
Beberapa saat Tiara diam. Namun aku tetap menunggu dia memulihkan kondisinya. Kupandangi dia, sampai lagi-lagi aku teringat pada satu sosok di masa laluku itu.
“Dulu aku emang sakit. Gagal ginjal. Tapi sekarang udah nggak kok,”
“Kok bisa?”
“Sebulan yang lalu ada orang tua yang baik banget ngasih ginjal anaknya buat aku. Dan untungnya tubuh aku bisa nerima ginjal itu,”
“Kok bisa ngasih sih?”
“Iyaa. Anaknya sendiri yang bilang, kalo dia meninggal dia mau donorin apa yang ada di tubuhnya buat orang yang ngebutuhin,”
“Berarti yang donorin itu udah meninggal?”
“Yap. Dia sakit nggak taulah apa namanya, aku lupa. Kita sempet satu rumah sakit, dia sendiri yang minta ke orang tuanya buat ngasih ginjalnya ke aku. Oh ya, dia juga dimakamin di Jakarta kok, soalnya dia asli sini,”
“Apa kamu bilang? Dia asli Jakarta?”
“Iya. Emang kenapa?” tanya Tiara bingung.
“Namanya siapa?”
“Sama kayak aku. Tiara, tapi panggilannya Ara,”
“Nggak mungkin. Jangan kamu bilang dia Tiara Azizah?” tanyaku tak percaya.
“Iyah. Kamu kenal?” Tiara tampak bingung.
“Aku...aku...aku sahabatnya,” ucapku terbata-bata.
“Jadi...Kamu Radit yang selama ini Ara ceritain?” tanya Tiara tak percaya.
“Cerita apa?” tanyaku heran.
“Banyaklah. Yang jelas katanya kamu itu berarti banget buat dia,”
Ruangan itu kembali hening. Aku tak percaya, sahabat yang selama ini kunantikan, kutunggu kedatangannya kembali, nyatanya takkan pernah muncul lagi dihadapanku.
Pantas saja setiap aku melihat Tiara bayang-bayang Ara selalu hadir. Ginjal itu, yaa ginjal milik Ara lah yang selalu membuatku melihat Tiara sebagai bayangan Ara.
***
Aku tertunduk lemah, masih memandangi pusara yang mulai kusentuh. Kuraba nisan yang ada di depanku. Kurasakan gundukan tanah yang sedikit basah ini. Di dalam sini, di tempat ini, orang yang sangat berarti dihidupku terlelap.
“Radit,” panggil seseorang di belakangku.
“Tiara?”
“Aku mau ngasih ini buat kamu,” Tiara memberikan sepucuk surat untukku.
Kuraih surat itu, kubaca. Butir-butir airmata mulai mengalir. Tangis yang selama ini tak pernah kuperlihatkan lagi semenjak kepergian Ara 3 tahun yang lalu, kini memecah saat aku membaca kata demi kata yang tertulis di surat itu.

Dear Radit,
Apa kabar? Aku yakin surat ini pasti bakal sampai ke tangan kamu dengan selamat, tanpa ada lecet sedikitpun. Bener kan? :D
Waktu kamu baca surat ini, bisa aku pastiin kalo aku udah nggak ada di sisi kamu lagi. Yaa, sekarang pasti ada Tiara di deket kamu kan? Anggep aja itu aku ya J
Maaf Radit, aku dateng tanpa ragaku bahkan jiwaku, aku dateng cuman dengan surat ini. Hidupku udah berakhir Dit, Tuhan udah manggil aku buat pulang lagi ke sisiNya. Kuatin diri yaa. Maaf aku nggak bisa tepatin janji aku buat bareng lagi sama kamu, tapi sekarang aku bawain Tiara buat kamu. Dia sama kok sama aku, sama-sama Tiara J
Maaf juga ya, aku nggak pernah cerita apa pun tentang penyakitku. Bahkan sampai sekarang pun aku juga nggak mau kamu tau apa yang aku rasain. Yang jelas aku sakit, sakit parah kata dokter. Aku harus terus-terusan kemoteraphy. Selama ini aku diem karena aku nggak mau bikin kamu tambah sedih Dit. Aku pengen kamu ngeliat aku sebagai Ara yang kuat, semangat, dan sehat.
Dari dulu sebenernya ada satu hal yang mau aku omongin sama kamu, yaa tapi nggak pernah bisa aku omongin karena aku sadar aku nggak akan bertahan lama di dunia ini. Aku sayang kamu, lebih dari sayang seorang sahabat. Sekali lagi aku minta maaf, buat semua kebohongan yang aku buat ke kamu.
Titip Tiara ya Dit. Jaga dia seperti kamu jaga aku. Sayangi dia seperti kamu sayangi aku.

Peluk cium, Ara

Tik tik tik. Awan kembali menghitam. Memunculkan kesedihannya kembali. Walau pun awan mulai menangis, aku masih enggan beranjak dari tempat ini. Aku masih tak percaya dengan kenyataan yang terjadi.
“Ayolah Radit, sampai kapan kamu di sini? Hujan makin deras nih,”
“Sorry Ra,” aku tersadar. Aku mulai beranjak dari tempat itu. Meninggalkan rumah terakhir Ara.
***
Hujan. Menyimpan banyak cerita tentang kita. Tentang aku, Ara dan Tiara. Hujan yang memisahkanku dengan Ara. Hujan yang pertemukanku dengan Tiara. Hujan yang kembalikan Ara padaku, walau pun tanpa raganya. Hujan pulalah yang satukan aku dengan Tiara.
 “Tuh kan ngelamun lagi!” Tiara setengah berteriak di dekatku.
“Eh iya iya, hehe,”
“Dit Dit liat deh ada pelangi,” Tiara menunjuk ke arah langit.
“Oh iya, bagus ya?”
“Pastinya. Selalu ada pelangi setelah hujan dan selalu ada cerita tentang kita dibalik hujan,”
“Dan aku nggak akan biarin hujan menghapus cinta kita,” ucapku, kemudian mengacak rambut Tiara.
“Rrrraaaddiiiiiittttttt....” teriak Tiara. Aku bangkit dan berlari menjauh dari jangkauan Tiara.
Kini tawalah yang tercipta. Cintalah yang terasa. Terima kasih hujan, karena kau telah hadirkan cinta di hidupku.

Aku tak pernah berharap banyak pada hujan. Yang aku minta hanya jangan sampai hujan pisahkan lagi aku dengan orang yang kusayang. Karena aku ingin menikmati indahnya langit setelah hujan bersama dia yang kucintai.