Wednesday, 30 May 2012

Cerpen Cinta: WAITING FOR YOU

WAITING FOR YOU
Oleh: dellia riestavaldi

Cerpen Cinta Sedih
Udah ke 2 hari ucil engga sms aku, udah 2 hari juga aku mengkhawatirkan keberadaannya, ya tuhan dia kemana, dia dimana sekarang, dimalam hari itu aku terus menunggu sms darinya, sudah berpuluh-puluh kali aku mengirim text messages tapi ga ada satupun pesan masuk di hape aku dari dia. Sial besok libur UN anak kelas 3 SMA, sedangkan aku duduk di kelas 2 dan ucil kelas 1. Gimana dong kalau besok libur, bakal 4 hari ga ketemu ucil  ucil kenapa? Ada yang aneh dari dia ya tuhan . Setiap malem ucil selalu say good night have a nice dream sayang, tapi udah 2 hari ini ga ada kata-kata kaya gitu lagi, aku takut kata-kata itu ga akan aku dengar lagi. Harus sampai kapan tiap malem aku nangis nungguin dia.

tokkkk….tokkkk…..tokkk
Suara ketukan pintu yang terdengar dari arah pintu kamarku.

“masuk aja ga di kunci” kataku sambil berteriak.

“dell, lagi apa lo? Nangis sendiri di kamer.” Sambil menghampiriku di ranjang tempat tidurku.

“gapapa kok nay, aku Cuma nunggu sms dari ucil.” Kataku

“emang lo jadian dell sama ucil?” Tanya nayla.

“engga sih, tapi aku ngerasa beda aja sama dia.” Balasku

“yaudahlah dell toh dia bukan siapa-siapa elo kan?’’

“kata-kata kamu tuh ga bikin aku tenang nay, mending kamu tidur aja deh nay, biarin aja aku bakal nunggu dia sms aku.” Cetusku

“iya dehh sorry dell, Gnight beib.”

aku terus memandang kearah luar jendela, sambil memegang hapeku. Entah samapai kapan aku harus menunggunya membalas pesanku.

*tertidurr

* * *
liburan selesai, tinggal berangkat sekolah, aku harus cari ucil sampai ketemu, dia ga boleh mainin aku gitu aja -.-

sesampainya aku di sekolah, langkahku terhenti di parkiran motor sekolahku. motor ucil mana? Biasanya jam segini dia udah datang. Aku harus ke kelasnya, langkahku terasa berat untuk menghampirinya ke kelas. Perasaan aku tiba-tiba gaenak.

aku berdiri di depan kelasnya, tiba-tiba aku terhenti di depan pintu. Kenapa aku? Seharusnya aku masuk ke kelasnya dan bertemu dengannya. Mending aku ke kelas aku aja deh ucil juga belum datang. Aku terus jalan menuju kelasku.

pelajaran pagi hari ini akuntansi, semangat dong semangat ini kan pelajaran kesukaanku. Sudah 1 jam pelajaran di mulai tiba-tiba ada anak osis masuk ke kelasku dan member pengumuman. Dalam hati ku pasti minta sumbangan huh, aku terus melanjutkan tugas akuntansiku.

“assalamualaikum wr.wb. maaf teman-temen mengganggu sebentar, innalilahi wainnailahi rojiun, telah berpulang ke rahmatullah adik kelas kita Muhammad Raditya Ucill dari kelas X2. Ayo kita bersama-sama membaca surah al-fatihah untuk mendoakannya.”

Aku langsung terhenti mengerjakan tugas akuntansi itu, aku lansung berdiri dari tempat dudukku, aku langsung meneteskan air mata dan lari meninggalkan kelas dan pergi ke WC sekolah.

“cil, kamu jahat, kamu jahat cil, kamu ninggalin aku sendiri, kamu belum denger kalau aku mau jadi pacar kamu, cil kamu jahat.” Teriakku di WC sekolah, perlahan-lahan aku duduk menyender tembok, berjam-jam aku ga keluar dari WC, aku belum bisa nerima kenyataan ini ya tuhan, sakit sekali rasanya.Setelah aku keluar dari WC aku langsung mengambil tasku, aku langsung kabur dari sekolah dan ikut teman sekelas ucil untuk melayat.

Sesampainya di rumah ucil, aku berjalan pelan untuk menemui jenazah ucil, tidak berehenti air mataku mengalir. Aku duduk di sebelah jenazahnya.

“ucil, kenapa kamu pergi secepat ini, kenapa kamu ninggalin aku cil, kamu inget ga waktu kita nonton, kamu pegang tangan aku, kamu cium kening aku cil, aku kangen kamu cil, cil kalau kamu sayang sama aku KAMU BANGUN SEKARANG JUGA CIL, BANGUN !!”

“sabar sayang ibu juga belum bisa nerima kepergian ucil.” Suara itu terdengar dari belakangku, ya dia ibunya ucil.

“ibu, ucil kenapa bisa kaya gini.” Tanyaku

“dia jatuh dari motor, sehari sebelum UN, selama 3 hari ucil koma di rumah sakit.”

“kenapa temen-temennya ga pada tau bu, dia selama ini baik-baik aja kok, dan pas kejadian dia ga pernah hubungin adell bu, adell khawatir banget bu sama dia tapi ini udah jadi kenyataan yang sangat menyakitkan.”

“ka adell” suara cewek yang memanggilku dari belakang, aku menengok ke belakang dan menghapus air mataku.

“de nessa, ada apa de?” tanyaku

“ka, aku tau kronologi kejadian ucil ka.”

“ucil kenapa de?”

              “ucil, ngliat kaka pergi sama cowo, dia langsung pergi ka ke rumah papanya di bandung, kan dia anak broken home gitu ka, orang tuanya pisah, ucil bawa motornya dengan kecepatan 80km/jam, pas di perempatan ucil ngrem mendadak ka akhirnya dia jatoh dan kepalanya tebentur stang di motornya.” Penjelasan nessa.

               Aku terdiam, tapi air mataku terus mengalir, ucil salah paham lalu emosinya tidak terkontrol, jadi selama ini aku nungguin acil ga ada hasilnya, dia terlanjur ninggalin aku. Aku langsung ke tempat jenazahnya, karena sebentar lagi jenazahnya akan segera di kuburkan.

* * *
               Prosesi pemakaman telah selesai, aku langsung pulang kerumah dan membaringkan tubuhku di atas ranjangku, aku mengambil hapeku, Cuma orang bodoh yang aku tungguin sms orang udah ga ada. Tapi rasa sayangku ke dia masih tetep ada. Ucil semoga kamu tenang ya disana ya aku sayang banget sama kamu. Semoga aku bisa nemuin orang seperti kamu, Gnight ucil 

THE END


FB: adell qodell
@ondelladel
Cerpen Adell lainnya:  PERGILAH KAU!!

Sunday, 27 May 2012

Cerpen Cinta Sedih: PERGILAH KAU

PERGILAH KAU
Oleh: dellia riestavaldi

               Hallo namaku Evelyn Pahlevi, aku baru duduk di bangku kelas 11 SMA. Aku ingin bertanya sama kalian, cinta itu apa? sayang itu apa? Apakah cuek sama cinta itu sama? Setahuku tidak. Kalau kalian lihat orang kalian cintai atau sayangi itu down, apa yang kalian lakukan, ga musti diem aja kan Cuma ngliat doang,, kalau aku, aku bakal samperin dia, nghibur dia, nemenin dia. 

               jam menunjukan angka 7.15, udah seharusnya aku berangkat sekolah. Dan sesampainya di sekolah aku langsung duduk ditempat dudukku, dan menoleh ke belakang kearah meja brian. Brian Syahreza adalah sahabatku, tapi itu dulu. Semenjak ulang tahunku yang ke 16, dia berubah padaku, perhatiannya melebihi seorang sahabat. Kita udah deket semenjak kenaikan kelas XI, itu juga karna dia nyambung sama aku enak di ajak bercanda. Akhir-akhir ini kita deket kesana kesini bareng.
Awal bulan mei aku di beri cobaan oleh tuhan, seorang cewe yang gasuka terhadap kedekatan ku dan brian, dia Fera. Fera dulu juga dekat dengan Brian, tapi mereka ga sampe jadian. Teman-teman Fera melabrakku, dengan tuduhan aku merebut Brian dari Fera, entah apa yang harus ku lakukan, toh faktanya emang Brian kan gapernah jadian sama Fera. DEKET? Ya tapi itu dulu pada saat mereka kelas 10. Disini aku di aku belajar menjadi sosok pribadi yang kuat, sabar dan tidak menghiraukan mereka yang iri padaku. aku tak memikirkan masalah itu, karna hati aku yang terpenting bukan mereka.

               Aku cape harus bolak-balik wc untuk membuang air mata kepedihan ini, aku ga kuat nahan air mata di depan Brian. Setiap kali aku menatap matanya aku bertanya dalam hati “apakah kamu benar mencintaiku, taukah aku hanya bonekamu?”, sikap cueknya itu membuatku perih dan sesak di dada. Aku harus bertahan, mungkin aku belum terbiasa dengan sikapnya, harus selalu optimis berfikir tentang dia. Prinsipku “jika kita ingin di mengerti oleh mereka, kita juga harus mengerti mereka” yup aku harus ngertiin dia. Berminggu-minggu aku dekat padanya, tapi dia sama sekali belum menyatakan perasaannya, aku rasa aku harus menunggu dan dia juga butuh waktu, dan aku yakin dia punya cara tersendiri buat ngungkapinnya 

               hari ini upacara bendera libur dulu soalnya ujan nih pagi-pagi, aku dari dulu gasuka HUJAN ya H-U-J-A-N, aku gasuka petir. Aku duduk diam di bangkuku dan lalu aku menoleh ke arah Brian yang sedang menikmati music yang ada di speaker porttablenya, aku terus menatapnya dan bicara padanya.

               “Yan, ganti dong lagunya, aku gasuka lagunya.”

               dia melihat ke arahku, dan dia malah buang muka padaku. Aku langsung terdiam dan membalikkan badanku ke arah papan tulis. Dia gasuka ya sama aku, sampe dia gtuin aku? Hmm.
aku masih sabar soal itu, aku menoleh teman sebangku ku, aku meminjam LKS nya, tapi terdengar dari suara di belakangku “aku dulu lyn yang minjem” aku langsung melempar LKS itu kearah mukanya. Dan aku langsung lari ke WC, aku langsung kunci pintu dan menyalakan air keran, supaya ga ada yang tau kalau aku nangis. Aku baru sadar sahabatku Nessa dan Dicky tau kalau aku pergi sendirian pasti ada sesuatu hal yang terjadi kepadaku, aku langsung mengusap air mataku, dan mencuci muka ku, aku keluar dari WC itu, lalu aku berjalan menuju kantin. Aku ga peduli aku harus kehujanan, walaupun hujannya ga terlalu lebat. Aku memesan teh hangat, dan langsung duduk di meja kantin, ku pandangi Blackberryku. tapi, ga ada satupun pesan atau bbm dari Brian. Brian tidak mengkhawatirkanku, dia tak mencariku, tiba-tiba hujan sangat lebat datang menghampiri, aku sudah tak kuat menahan rasa sakit dan air mata ini. Aku langsung berjalan menuju kelasku dengan airmata ini, se engganya kali ini hujan telah membantu ku untuk menghapus air mata ini.

               Sudah 1jam aku berada di luar kelas, sebentar lagi bel pulang, aku langsung segera ke kelas dengan basah kuyup. Pas aku baru masuk kelas, mataku langsung tertuju pada Brian, ternyata dia asik-asik aja bercanda sama yang lainya, YA dia sama sekali tidak mencariku dan mengkhawatirkanku. Aku langsung mengambil tasku dan pulang ke rumah dengan motor kesayanganku, tak pandang seberapa deras hujan saat itu.

               sesampainya di rumah aku langsung lari ke kamar mandi, seperti biasa aku langsung menyalakan air keran di bak mandi. Aku berdiri di depan cermin, mataku, hidungku, bibirku merah karena hujan di mataku ini, teringat Brian aku langsung menahan sesak di dada dan airmata ini. Aku menghempaskan tubuhku di lantai kamar mandiku, aku meluapkan rasa sakit itu dengan air mata. Brian gasuka sama aku, Brian ga peduli sama aku. Dari hal terkecil tadi aja dia tidak menghawatirkan aku. Sampai sekarang aku ga pernah tau perasaan Brian gimana sama aku, aku ga boleh terlalu berharap. Kalau dia ada rasa sama aku pasti dia nyari aku, tapi nyatanya engga. Aku ga boleh nangis lagi aku harus bangun dari ketepurukanku, dia ga bakal tau aku sesakit ini dan menurutku kalau cinta itu seneng susah bareng, tapi malah senengnya aja yang bareng  ya aku tau dia ga ada rasa sama aku, wake up lyn masih banyak yang lain 

               besoknya disekolah, aku masuk kekelasku dan pagi itu aku bertemu sesosok Brian, aku langsung berhenti di tempat sejenak, ku tarik nafasku ku dalam-dalam dan ku hembuskan perlahan dan aku langsung melanjutkan jalan ku kea rah tempat duduk. Brian menghampiriku, dia berbicara panjang lebar tapi sayangnya aku udah ga peduli, aku abaikan saja dia. Bel istirahat sudah berbunyi aku segera membereskan buku-bukuku di atas meja, aku berdiri dari tempat duduk ku, Brian menarik tanganku, dia berbicara dengan nada pelan kepadaku.

          “lyn, kamu kenapa?” Tanya Brian.

          “menurutmu aku kenapa? Jawabku.

          “kamu beda lyn, aku salah apa sama kamu?” nada yang semakin pelan.

          “kamu bilang aku beda? Aku kaya gini karna karna kamu? Sudahlah kamu itu engga pernah peduli sama aku Yan, dan sekarang kamu gausah sok sokan peduli gitu sama aku huh.” Nadaku agak tinggi.

          aku perlahan pergi meninggalkan Brian, tapi Brian menarik tanganku.

          “tapi tunggu lyn, aku sayang kamu.”

          “oh gitu ya, kemarin-kemarin kamu kemana, saat aku butuhin yang ada malahan kamu asik-asik sendiri kan sama temen-temen kamu, aku pergi dan kehujanan kemarin, apa kamu khawatirin aku? Engga Yan kamu engga peduli sama aku, sekarang kamu se enaknya bilang sayang, emang aku apaan Yan ?” kesalku

          “Lyn dengerin penjelasan aku dulu.” Rintihnya.

          “aku ga butuh penjelasan apapun dari kamu yan, semuanya udah jelas kok!” suara lantang keluar dari mulutku, lalu aku langsung melepaskan genggamannya dan kemudian aku pergi meninggalkannya.

          aku berjalan entah kemana, aku gapunya tujuan, yang tadinya mau ke kantin, Nessa dan Dicky ninggalin aku. Tetes demi tetes air mata ini mulai berjatuhan, kenapa harus kaya gini sih. Aku terus berjalan sambil mengusap airmataku. Karna ini semua bukan akhir  karna sudah lama aku lelah menunggunya, menunggu kepastian hubungan diantara kita itu apa. Ternyata aku baru sadar orang yang mencintai kita adalah orang yang memperdulikan kita  seperti sahabat-sahabatku Nessa dan Dicky.
*****


Komentar langsung bisa lewat Fb: adell qodell @ondelladell

Saturday, 26 May 2012

CERPEN PERSAHABATAN TERLARANG

PERSAHABATAN TERLARANG
Karya Siti Khoiriah
Cerpen Persahabatan
Sejak pertemuan itu, aku dan Devan mulai bersahabat. Kami bertemu tanpa sengaja mencoba akrab satu sama lain, saling mengerti dan menjalani hari-hari penuh makna. Pesahabatan dengan jarak yang begitu dekat itu membuat kami semakin mengenal pentingnya hubungan ini.

Tak lama kemudian, aku harus pergi meninggalkannya. Sesungguhnya hatiku sangat berat untuk ini, tapi apa boleh buat. Pertemuan terakhirku berlangsung sangat haru, tatapan penuh canda itu mulai sirna dibalut dengan duka mendalam.

“Van maafkan aku atas semua kesalahan yang pernah ku lakukan, ya.” Kataku saat ia berdiri pas di depanku.

“kamu gak pernah salah Citra, semua yang udah kamu lakukan buat aku itu lebih dari cukup.”

“pleace, tolong jangan lupain aku, Van”

“ok, kamu nggak usah khawatir.” Sesaat kemudian mobilku melaju perlahan meninggalkan sesosok makhluk manis itu.

Ku lihat dari dalam tempatku duduk terasa pedih sangat kehilangan. Jika nanti kami dipertemukan kembali ingin ku curahkan semua rasa rinduku padanya. Itu janji yang akan selalu ku ingat. Suara manis terakhir yang memberi aku harapan.

Awalnya persahabatan kami berjalan dengan lancar, walau kami telah berjauh tempat tinggal. Pada suatu ketika, ibu bertanya tentang sahabat baruku itu.

“siapa gerangan makhluk yang membuatmu begitu bahagia, Citra?” tanya ibu saat aku sedang asyik chatingan dengan Devan.

“ini, ma. Namanya Devan. Kami berkenalan saat liburan panjang kemarin.”

“seganteng apa sich sampai buat anak mama jadi kayak gini?”

“gak tahu juga sih ma, pastinya keren banget deh, tapi nggak papah kan, Ma aku berteman sama dia.?”

“Apa maksud kamu ngomong kayak gitu?”

“kami berbeda agama, Ma”

“hah??,” sesaat mama terkejut mendengar cerita ku. Tapi beliau mencoba menutupi rasa resahnya. Aku tahu betul apa yang ada di fikiran mama, pasti dia sangat tidak menyetujui jalinan ini. Tapi aku mencoba memberi alasan yang jelas terhadapnya.

Sehari setelah percakapan itu, tak ku temui lagi kabar dari Devan, aku sempat berfikir apa dia tahu masalah ini,,? Ku coba awali perbincangan lewat SMS..

“sudah lama ya nggak bertemu? Gimana kabarnya nech,,? “

Pesan itu tertuju kepadanya, aku masih ingat banget saat laporan penerimaan itu. Berjam-jam ku tunggu balasan darinya. Tapi tak ku lihat Hp ku berdering hingga aku tertidur di buatnya. Tak kusangka dia tak membalas SMS ku lagi.

Tak kusangka ternyata mama selalu melihat penampilan ku yang semakin hari semakin layu.

“citra, maafkan mama ya, tapi ini perlu kamu ketahui. Jauhi anak itu, tak usah kamu ladeni lagi.” Suara mama sungguh mengagetkan ku saat itu. Ku coba tangkap maknanya. Tapi sungguh pahit ku rasa.

“apa maksud mama?”

“kamu boleh kok berteman dengan dia, tapi kamu harus ingat pesan mama. Jaga jarak ya, jangan terlalu dekat. Mama takut kamu akan kecewa.”

“mama ngomong paan sih,? Aku semakin gak mengerti.”

“suatu saat kamu pasti bisa mengerti ucapan mama” mamapun pergi meninggalkan ku sendiri.. Aku coba berfikir tenteng ucapan itu. Saat ku tahu jiwa ini langsung kaget di buatnya.. tak terasa tangispun semakin menjadi-jadi dan mengalir deras di kedua pipiku. Mama benar kami berbeda agama dan nggak selayaknya bersatu kayak gini. tapi aku semakin ingat kenangan saat kita masih bersama.

Satu tahun telaj berlalu, bayangan tentangnya masih teikat jelas di haitku. Aku belum bisa melupakannya. Mungkin suatu saat nanti dia kan sadar betapa berharganya aku nutuknya.

Satu harapan dari hatiku yang paling dalam adalah bertemu dengannya dan memohon alasannya mengapa ia pergi dari hidupku secepat itu tanpa memberi tahu kesalahanku hingga membuat aku terluka.

Pernah aku menyesali pertemuan itu. Tapi aku menyadari betapa berartinya ia di hidupku. Canda tawa yang tinggal sejarah itu masih terlihat jelas di benakku dan akan selalu ku kenang menjadi bumbu dalam kisah hidupku.

Devan, kau adalah sahabat yang paling ku banggakan. Aku menunggu cerita-ceritamu lagi. Sampai kapanpun aku akan setia menunggu. Hingga kau kembali lagi menjalani kisah-kisah kita berdua.

TAMAT

Wednesday, 23 May 2012

Cerpen Cinta Remaja: My Prince in Dreamland

My Prince in Dreamland
Cerpen Cinta Remaja
karya Firdausi F.L

“Uuh…!” keluh Karin seraya membanting tasnya yang lengket karena ditempeli permen karet tadi pagi.
“Gara – gara Kak Radith lagi, Kak?” Tanya Nayla, adik Karin, yang juga masih mengenakan seragam putih birunya. “Sabar ajah, deh, Kak! Satu setengah tahun lagi lulus…”
“Satu setengah tahun itu masih lama, tau!” seru Karin yang masih cemberut, seraya meraih laptopnya.
“Pasti mau chatting sama ‘Sang Pangeran’ itu lagi!” tebak Nayla. Karin hanya tersenyum. “Siapa, sih, Kak, Prince Eric itu sebenarnya? Kakak masih belum ketemu sama orangnya?” Tanya Nayla lagi.
Karin tersenyum melirik Nayla. “Iya, sampe sekarang kakak emang belum ketemu orangnya. Tapi yang jelas, dia asyik!”
               Sekarang ia memang punya agenda baru setiap pulang sekolah. Yaitu chatting dengan teman barunya, Prince Eric. Menurut Karin, orang yang menamai akun Facebooknya dengan nama Prince Eric itu memang orang yang asyik diajak mengobrol. Tak jarang Karin juga curhat kepadanya. Sejak mengenal Prince Eric, bebannya sepulang sekolah serasa berkurang. Ia jadi lumayan bisa melupakan kekesalannya kepada Radith, teman sekolahnya yang super jahil itu.
               Karin mengenal Prince Eric dari sebuah grup di Facebook yang bernama It’s Dreamland. Grup orang – orang yang menyukai cerita fiksi. Di sana hampir semua member menamai akun Facebooknya dengan nama tokoh favoritnya. Termasuk ia yang menamai akunnya Princess Sugarplum, putri di cerita Nutcracker. Tanpa disangka, ia juga berkenalan dengan seseorang yang menamai akunnya Prince Eric, pangeran di cerita Nutcracker.
“Yippie!” seru Karin tiba – tiba, yang membuat Nayla menjatuhkan novel yang dibacanya.
“Ada apa, sih, Kak?! Bikin orang jantungan ajah!” sungut Nayla.
“Ada kabar bagus, Nay! Dia ngajakin ketemuan!”
“Siapa? Oh… ‘Sang Pangeran’, ya?”
Karin hanya tersenyum. “Katanya, dia ngajakin ketemuan di taman kota, besok jam 5 sore. Dia akan bawa kado special…”
“Ciie…jangan – jangan dia bakal langsung nembak kakak besok! Di taman, waktu pesta kembang api malam – malam…So Sweet!”
“Iih…apaan, sih?!”
               Sampai malam, Karin terus memikirkan hal itu. ia benar – benar penasaran, siapakah Prince Eric yang selama ini dikenalnya itu? Bahkan, sampai esoknya di sekolah ia masih memikirkan hal tersebut. Karin jadi tak terlalu konsen ke pelajaran. Tapi anehnya, Radith, yang biasanya tak pernah absen untuk mengisenginya, kini sama sekali tak bertingkah.
               Waktu yang dinantikan pun akhirnya tiba. Tepat pukul 04.30 sore, Karin langsung berangkat dari rumahnya.
“Ciie…yang mau ketemu sama si doi!” goda Nayla. Karin hanya melirik adiknya, seraya tersenyum, tanda mengiyakan.
               Dua puluh menit kemudian, Karin telah sampai di taman. Setelah selesai memarkirkan motor, tiba – tiba seseorang menabraknya. Karin terkejut. Ia tambah terkejut lagi ketika tahu siapa orang yang telah menabraknya itu.
“Karin?!”
“Radith?!”
“Ngapain lu ada di sini?”
“Harusnya gue yang nanya! Kenapa, sih, lu harus selalu ada di mana – mana dalam hidup gue?! Nggak puas apa lu, tiap hari ngerjain gua di sekolah?!” seru Karin sewot dan langsung berlari meninggalkan Radith. Radith tertegun mendengar bentakan Karin. Tapi, ia tak berkata apa – apa.
               Karin segera menuju sebuah bangku yang berada di dekat air mancur di tengah taman. Tapi, tak ada seorangpun di sana, selain anak – anak yang sedang bermain gelembung sabun.
“Katanya, dia akan datang dengan pakaian serba biru, pukul 5 tepat… Tapi, sekarang, kan, masih jam 5 kurang 5 menit. Aku tunggu saja lagi…” ujar Karin dalam hati. Lima menit kemudian, seseorang dengan pakaian serba biru datang dan menghampirinya. Tapi Karin malah jadi cemberut. Ia yakin betul itu bukan yg ditunggunya. Yups! Sebab orang itu adalah….Radith!
“Ngapain, lu ngikutin gua ke sini, juga?!” seru Karin sewot.
“Siapa yang ngikutin lu, gua janjian sama seseorang di sini! Elu kali, yang mata – matain gua!”
“Diih…gua juga lagi janjian sama seseorang di sini! Gua mau ketemu sama pangeran gua, Prince Eric, namanya!”
“Haa?! Jadi…elu yang pake akun FB Princess Sugarplum itu?”
“Ha?! Lu tau dari mana? Apa jangan – jangan lu…”
“Jadi, selama ini?!” seru keduanya kompak.
“Huh! Jadi Princess gua itu elu?!”
“Idih…siapa juga yg mau jadi Princess lu! Jangan harap!” seru Karin seraya langsung meninggalkan Radith.
               Sejak itu pun Karin tak pernah lagi chatting dengan Radith yang selama ini dikenalnya dengan Prince Eric itu. Radith pun tak pernah mengisenginya lagi di sekolah. Namun lama – kelamaan, ada rasa tidak nyaman juga yang timbul di hati Karin. Ia merasa kehilangan sekaligus dua sosok yang selama ini membuat hidupnya lebih berwarna. Sosok yang selalu menjadi tempat curhatannya, dan penghibur saat dia sedih, serta sosok yang selalu harinya di sekolah menjadi lebih seru, meski sering kali membuatnya jengkel pula.
“Prince Eric hanyalah pangeran dalam dongeng. Kisah bahagia Prince Eric dan Princess Sugarplum hanyalah dalam dongeng pula. Dan dongeng itu tidak nyata! Dongeng hanyalah fiksi!” Itulah yang selalu diucapkan Karin saat ia merindukan keadaan yang dulu lagi…
               Sudah lebih dari dua minggu Radith tidak mengisengi Karin lagi di sekolah. Mereka pun tak pernah saling menyapa. Sampai suatu hari, saat jam istirahat, Karin menemukan sebuah kotak hadiah kecil di kolong mejanya.
“Apa ini kado iseng dari Radith lagi?” piker Karin dalam hati. Dengan hati – hati, Karin pun membuka kado tersebut. Dan ternyata……
               Karin terbelalak melihat isinya. Ternyata bukan katak atau mainan ular seperti biasanya. Karin menemukan sebuah kartu bergambar hati yang dihiasi glitter di dalamnya. Indah sekali! Ia juga menemukan selembar kertas bergambar kolam ikan di sebuah taman. Di pojok bawah kertas tersebut, terdapat tanda tangan pengirimnya…Radith!
               Karin langsung mengerti maksud hadiah itu. Ia pun segera menuju halaman belakang sekolah. Di sana ada sebuah kolam ikan yang cantik, dan Karin pun menuju ke sana. Seperti dugaannya, Radith telah menantinya di sana.
“Karin…,” ucap Radith, “Elu suka hadiah dari gua?” Tanya Radith agak gugup.
               Karin hanya tersenyum, dan wajahnya memerah.
“Karin…Sorry kalo selama ini gua sering ngisengin lu. Tapi, sekarang gua baru sadar, kalo ternyata…gua…gua suka sama lu. Lu mau nggak, jadi pacar gua?” Tanya Radith penuh harap.
“Radith, sebenernya…gua juga baru sadar, kalo ternyata…gua …suka sama lu juga…,” ucap Karin malu – malu.
“Jadi, lu mau jadi pacar gua, kan?” kejar Radith, tak sabar.
               Karin mengangguk. Dan entah kapan datangnya, tiba – tiba seluruh teman – teman mereka bertepuk tangan dan bersorak meriah.
               Akhirnya, sang Putri dan Pangeran pun bersatu. Dan terbukti, kisah Pangeran dan Putri yang Happy Ending bukan hanya ada di dongeng!
***


NAMA: Firdausi F.L
ALAMAT: Bekasi, Jawa Barat
Akun FB: Firda Fauzia
Akun TWITTER: @Usy_Firda

Thursday, 17 May 2012

Cerpen: PENGORBANAN AYAH

Pengorbanan Ayah
oleh: Natania Prima Nastiti

Cerpen Ayah
Aku terus melihat ayah dengan sebal saat dia melambaikan tangannya pagi itu untuk berangkat berdagang sayuran di pasar. Aku benar-benar menyesal telah dilahirkan dari rahim seorang wanita berkeluarga miskin. Sekitar lima bulang lalu, ibu pergi untuk selama-lamanya. Saat kepergian ibu, sama sekali tidak ada air mata yang menetes dari mataku. Aku benar-benar benci keluarga miskin ini! ucapku dalam hati. Setelah ayah sudah berbelok, aku langsung berangkat sekolah. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin terlihat bareng dengan pedagang sayur itu.

Di sekolah seperti biasanya. Saat istirahat aku hanya duduk diam di kelas. Aku sama sekali tidak dikasih uang jajan. Penghasilan ayah yang pas-pasan setiap harinya, hanya bisa untuk beli makan untuk di rumah saja. Bekal pun tidak ada. Aku rasa Tuhan tidak adil! Aku benar-benar muak dengan hidupku sekarang! Ingin sekali rasanya aku kabur dari rumah dan mencari keluarga baru yang kaya raya. Tapi aku rasa itu tidak mungkin. Ongkos untuk kabur pun aku tidak punya.

Saat pulang sekolah, ayah sudah pulang duluan. Kulihat ayah memandangi foto ibu yang telah usang. “Dia itu udah mati! Percuma kalo foto diliatin gitu juga nggak bakal ngebuat dia hidup lagi!” teriakku kemudian langsung masuk ke kamar dan membanting pintu kesal. Terdengar suara tangisan ayah. Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Aku kemudian tidur sambil menutup kepalaku dengan bantal gepeng yang usang.

***

“Dasar anak tukang sayur! Udah miskin sok ngatur-ngatur lagi lo! Pergi lo dari kelompok gue!” teriak Metha, salah satu temanku, dia memang anak orang kaya. Kemudian aku pergi dari mejanya. Percuma juga jika aku meladeni bentakannya itu, yang ada teman-teman pasti akan menertawaiku karena ucapan Metha yang menjelek-jelekkanku. Aku pun tidak akan menangis dengan ucapan Metha tadi. Ucapan-ucapan seperti tadi sudah menjadi makanan sehari-hariku. Yah, beginilah kehidupanku. Penuh dengan ejekan. Semua ini karena keluargaku yang miskin! Aku benar-benar stress karena kemiskinan!

“Heh! Ganti pekerjaan kek, Bapak! Aku malu denger semua ocehan temen-temen! Mereka selalu bilang kalo aku anak tukang sayur! Aku malu, Pak! Malu!” teriakku pada ayah sepulang sekolah.

“May, udah sepuluh tahun Bapak kerja seperti ini. ini memang sudah pekerjaan Bapak, May. Mana mungkin bapak menggeluti pekerjaan lain. Bapak juga tidak punya keahlian, May. Maafkan Bapak” sahut ayah sambil menangis. Aku benci ucapan ayah itu! Bukan itu yang aku mau!

“Bodo amat! Pokoknya Bapak nggak boleh jadi tukang sayur lagi!” bentakku kemudian masuk ke kamar dan membanting pintu. Di kamar aku menangis. Meratapi nasibku ini. Kenapa buruk nasibku ini? aku benci! Aku benci semuanya!

Paginya kulihat ayah duduk di depan. Dia tidak pergi ke pasar hari ini. “Pak? Nggak jualan?” tanyaku. Ayah kemudian tersenyum padaku. “Bapak udah nggak jualan sayur, May. Kamaren kan kamu yang bilang supaya Bapak nggak jualan sayur. Sekarang Bapak jualan koran. Dan sebentar lagi juga Bapak berangkat” ucap ayah kemudian. “Ish, dasar! Maksud gue nggak usah jualan sayur, ya jangan jualan koran! Jadi insinyur kek! Biar kita kaya! Kaya raya, Pak!” bentakku kemudian. Ayah menundukkan kepalanya. Sebal melihat ayah, aku langsung pergi untuk berangkat sekolah. Kemudian ayah memegang pundakku dan menyodorkan tangannya. Aku sudah kesal dengan ayah bego itu! Aku tetap pergi tanpa salim padanya. Aku benci dia!

***

Tiga bulan kemudian, ayah berganti pekerjaan sebagai tukang koran. Sama saja! Hidupku tidak berubah sama sekali. Sama seperti dulu. Tidak dapat uang jajan, jarang makan dan tidak ada uang untuk kabur dari rumah! aku benar-benar stress ada di rumah! mau pergi juga pergi kemana? Aku sama sekali tidak ada uang. Bosan sekali aku di rumah ini!

Ayah pulang kemudian duduk di kursi sambil mengelap mukanya yang bercucuran peluh. “May, tolong ambilin Bapak minum. Bapak capek sekali, May” ucap ayah kemudian. “Heh! Enak aja nyuruh-nyuruh lo! Kalo haus, ya ambil minum sendiri! Punya kaki kan? Kalo Bapak nggak punya kaki, baru aku ambilin!” teriakku kemudian pergi meninggalkan ayah sendiri. Kemudian aku pergi keluar rumah. Aku duduk duduk di kursi depan. Sebal rasanya aku dengan ayah. Sudah miskin, sok jadi raja lagi! Minum saja minta ambilin! Punya kaki kenapa harus minta ambilin?! Dasar ayah tidak berguna! Ucapku dalam hati dengan kesalnya.

Besoknya tiba-tiba ayah pulang dengan babak belur. Ayah meringis kesakitan sambil memegang lukanya. Kemudian aku menghampirinya dan bertanya, “kenapa, Pak?”. “Bapak tadi berantem, May. Ada orang yang mengambil barang berharga punya Bapak” jawab ayah sambil meringis kesakitan. “Ish! Ngapain coba pake berantem segala?! Kayak anak kecil aja! rebutan barang lagi! Anak kecil banget tau nggak!” bentakku benar-benar sebal. Dasar orang tua! Sudah tua bukannya banyak nyari uang, malah berantem kayak anak kecil! Bentakku dalam hati. Ih! Aku benar-benar kesal dengan ayah! Sudah tua, miskin, kerjanya hanya merepotkan saja! Rasanya aku ingin cepat kabur dari rumah ini! Rumah gubug ini!

Malam harinya, terbelesit pikiran nakalku. Aku tau bagaimana cara kabur dari rumah kali ini. aku berjinjit masuk pelan ke kamar ayah. Kulihat ayah sedang duduk di kursi depan. Saat di kamar ayah, aku langsung mengobrak-abrik lemari baju ayah. Kucari-cari sesuatu itu. Dan akhirnya... ya! Aku berhasil mendapatkannya! Uang itu, uang untuk kabur itu. Aku berhasil mendapatkannya. Selamat tinggal miskin! Ucapku dalam hati sambil tertawa tidak bersuara. Kemudian kumasukan uang itu ke dalam saku baju. Aku bergegas keluar dari kamar ayah. Saat hendak keluar, tiba-tiba ayah sudah ada di depanku. Aku terkejut melihatnya.

“Kamu kenapa ke kamar Bapak?” tanya ayah padaku. Aku memikir-mikir alasan apa yang masuk akal.

“Emangnya nggak boleh apa ke kamar Bapak?! Miskin aja pake rahasia-rahasian segala! Dasar miskin!” bentakku kemudian. Aku segera masuk ke dalam kamar.

Ku hitung-hitung, uangnya berjumlah empat puluh lima ribu. Untuk apa ayah menyimpan uang sebanyak ini? dasar!. Aku berencana, nanti pagi-pagi sekali pergi dari rumah ini. niatku sudah mantab! Aku akan pergi dari kemiskinan ini! pergi dari ayah yang tidak berguna itu! Ucapku dalam hati dengan mantabnya.

Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Saat hendak keluar kamar, tiba-tiba ada perasaan tidak enak. Aku tidak tau kenapa begitu. Hatiku ini, seperti bilang jangan pergi. Aku takut jika nanti terjadi apa-apa dengan diriku. Setelah lama dilema, akhirnya aku putuskan untuk tidak jadi pergi dari rumah. uang ini, lebih baik aku simpan sendiri saja. Cukup untukku membeli baju. Apalagi.. sebenatar lagi hari ulangtahunku. Aku juga ingin bersenang-senang di hari ulangtahunku. Akhirnya aku menyimpan kembali uang itu. Dan tidak jadi pergi dari rumah. sangat kusesali juga. Tapi.. yasudahlah, mungkin memang ini belum waktunya untuk kabur dari rumah.

***

Seminggu kemudian, tepat di hari ulangtahunku, aku berdandan serapih mungkin. Hari ini aku akan pergi ke pasar untuk membeli baju dengan memakai uang yang ku simpan itu. Saat di perjalanan, tiba-tiba salah seorang tetanggaku menghampiriku dan berkata, “May, May tunggu! Jangan pergi dulu! Emm.. heh.. emm.. anu... Bapakmu.. heh.. Bapakmu.. kec.. kecelakaan!”. Aku terkejut dengan ucapan itu. Entah kenapa aku sedih dengan ucapan tetanggaku itu. Seharusnya aku senang karena ayah kecelakaan! Jadi tidak ada yang merepotkanku lagi. Tidak ada wajah yang menjengkelkan aku lagi. Tapi kali ini.. aku malah sedih. Saat diajak menengok ayah pun aku mengikuti. Kenapa ini? tanyaku pada diri sendiri.

Air mataku menetes saat melihat ayah terbaring di kasur rumah sakit. Lukanya ada dimana-mana. Diselimutnya, masih terbekas darah segar bekas darah ayah. Aku langsung menghampiri ayah. Air mataku terus mengalir sedih. Entah mengapa, aku kasian melihat ayah terbaring seperti ini. Memeluknya.. aku malu sekali melakukan itu. Padahal aku sangat ingin melakukan itu.

Sejam kemudian, ayah sadar. Kemudian dipanggil-panggilnya namaku. Aku pun segera menghampiri ayah. “May, coba tolong liatin kaki Bapak. Bapak merasa tidak nyaman, May. Bapak bener-bener minta tolong kali ini” pinta ayah kepadaku. Kemudian, kubuka selimut ayah dan betapa terkejutnya aku. Kaki ayah.. kaki ayah.. kaki ayah hanya tinggal sedengkul. Kaki ayah ternyata diamputasi. Ayah tidak punya kaki lagi sekarang. Air mataku kembali mengalir saat melihat keadaan kaki ayah sekarang. Tanpa malu, aku langsung memeluk ayah. Sakit hati ini memeluknya. Mengingat perlakuanku kepadanya dulu.

“May, Bapak haus. Tolong ambilkan minum untuk Bapakmu ini, Nak. Kamu sendiri yang bilang kan, jika Bapak tidak punya kaki, kamu yang akan mengambilkan minum untuk Bapak. Sekarang.. Bapak tidak punya kaki lagi, May. Tolong ambilkan minum untuk Bapak, Nak” ucap ayah menangis. Melihat ayah menangis, aku pun jadi ikut menangis. Kemudian kuambilkan minum ke meja. Hatiku kembali sakit mendengar perkataan ayah barusan. Ayah benar. Dulu aku memang pernah berkata seperti itu. Sekarang, aku benar-benar sedih mengingat kata-kataku dulu itu pada ayah.

Ayah kemudian memegang tanganku erat. Kemudian disuruhnya aku mengambil sesuatu di bawah tempat tidur ayah. Saat kulihat, ada baju disana.

“Untuk siapa ini, Pak?” tanyaku kemudian bingung.

“Itu.. untuk..mu, May. Se.. selamat ulangta... hun ya, May. Maaf se... kali karena Bapak hanya bi.. bisa memberi itu untuk... mu” jawab ayah terbata-bata. Aku kembali menangis mendengar ucapan ayah. Kemudian aku peluk ayah dengan erat. Kuucapkan terima kasih pada yah.

“Se.. sebenarnya, uang ya.. ng kamu ambil wak... tu it.. tu, mau Bapak ku.. pulkan un.. untuk membeli kado un.. untukmu, Nak. Bapak ta..u karena saat Bapak li... at lemari, u... uang itu sudah ti.. tidak ada” ucap ayah lagi. Kemudian aku merasa bersalah dengan ayah.

“Maapin aku, Pak. Aku nggak tau kalo uang itu untuk beli kado buat ulangtahunku. Maap, Pak” ucapku malu. Ayah hanya tersenyum padaku. Kemudian dipeluknya aku. Aku sangat merasa bersalah pada ayah. Kenapa aku.. bisa dengan gampangnya berlaku tidak sopan pada ayah dulu? Kelakuanku.. sama saja dengan setan! Aku pun mengumpat diriku sendiri.

Setelah beberapa jam di rumah sakit, kemudian ayah memanggilku lagi. Aku segera berdiri dari kursi tunggu dan mendekati ayah. Kemudian ayah berkata.

“Jaga dirimu baik-baik, May. Maaf karena Bapak tidak bisa menemanimu selamanya. Untuk kedepannya, Bapak akan menemani ibumu disana, May. Di tempat yang jauh itu. Bapak sudah memaafkan semua kesalahanmu. Semua kata-kata kasar darimu, May. Karena Bapak tau, kamu bersikap begitu karena Bapak juga yang hidup miskin begini. Sekarang, kamu bisa tenang tanpa Bapak, May. Bapak sangat menyayangimu. Semoga nantinya kamu bisa tumbuh sebagai wanita yang soleha, May”. Setelah berucap kemudian ayah tersenyum padaku. Sebelum akhirnya... dia memejamkan matanya dengan kedamaian.

“Bapakk!!!! Bapak!!! Jangan tinggalin May, Pak!!! Bangun, Pak!!!! May takut sendirian, Pak!!! May minta maap dengan semua kata-kata May, Pak!!!!! Bapak bangun!!!!! Bapakkkk!!!!!!” teriakku sambil menggoyang-goyangkan tubuh ayah. Tapi ayah sudah tidak mendengar teriakanku lagi. Dia tetap tertidur. Dia diam tidak bergeming. Aku menangis. Kemudian teringat kembali saat aku mengatakan kata-kata kasar kepada ayah. Ayah yang selama ini ternyata selalu menyayangiku. Ini ulangtahun terakhirku bagi ayah. Dan dihari ulangtahun ini, terakhir kalinya aku melihat ayah. Kado terakhir ini... akan aku kenang sampai aku mati. Bapak, maafkan aku, ucapku dalam hati. Tak kuasa aku menahan tangis ini. Ayah sudah tidur untuk selama-lamanya.




Pertama mendengar suara tangisanmu, sujud sukurku pada-Nya..

Pertama kali menggendongmu, hati ini begitu terasa senang..

Pertama kali melihatmu tumbuh, aku berdoa pada-Nya..

Berdoa semoga kau jadi anak yang berguna, Nak..

Semua akan ku korbankan demi dirimu..

Walau nyawaku sekalipun, akan kukorbankan untukmu..

Untuk membuatmu senang..

Melihat senyummu, sangat membuat hidupku berarti..

Melihat air matamu, membuat duniaku ikut bersedih..

Nak, isilah hari-harimu dengan senyum dan tawa..

Aku menyayangimu, anakku...
Selamanya akan tetap menyayangi dirimu..

Wednesday, 16 May 2012

Cerpen Remaja: Kebahagiaan Cinta

Kebahagiaan Cinta
oleh Natania Prima Nastiti

Cerpen Remaja
Sekitar jam setengah satu pagi, aku tidak bisa tidur. Aku masih heran dengan ucapan Rangga tadi. Tiba-tiba Rangga datang ke rumahku dan menyatakan perasaannya. Rangga, cowok populer satu itu kenapa bisa menyatakan perasaannya padaku? Pada cewek yang terisolasi dari sekolahannya ini? pada cewek yang tidak pernah dianggap ada di sekolahannya ini?. Aku terus memikirkan itu.

Besoknya tiba-tiba Rangga menhapiriku di kelas. Dia memang mengobrol dengan teman-temannya tapi, matanya itu... selalu tertuju padaku. Dan itu membuat aku.. gugup. Khanza, sahabatku pun, menenangkanku. Kemudian Rangga menghampiriku. “Jawabannya udah, Res?” tanya Rangga. Aku diam menatapnya. Kemudian aku menundukkan kepalaku, takut.

“Mau ya, Res? Fares?” tanya Rangga lagi. Khanza menyenggol-nyenggolku. Aku bingung kemudian aku berdiri dan bilang pada Rangga, “tunggu nanti di taman sekolah. Udah sono lo pergi!”. Kemudian Rangga pergi sambil menyunggingkan senyuman dibibirnya.

Pulang sekolah aku dan Khanza pergi ke taman menemui Rangga. Kulihat Rangga sudah duduk menungguku. Aku semakin gugup. Kemudian aku menghampiri Rangga.

“Kenapa lo nembak gue?” tanyaku gugup,

“Karna gue suka sama lo”, aku menatap kaget Rangga. Kaget dengan jawaban Rangga itu. Kulihat Rangga hanya tersenyum padaku.

“Gue kan nggak populer, Ga. Masih banyak cewek-cewek cantik yang suka sama lo” ucapku lagi. Khanza mengiyakan.

“Tapi gue sukanya sama lo dan gue mau lo jadi pacar gue!” sahut Rangga tegas. Entah mengapa aku begitu bodoh kala itu. Tiba-tiba saja aku bilang iya pada Rangga. Apa mungkin karena aku ketakutan sampai bertindak bodoh seperti ini? padahal aku tau, menjadi pacar Rangga, sama saja menjadi putri bagi pangeran. Pasti banyak cewek-cewek yang akan mencabik-cabikku.

Benar saja dugaanku, ternyata berita aku pacaran dengan rangga sudah tersebar seantero sekolahan. Cewek-cewek memandang sinis kearahku. Aku pun tidak berani keluar kelas karena itu. Padahal, di dalam kelas pun aku sudah muak mendengar sindiran teman-temanku. Ingin rasanya aku keluar dari sekolah ini.

Tiba-tiba geng Black Devil, geng yang anggotanya cewek-cewek cantik nan seksi itu menghampiriku. Bunga, ketua geng itu menggebuk mejaku. “Dasar cewek nggak tau diri! Udah jelek belagu lagi! Lo kan tau siapa yang berhak dapetin Rangga! Lo pasti mandi kembang empatbelas rupa buat nyihir Rangga kan! Lo pasti main dukun! Cuihh!” bentaknya sambil meludah. Aku tidak terima dengan bentakan itu. Kemudian tanpa kusadari, aku menggebuk meja juga. Daripada malu karena sudah menggebuk meja, akhirnya aku membentak Bunga ganti.

“Gue nggak pernah ke dukun ya! Rangga yang nyatain perasaannya ke gue duluan! Gue juga nggak percaya dengan apa yang dilakuin tuh orang! Dan gue sebenernya nggak tertarik dengan ucapan Rangga karena gue tau cuma lo yang bisa dapetin Rangga! Tapi gue pikir, its time for chage! So, gue terima dia” bentakku ganti dan pergi meninggalkan kelas. Aku yakin pasti Khanza kaget dengan ucapanku.

Saat akan keluar kelas, aku melihat Rangga menatapku dalam. Kubalas tatapan Rangga dengan tatapan sebal dan benci. Dasar cowok! Kenapa dia nggak ngebantu gue ngadepin Bunga?! Ucapku dalam hati.

Keluar toilet, tiba-tiba Aldo, salah satu teman Rangga mendatangiku.

“Gue surprise banget sama ucapan lo tadi waktu ngebentak bunga. Semoga nantinya lo kuat saat tau yang sebenernya ya” ucap Aldo tersenyum kemudian pergi meninggalkanku. Aku diam dengan tanda tanya besar dikepala. Apa maksud perkataan Aldo itu?

Setelah tiga bulan berpacaran dengan Rangga, aku semakin terbiasa dengan keadaan. Cewek-cewek juga terlihat sudah cuek dengan hubunganku dengan Rangga. Walaupun masih ada yang suka menyindirku, tapi Rangga bilang cuek saja dengan hal itu. Black Devil juga sudah tidak pernah menyindirku lagi. Yah, walaupun mereka terutama Bunga masih suka deketin Rangga, tapi biarlah. Rangga memang cowok populer yang pantas dideketin sama cewek populer juga.

Malam itu, Rangga datang ke rumahku. Aku yang sedang belajar, kaget saat Mama bilang ada Rangga. Dengan hanya mengenakan celana pendek dan baju bergambar doraemon, buru-buru aku turun kebawah, ke ruang tamu. Kemudianku sapa Rangga yang sedang duduk. Rangga menatapku sejenak, kemudian disapanya aku balik. “Pergi yuk! Gue lagi suntuk nih” ucap Rangga. Aku menggeleng dengan alasan ingin belajar. “Udahlah, belajar kan bisa entar-entar. Gue tunggu empat puluh lima menit dari sekarang! Cepet!” ucap Rangga kemudian dan menyuruhku ganti baju. Aku pun akhirnya menuruti.

Sesuai janji, empat puluh lima menit kemudian aku turun dari kamar dengan menggunakan dress berwarna krem ungu seatas dengkul tapi tetap dengan sepatu kets unguku. Sebenarnya bajuku ini ku sesuaikan dengan baju dalaman Rangga yang berwarna krem dan blazer coklatnya Rangga. Kemudian kuhampiri Rangga yang menatap padaku. Aku tidak mengerti kenapa dia menatapku seperti itu. Ku goyang-goyangkan tanganku kekanan dan kekiri tepat didepan wajah Rangga. Kemudian Rangga sadar dan bilang, “lo cantik, Fares. Kenapa gue nggak dari dulu sadar ya? Hehe. Ayo!”. Kemudian aku dan Rangga pergi dinner malam itu.

Setelah dinner Rangga mengajakku ke tempat seperti sebuah taman. Tapi kulihat jarang ada orang di taman itu. Kemudian Ranga menyuruhku duduk dibangku dekat lampu taman. Remang-remang aku melihat wajah Rangga yang terlihat gugup. Kenapa dia? Tanyaku dalam hati.

Kemudian saat kami berdua sedang mengobrol, tiba-tiba Rangga menggenggam tanganku. Aku sudah pasti gugup. Jantungku berdetak cepat dari biasanya. Kami berdua saling pandang. Kemudian Rangga semakin mendekat denganku. Dipeluknya tubuhku ini. aku juga bisa merasakan detak jantung Rangga. Jantung itu sama sepertiku, berdetak dengan cepat. Setelah memelukku, kemudian Rangga mencium keningku. Seumur-umur aku belum pernah dilakukan seperti ini. rangga adalah cowok pertamaku. Cowok pertama yang menciumku. Kemudian didekatkannya wajah Rangga ke telingaku. Lalu dia berkata, “gue suka sama lo, Res. Lebih dari suka bahkan”, Rangga kemudian tersenyum dan memelukku lagi. Aku kaget tak percaya.

Ucapan Rangga tadi malem benar-benar buat aku jadi senyum-senyum sendiri. Aku seperti orang gila! Apa mungkin aku mulai jatuh cinta? Sama Rangga? Cowok populer itu? Apa mungkin ucapannya tadi malam sungguhan? Tanyaku dalam hati. Khanza tiba-tiba bertanya, “lo kenapa sih, Res? Dari tadi gue perhatiin... senyum-senyum sendiri?”. “Gue lagi jatuh cinta, Za” jawabku sambil senyum-senyum. “Sama Rangga? Nggak mungkin! Dia Cuma mainin elo doang tau! Sadarrr!!!!!” teriak Khanza kemudian. Teman-teman yang lainnya lantas menatap kesal kearah aku dan Khanza.

Kutarik Khanza keluar kelas. Kami pun ke kantin. Disana aku mulai menjelaskan semuanya. “Pertamanya gue juga mikir Rangga cuma main-main, Za. Tapi liat, udah tiga bulan lebih gue sama dia sekarang. Gue kira pasti cuma dua hari gitu. Kejadian tadi malem, bener-bener buat gue yakin kalo Rangga beneran sama gue, Za. Dia pasti serius sama gue” ucapku panjang-lebar. Khanza kemudian menarik nafas. “Terserah lo deh, Res. Mungkin menurut lo ini yang terbaik. Yah, semoga aja pemikiran lo itu bener. Rangga serius dengan lo! Eh tapi, kalo kenyataannya sebaliknya, lo nggak boleh down dan harus terima semuanya, oke?” sahut Khanza kemudian. Aku mengangguk menjawab sahutan Khanza. Kemudian aku memeluk senang sahabatku itu.

Seminggu kemudian, aku dan Rangga semakin dekat dan semakin sering keluar. Sekedar ke toko buku atau jalan-jalan. Hingga pada pagi itu, sekitar jam 10 pagi, aku kebelet buang air kecil. Aku pun berlari secepat mungkin agar cepat sampai ke toilet. Terdengar suara Rangga di salah satu kelas. Aku pun berhenti berari dan melihat Rangga dan teman-temannya.

“Ga, lo udah berhasil naklukin Fares selama tiga bulan! Lo juga udah dapet duit imbalan kan? Enak jadi lo, Ga! Tapi kenapa lo mau terus-terus deket sama dia? Sama cewek jelek kayak dia! Ini Cuma taruhan, Ga! Dan lo udah menangin taruhan itu. Masih banyak kan cewek cantik lainnya dari pada dia? Bunga contohnya, yang udah bener-bener ngejar lo gitu. Kenapa pake acara seminggu lo deket sama dia, Ga? Sedeng lo!” ucap salah satu temannya Rangga saat itu. Aku lihat ada Aldo juga disana. Aku benar-benar terkejut dengan ucapan itu. Taruhan?! Aku hanya dijadikan taruhan oleh Rangga dan teman-temannya?! Dasar! Semuanya biadap! Teriakku dalam hati.

Kemudian aku berlari balik ke dalam kelas dan mengambil tasku. Tidak peduli ada guru saat itu juga. Air mata sudah mengalir dipipiku. Hatiku benar-benar sakit. Omongan Khanza benar, Rangga tidak akan pernah suka padaku. Kenapa aku bodoh begini?! Cinta benar-benar membuat orang gila! Ucapku dalam hati.

Dua hari ini aku tidak berangkat kesekolah. Aku juga sudah menceritakan semuanya pada Mama, jadi Mama pun memaklumi. Kemarin Khanza juga sudah datang ke rumah. Menanyakan kenapa aku nekad mengambil tas lalu pulang padahal masih ada guru. Aku juga sudah menceritakan semuanya pada Khanza. Khanza hanya menyemangatiku. Aku tidak bisa memegang janjiku pada Khanza. Aku tidak bisa kalau tidak down begini. Hatiku benar-benar sakit mendengar dengan kuping sendiri kalau aku hanya dijadikan permainan orang-orang saja. Aku sedih dan terpuruk.

Malamnya tiba-tiba saja Mama bilang ada yang mencariku. Tadinya aku tidak mau turun dan menumuin orang itu, tapi karna Mama memaksa, akhirnya aku turun dengan mata bengkak karena menangis. Lelaki itu membelakangiku. Saat kusapa, ternyata... Aldo?

“Ngapain kesini?!” tanyaku ketus. “Gue kesini nggak disuruh Rangga kok. Gue kesini ya mau jelasin semuanya ke elo, Res. Gue tau kalo lo udah tau semuanya” jawab Aldo tenang. “Tau kalo gue cuma jadi bahan taruhan?” tanya gue kemudian. Aldo hanya mengangguk malu. Ingin sekali aku mencekik cowok di depanku ini. karena bagaimanapun juga, dia ikut andil dalam taruhan ini. karena kulihat saat itu, dia ada disana.

“Kita emang jadiin lo bahan taruhan, Res. Kita semua minta maap karena itu. Kita jadiin lo bahan taruhan ya.. karna lo itu lugu. Jadi pasti gampang mengaruhinya, Res. Tiga bulan, Res. Cuma tiga bulan kita nyuruh Rangga deketin elo tapi.. lo tau sendiri kan? Tiga bulan lebih Rangga malah deketin lo terus. Ya, walau belum dapet penjelasan dari Rangga.. tapi gue yakin dia mulai suka sama lo, Res. Dia suka serius sama lo!” jelas Aldo menatapku. Aku terdiam. Memikirkan ucapan Aldo itu.

“Nggak! Gue udah nggak yakin lagi! Gue nggak percaya ucapan lo, Do! Lo sama aja kayak cowok lainnya dan Rangga! Gue nggak bisa percaya elo!” teriakku kemudian berlari ke kamar dan meninggalkan Aldo.

Besoknya pun aku kembali ke sekolah. Sebelum sampai kelas, tiba-tiba geng Black Devil menghampiriku. Mereka semua kemudian tertawa. “nggak mungkin Rangga beneran suka sama lo, kampung!” ucap Bunga kemudian pergi diikuti teman-temannya. Aku langsung berlari ke kelas. Aku terus menahan air mata yang mulai menetes, tapi usahaku gagal. Air mata itu menetes juga. Aku benar-benar bodoh!

Pulang sekolah, entah kenapa langkah kakiku malah pergi ke taman dulu Rangga mengajakku. Aku hanya ingin sendiri. Dan kurasa, taman ini cocok untuk hatiku. Tempat yang tenang dan damai. Aku juga duduk di bangku yang sama seperti dulu saat aku berdua dengan Rangga. Tiba-tiba teringat hari itu lagi. Dimana saat Rangga mengucapkan kata itu. Sekarang semua sirna. Ternyata ucapan itu hanya pura-pura. Rangga, cowok itu... harusnya aku sadar...

Sampai sore aku hanya duduk dibangku dekat lampu taman. Memandang kosong ke depan. “Bukan maksud gue begitu, Res”, tiba-tiba ucapan itu membuyarkan lamunanku. Aku pun menengok kesamping. Kulihat Rangga duduk disampingku sambil memandang kearah depan juga. Kemudian aku ikut memandang kearah depan juga. Air mataku mulai menetes. Ingat perkataan temannya Rangga waktu itu. Saat aku hanya dijadikan bahan taruhan.

“Kenapa lo jahat banget sih, Ga! Gue tau, gue emang cewek lugu yang nggak ngerti apa-apa malah lo itu pacar pertama gue! Tapi.. seenggaknya lo mikir perasaan gue dong! Kata-kata sayang itu.. kata-kata itu.. ternyata hanyalah kiasan! Ternyata lo nggak bener suka apalagi sayang sama gue. Tapi thanks karna dengan itu.. gue belajar buat nggak cepet kemakan dengan ucapan bullshit cowok!” ucapku. Rangga kemudian menggenggam tanganku. Dihadapkannya aku pada dirinya.

“Gue salah, Res. Malah karna taruhan itu.. emm.. gue.. gue.. beneran suka.. sama.. sama.. lo. Ini sungguhan, Res! Ini perasaan gue sama lo! Karena taruhan itu gue su.. gue suka sama lo! Maap karena kebodohan gue udah bohongin lo, Res. Gue bener-bener minta maap tentang taruhan itu, Res. Sekarang.. gue bener-bener jatuh cinta sama lo” jelas Rangga. Aku hanya melihat wajah cowok itu. Kali ini aku yakin, Rangga benar-benar mengucapkan dari hati. Aku melihat ketulusan di wajah tampan Rangga itu.

“Fares, gue sayang sama lo” ucap Rangg lagi kemudian memelukku. Memeluk eratku seakan tidak mau melepaskannya. Entah kenapa, aku merasa nyaman dengan pelukan itu. Tiba-tiba aku membalas pelukan itu. Aku benar-benar yakin.. Rangga menyayangiku sebagai pacarnya. Aku juga sayang sama kamu, Ga. Ucapku dalam hati kemudian tersenyum.



No matter how far the journey,

No matter how dark the days,

No matter how long the time,

I know,

I always know,

You’ll love me till the end...



Nama : Natania Prima Nastiti
Alamat facebook : athananonano@rocketmail.com
Nama facebook : Natania Prima Nastiti
Alamat twitter : athananonano@rocketmail.com
Nama facebook : @NataniaAP
Alamat blog : athananonano@rocketmail.com

Tuesday, 15 May 2012

Cerpen Romantis: MY YOUNG STEP FATHER?

MY YOUNG STEP FATHER?
oleh Putri Permatasari

Cerpen Romantis
Donna muncul ke permukaan kolam renang dengan anggun. Tungkai kakinya yang panjang dan langsing diayunkannya untuk menaiki tangga kolam. Ia mengambil handuk kimononya di kursi dan memakainya, lalu menyisir rambutnya yang lurus panjang dengan jemarinya yang lentik. Saat akan mengambil crush lemon lime, Donna baru menyadari keberadaan seseorang.
“Rafdy.” Donna melangkah mundur, ia menyipitkan matanya. Ia memandangi pria di hadapannya dengan dingin. Diangkatnya wajahnya. “Ibu tidak ada, percuma kau kemari.”
Rafdy tetap berdiri di tempatnya. Jasnya berwarna hitam serasi dengan celana panjang hitamnya. Ia tidak memedulikan sikap dingin Donna. “Apakah kautahu Ibumu pergi ke mana, calon anakku?”
Donna menggertakkan giginya. Beraninya ia menyebutku calon anaknya! Usiamu hanya beberapa tahun di atasku dan lebih muda dari kakak pertamaku, Dina! Kau lebih pantas menjadi anak Ibuku! maki Donna dalam hati.
“Ibu pergi keluar kota.” Donna tersenyum sinis. Ia mengambil crush dan meminumnya. “Kasihan sekali kau. Kau ‘kan kekasih Ibuku, tapi Ibu tidak memberitahumu ia pergi ke mana.”
Rafdy mengangkat alisnya tak acuh. “Apakah ia memberitahukan ke kota mana?”
“Kau memuakkan! Apakah kau tidak bisa mencari wanita lain? Apakah menurutmu Ibuku yang sudah berusia 47 tahun itu begitu menarik di matamu?” Donna membanting crush ke lantai semen. Napasnya tersengal dan wajahnya memerah karena marah. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya.
Rafdy berjalan dengan tenang ke arah Donna. Dielusnya pipi kanan Donna dengan punggung tangannya. “Lalu bagaimana? Apakah aku harus mencintaimu, begitu?”
Dengan marah Donna mencengkeram tangan Rafdy dengan kuat. “Jaga mulutmu, brengsek!”
“Kau yang harus menutup mulutmu.” Dengan mudah Rafdy melepaskan cengkeraman Donna. Diremasnya bahu Donna dengan kasar. Mata Rafdy berkilat marah. “Kau lebih muda dariku. Kau tahu, kau tidak lebih cantik dari Ibumu.” Lalu ia melepaskan Donna dan pergi ke dalam rumah dengan langkah panjang, tegap, dan angkuh. “Dan ingat, jangan membuang-buang minuman.” ujarnya tanpa menoleh.
Donna mengentakkan kakinya dengan kesal, melepas handuk kimono sembarangan, dan terjun kembali ke air. Aku harus mendinginkan kepalaku, pikir Donna.
***
Di rumah Dina….
“Oh, jadi Ibu masih menemuinya?” tanya Dina.
Donna mengerang kesal. “Tentu saja! Kak Dina, aku tidak tahu harus bagaimana lagi! Aku…aku kasihan pada Dhena dan Gema, tapi aku juga sayang Ibu!”
Dina merangkul adiknya dan mengelus punggungnya dengan sayang. “Tapi kurasa Dhena dan Gema menyayangi Rafdy, dan Rafdy pun sayang pada mereka.”
Donna menatap kakaknya sambil mengerutkan kening. “Kakak pun tahu ia hanya ingin uang Ibu! Ia hanya memanfaatkan Ibu!” Donna menahan air matanya dengan menggigit bibir bawahnya. “Kenapa harus Ibu?”
Dina mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Aku akan bicara dengan Andi, biar ia menasehati Ibu.”
“Suamimu? Kakak, hal ini….”
“Donna, Andi tahu apa yang harus dilakukan.”
“Baiklah, aku serahkan padamu, Kak.” Donna agak tenang melihat senyum Dina. Lihat saja, Rafdy! Takkan kubiarkan kau memanfaatkan Ibuku!”
Dua hari kemudian….
“Ibu, jadi kita akan menonton bioskop bersama?” Dhena bersorak riang. Ia merangkul Ibunya. Dhena adalah adik Donna yang berusia 14 tahun.
Gema menatap ragu. “Kenapa Paman Rafdy tidak ikut dengan kita, Bu?”
Donna melirik Gema kesal. Ia menggigit bagian dalam bibirnya. “Paman Rafdy? Untuk apa ia ikut kalian, Gema?”
Retna mengelus rambut Gema dengan sayang. Ia tersenyum pada anaknya yang berusia 12 tahun itu. “Paman Rafdy sedang sibuk. Apa kau rindu padanya?”
“Ibu!”
Retna memandang Donna. “Sayang, maafkan Ibu.” Retna melirik Gema dan Dhena. “Ayo, Ibu rasa kita harus bergegas, filmnya keburu dimulai.” Retna menggandeng Gema dan Dhena  menuju pintu. “Kau yakin kau lebih suka bersama Andre, Sayang? Hm, Ibu yakin itu adalah pertanyaan retoris.” Retna mengedipkan matanya, lalu berlari dengan kedua adik Donna.  Mereka naik Starlet Metalik, mobil yang dimiliki Retna setelah Retna lulus SMU, saat ia menikah dengan Ayah Donna.
Donna menghempaskan diri ke sofa dan menyetel TV. Beberapa menit kemudian Andre telah duduk di sampingnya. Mereka menikmati DVD yang dibawa Andre. Anime horor Another. Saat Donna sedang tegang menonton Another, tiba-tiba Andre mendorong dan memeluknya ke sudut sofa. Andre bermaksud untuk menciumnya. “Andre, kurasa….”
“Ehem. Malam minggu memang mendukung untuk suasana yang romantis.”
Donna terkejut. Ia langsung bangkit setelah Andre melompat berdiri. Donna merasa sangat malu. Wajahnya terasa panas dan pastinya memerah sampai telinga. “Apa yang kaulakukan di sini? Bagaimana kau bisa seenaknya masuk?” Donna berdiri, menatap angkuh pada Rafdy.
Rafdy mengangkat alisnya Donna tahu, itu kebiasaannya dan balas menatap Donna. “Apa kau tidak tahu? Pintu belakang tidak dikunci. Kurasa Bi Tina lupa menguncinya.” Ia menatap Andre, membuat cowok itu rikuh.
“Kurasa sebaiknya kau keluar, Rafdy!”
“Donna….” Andre berusaha menenangkan Donna, namun Donna tetap menatap angkuh pada Rafdy.
Rafdy melipat lengannya. Malam ini ia mengenakan kemeja pantai dan celana panjang hitam. Rambutnya dipangkas ala Tin-tin. Mau tak mau Donna menyukai penampilan Rafdy. “Andre, sekarang sudah jam setengah sebelas malam. Kurasa remaja seperti kalian tidak baik kencan terlalu malam.”
Andre bermaksud menyanggah ucapan Rafdy, namun keduluan Donna, “oh, begitu? Kurasa perbedaan usia kita hanya lima tahun. Kami mau kencan sampai jam berapa pun, itu bukan urusanmu!”
“Jelas itu urusanku. Apa kau lupa bahwa aku ini calon Ayah tirimu?”
Sebelum Donna sempat membalas kata-kata Rafdy, Andre memegang bahu Donna. “Kurasa benar apa katanya, aku harus pulang.” Andre mengecup pipi Donna ringan lalu tersenyum. “Sampai besok, Donna sayang.” Andre terseyum hormat pada Rafdy, lalu pergi. Donna memandangi kepergian Panther hitam Andre melalui kaca jendela ruang tamu.
“Kau takkan pernah menjadi Ayah tiriku. Takkan pernah!” Donna mencengkeram tirai bercorak ikan tropis dengan latar biru laut.
Rafdy memutar tubuh Donna sehingga mereka berhadap-hadapan. “Aku melakukan hal itu demi kebaikanmu. Tadi kalian bisa saja lepas kendali.” Suaranya tenang. Matanya yang hitam menatap langsung.
Donna membelalakkan matanya. Suaranya bergetar marah saat berkata, “aku bisa menjaga diriku sendiri! Dan kau, Rafdy, Ibu tidak mau melihatmu lagi! Bukankah ia telah memutuskan hubungan denganmu?”
Rafdy mengangkat bahu. Ia berjalan ke ruang keluarga dan menonton anime horor Another yang masih diputar . “Retna takkan memutuskan hubungan denganku karena ia sangat mencintaiku. Begitu pun aku.”
Cinta? Kau tidak mencintai Ibuku, melainkan harta Ibuku! Dasar brengsek! maki Donna dalam hati. “Apa? Ibuku tidak memutuskan hubungan denganmu oh!” Donna mengerang kesal dan putus asa. Jadi nasihat Kak Andi sama sekali tidak dipedulikan Ibu!
“Duduklah, kau tidak mau melanjutkan menonton anime ini?” Rafdy sama sekali tidak peduli akan kepanikan Donna.
“Tidak, terima kasih. Aku mengantuk.” Siapa sudi nonton berdua denganmu!
“Putih….”
“Apa?”
“Kulitmu putih walau kau sering berada di bawah terik matahari.”
Mata Donna yang cokelat muda menerawang. “ Turunan Ayah….”
Rafdy bersandar di sofa empuk berwarna cokelat tua. “Jelas kau tidak menyukai Ayahmu, lalu kenapa kau tidak mau aku menjadi Ayahmu?”
“Tidak!” Donna menggeleng. Ia meremas tangan kirinya sendiri sambil menunduk. “Aku memang tidak menyukai Ayahku, sebab ia pergi beberapa saat sebelum Gema lahir. Tapi bagaimanapun, aku tidak ingin kau menjadi Ayah tiriku! Karena kau hanya menginginkan harta Ibuku!”
Tiba-tiba Rafdy bangkit dan mendekati Donna. Ia mencengkeram bahu Donna dengan kuat. Matanya menyipit, menyelidik. “Jangan kauucapkan hal itu lagi, kau tahu? Aku bukan orang tolol! Aku sungguh-sungguh mencintainya, dan aku lebih baik dari Ayahmu yang tolol itu!”
“Jangan sebut Ayahku tolol!”
“Lalu apa? Bodoh?”
“Kau…!”
Bunyi bel menghentikan pertengkaran mereka. Donna melepaskan diri. Ia memunggungi Rafdy. “Silahkan menemui Ibuku. Tapi ingat, bukan berarti aku menyetujui kalian. Rafdy, jangan hina Ayahku lagi….” Lalu Donna pergi ke kamarnya di lantai atas, sebelum Rafdy membukakan pintu untuk Retna dan kedua anaknya.
Donna mengambil foto berbingkai cokelat muda di laci terbawah meja belajarnya. Ia memandangi foto itu: Ibunya yang sedang mengandung, Dina, Donna, dan Dhena yang digendong oleh seorang pria tampan. Ayah jahat! Kenapa meninggalkan kami semua? Hanya karena wanita iblis itu! Air mata Donna menetes. Ia terus merutuki Ayahnya Hery sambil menangis, hingga terlelap di meja belajarnya.
***
“Kau terlihat ling-ling, Donna. Ada apa?” Andre menyentuh pipi Donna dengan jemarinya. Ia tersenyum sayang. “Kau bisa menceritakan masalahmu. Apakah tentang Rafdy lagi?”
Donna yang sedang bersandar di bahu Andre, mengangguk. Andre merangkul dan menepuk-tepuk bahunya. “Ceritakanlah bila itu membuatmu sedikit lega.”
Donna memandang ke sekitar taman kampusnya yang luas, yang dipenuhi mahasiswa dan mahasiwi yang berlalu lalang, bangku taman, dan pepohonan hijau rindang. Ia sedang berteduh di bawah pohon besar bersama Andre. “Apakah selama ini aku salah, Andre? Aku selama ini menganggap bahwa Rafdy hanya menginginkan harta Ibuku, tapi semalam ia bilang ‘tidak’.” Donna mengangkat bahu. “Memang, adik-adikku, kakakku, kakak iparku, terutama Ibuku, tidak terlalu ambil pusing menanggapi anggapanku tentang Rafdy. Mereka menyukai Rafdy. Kak Dina dan suaminya, Kak Andi, hanya menaruh sedikit curiga pada Rafdy. Kurasa kau pun….”
Andre mengangkat bahu. “Memang, aku menyukai dan menghormati Rafdy. “ Andre terlihat canggung.
“Tapi aku merasa ia tidak sungguh-sungguh mencintai Ibuku…Memang tidak ada buktinya. Malah sebaliknya, Rafdy terlihat sangat menyayangi dan memanjakan Ibuku.”
Andre menepuk kedua pipi Donna. “Itu saja sudah cukup ‘kan?” Andre tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
***
“Baiklah, kau bisa diandalkan, bukan?”
“Ya, Retna.”
“Bagus.” Retna cipika-cipiki sekilas dengan Rafdy. “Aku memercayakan urusan kantor dan keluargaku padamu. Sampai nanti!” Retna menaiki Starletnya dengan anggun, melambai, lalu menghilang dari pandangan.
Rafdy berbicara dengan Bi Tina sebentar, lalu menaiki Taft hijau tuanya, meninggalkan kepulan asap yang membuat Bi Tina terbatuk-batuk.
***
“Apa? Ibu keluar kota untuk urusan bisnis lagi?” Donna meminum air dingin setelah selesai makan malam.
Bi Tina mengangguk. “Tapi Nona tidak usah khawatir karena Tuan Rafdy akan menemani.”
Donna mendengus. “Itulah yang kukhawatirkan. Bilang pada ‘Tuan’ Rafdy, kami tidak butuh perlindungannya.”
“Kurasa kalian membutuhkanku.”
Gema turun dari kursi dan ber-high five dengan Rafdy. “Aku senang Paman mau menemani kami!” Ia melirik tas hitam bergaris merah di dekat kaki Rafdy. “Bawaan Paman hanya sedikit?”
“Ya. Lagipula hanya tiga hari.”
“Waktu yang sangat lama.” Donna berusaha keras untuk tidak membentak-bentak dan mengusir Rafdy. Ia tidak ingin dianggap sinting oleh kedua adiknya. Bi Tina sudah tahu bahwa Donna memusuhi Rafdy, pria yang dianggap tertinggi, terganteng, termacho, dan terseksi yang pernah ditemui oleh Bi Tini. “Maksudku, waktu yang amat sangat singkat, Paman Rafdy….”
Rafdy berusaha menyembunyikan senyumnya. “Tadinya Paman akan mengajak kalian makan pizza, tapi ternyata sudah telat, ya?”
“Kurasa perut kami masih muat, Paman!” Dhena menunjuk perutnya sambil nyengir. “Tambah ice cream?”
Tawa Rafdy terdengar memuakkan di telinga Donna. Bohong, kau menyukainya, Donna! Donna menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan pikiran sintingnya. Dengan halus Donna menolak ajakan Rafdy untuk makan pizza di Pizza Hut, dengan alasan harus belajar untuk ulangan besok.
Beberapa menit kemudian Donna sedang membaca majalah sambil tiduran di kamarnya. Ia tidak bisa berkonsentrasi sama sekali. Ia cemas memikirkan kedua adiknya. Bagaimana jika kedua adiknya diculik, ditawan, Lalu Rafdy meminta tebusan? Oh, tidak, tidak. Saat ini Donna lebih suka berpikir bahwa Rafdy orang baik-baik, walaupun Donna ragu.
Paginya Donna langsung ke kamar kedua adiknya. Donna menghela napas lega melihat mereka tertidur nyenyak. Donna hampir berteriak saat Rafdy menyentuh bahunya. “Kau membuatku terkejut!” Donna menutup pintu kamar Dhena dan Gema lalu berjalan menuju balkon. Ia yakin Rafdy mengikuti di belakang.
“Hawanya sejuk.” Rafdy meregangkan ototnya. Donna hanya mengangguk tak acuh. “Donna, aku takkan meminta maaf soal aku menghina Ayahmu, karena ia….”
“Karena ia memang tolol yang…yang….” Tangisan Donna teredam oleh pelukan Rafdy. “Lepaskan aku.” Bertolak belakang dengan ucapannya, Donna malah memeluk Rafdy dan ia semakin membenamkan kepalanya ke dada Rafdy yang bidang dan hangat. “Aku benci Ayah!”
Lengan Rafdy melingkari tubuh Donna. Ia mengelus bahu Donna lalu memeluknya dengan erat. Rafdy tidak mengucapkan apa-apa untuk menghibur Donna. Hanya memeluk.
“Rafdy….”
“Ya….”
“Aku harus mandi…ada kuliah.”
Rafdy melepaskan pelukannya. “Mau diantar?”
“Tidak, aku tak butuh.” Donna menatap Rafdy dengan bingung. “Aku tahu, aku merasa nyaman sekaligus tidak nyaman dalam pelukanmu.”
“Kenapa?”
Ia tidak menjawab pertanyaan Rafdy. Donna malah tersenyum sinis, lalu ia masuk ke dalam.
Senyuman menghiasi wajah Rafdy. Ia bersandar di sebuah pilar sambil melipat lengan. “Kalau begitu, aku akan mencari tahu, Manis….” Suaranya nyaris berbisik, dan penuh kerinduan.

“Hei, Donna, ada yang jemput, tuh! Rafdy, kata Ibuku. Kau memberitahu akan belajar kelompok di rumahku, Don? Bukankah  kau tidak suka pada calon Ayah tirimu itu?”
Donna mengerutkan keningnya dan memandang Silvy, temannya. “Tidak, aku tidak memberitahu Rafdy kalau aku di sini. Ini pasti kerjaan Andre!” Donna mengerang kesal. Ia melihat jam di dinding, pukul 20.10. “Aku ‘kan sudah bilang pada Andre kalau kau akan mengantarku pulang, Sil.”
Silvy mengangkat bahu. “Apa perlu kukatakan pada Rafdy bahwa….”
“Tidak perlu. Donna, ayo pulang.” Rafdy berdiri di muka pintu kamar Silvy. Ia mengenakan sweatshirt biru dongker dan jeans biru pudar. “Selamat malam, Gadis-gadis.” Donna tahu, pasti Silvy terpesona oleh senyuman Rafdy. Dan itu memang benar. Sejak pertama bertemu, Silvy sudah terpesona, seperti halnya Bi Tina.
“Rafdy, kami masih belajar, jadi….”
“Ayo pulang, Donna.”
Dengan kesal Donna merapikan alat tulisnya dan memasukkannya ke dalam tas. Ia tidak ingin membuat keributan di rumah Silvy, jadi ia tidak membantah lagi. Dalam perjalanan pulang, Donna menyetel radio keras-keras.
“Kau menyetel musik tapi kau tidak menikmatinya.”
“Kata siapa?”
“Terlihat, tentu saja. Kau memandang keluar jendela, diam, melamun.” Rafdy memindahkan saluran radio. Terdengar alunan lagu yang lembut dan romantis.
Donna tidak mencegahnya. Ia menatap keluar ke kegelapan malam. “Lalu apa urusanmu?” tanyanya ketus.
Tangan kiri Rafdy menyentuh bahunya dan ia tidak berusaha menghindar. Rafdy mengangkat sebelah alisnya, heran karena Donna tidak menolak. Seperti tadi pagi, saat Rafdy memeluknya, Donna malah balas memeluk. “Donna, apa kau benar-benar membenci Ayahmu?”
“Ya.”
“Tapi kenapa kau tetap membela Ayahmu? Oh, aku tahu, kau pasti berpikir bahwa orang hina sepertiku tidak pantas menghina Ayahmu.” Suara Rafdy tenang tanpa emosi, hingga membuat Donna menoleh.
“Itu salah satunya. Meskipun begitu, dalam lubuk hatiku, aku ingin Ayahku kembali….” Lalu Donna tiba-tiba sadar. Ia menggigit bibirnya dengan kesal. “Aku betul-betul bodoh. Aku tidak pernah bercerita pada siapa pun tentang hal ini, tapi aku malah bercerita padamu!”
“Tidak juga pada Andre?”
Dengan enggan Donna menggeleng. Dalam kegelapan, Donna dapat melihat senyum Rafdy.
“Aku mendapat kehormatan, kalau begitu.”
“Ya, yang akan kusesali seumur hidupku.” Donna tersenyum pahit. Seandainya Ayah kembali, pasti Ibu takkan mau menerima. Pasti Ibu masih sangat sakit hati….”
***
Seminggu setelah Retna kembali ke rumah, giliran Rafdy yang tugas keluar kota. Pada hari kedua kepergian Rafdy, Rafdy menelepon. “Oh, hai, Paman. Kau masih hidup?”
“Sayang sekali, aku masih hidup. Boleh aku berbicara dengan Retna?”
“Tidak, ia sedang berbelanja….”
“Berikan telepon itu, Sayang.”
Donna memberikan telepon pada Ibunya sambil menggerutu lalu pergi ke ruang keluarga sambil membawa majalah yang tadi dibacanya. Beberapa saat kemudian Andre datang ke rumahnya. “Malam minggu ini kau terlihat muram.” Andre duduk di sampingnya dan bermaksud merangkulnya. Tak seperti biasanya, kali ini Donna menolak. “Donna? Kenapa? Kau tak suka aku memelukmu?”
“Bukan, aku….”
“Apa ada pria lain?”
Donna membelalakkan matanya terkejut. “Aku tidak tahu, aku….”
“Aku tahu ada yang lain, Donna. Rafdy ‘kan.”
“Tidak! Apa kau gila! Dia kekasih Ibuku! Calon Ayah tiriku! Dan aku sangat membencinya!”
Andre menenangkan Donna. “Tak perlu marah. Aku tahu Donna, aku peka soal dirimu.”
Wajah Donna memerah. Ia memejamkan matanya. Ia menyandar ke punggung sofa, putus asa. Tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup kencang.  “Aku tidak tahu, Ndre. Aku benci Rafdy, tapi entah kenapa akhir-akhir ini aku selalu salah tingkah di dekatnya. Tadi ia menelepon, dan aku kesal. Ia menelepon Ibu, bukan aku.” Donna tertawa putus asa. “Aku sudah gila….” Andre memeluknya. “Andre, maafkan aku….”
“Untuk saat ini biarkan aku memelukmu….”
***
Terkejut. Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Donna saat ini. Donna ternganga menatap sosok di hadapannya. “Ayah?”
Hery memandang Donna, matanya berkaca-kaca. “Kau banyak berubah, Donna. Kau tambah cantik dibanding dua belas tahun yang lalu.”
Donna ragu, dengan canggung ia memeluk Ayahnya. “Sepertinya Ayah tambah kurus.”
Hery merangkul putri keduanya itu dengan erat dan penuh kerinduan. “Donna, apa kau tidak membenci Ayah?”
Donna mundur selangkah. “Waktu itu Ayah khilaf, bukan? Ayah tidak sungguh-sungguh mencintai Tante Utami, bukan?”
Hery memandangnya. “Dulu Ayah berpikir bahwa Ayah mencintai Tante Utami. Tetapi setelah beberapa bulan menikahinya, Ayah baru menyadari siapa yang benar-benar Ayah cintai….” Hery menahan tangisnya.
“Aku dulu membenci Ayah. Tapi aku selalu memikirkan Ayah. Aku tahu dari Ibu bahwa pernikahan Ayah hanya berlangsung beberapa bulan saja, bercerai, tanpa anak.” Donna menggigit bibir bawahnya. “Kenapa Ayah tidak kembali?”
“Setelah Ayah bercerai dengan Tante Utami, Ayah pernah mencoba beberapa kali agar Ibumu menerima Ayah lagi. Namun Ibumu selalu menolak. Dan menurut Ibumu, anak-anak Ayah membenci Ayah, kau dan Dina tepatnya.
”Kakak, ada siapa?” Dhena menghentikan langkahnya dan memandang pria yang merangkul kakaknya itu. Ia berusaha mengenali wajah pria itu. “Wajahmu mirip dengan di foto, pria yang menggendongku…apakah…Ayah?”
“Dhena Sayang….”
Dhena menghambur ke pelukan Hery. “Ayah, kau benar-benar Ayah? Ayah ke mana saja selama ini?”

Untuk kedua kalinya, Donna terkejut hari ini. Ia menatap Ibunya. “Apa? Jadi…?”
“Ya, jadi beberapa bulan yang lalu Ayahmu kembali menemui Ibu. Dan setelah berpikir masak-masak, akhirnya Ibu menyadari bahwa Ibu masih teramat mencintai Ayah, dan ingin menikah lagi dengan Ayah.”
Donna, Dina dan suaminya, kedua orang tuanya, dan Rafdy tengah duduk di ruang keluarga. Dhena dan Gema sudah tidur di kamar mereka karena waktu telah menunjukkan pukul 11.15. “Lalu bagaimana dengan Rafdy? Apakah ia bagian dari sandiwara ini?”
“Pemeran utama. Rafdy adalah sahabat Ayahmu, yang mendamaikan kami.” Retna tersenyum pada Hery dan Hery merangkulnya hangat.
“Ibu….” Dina yang sedari tadi diam mulai bicara. “Apa maksudnya pemeran utama?”
Retna mengangkat bahu. “Mengetes. Apakah kalian ini masih membenci Ayah atau tidak. Ibu takut kalian tidak mau menerima Ayah karena Ibu tahu, kalian tidak menyukai pengkhianatan Ayah seperti juga Ibu.”
“Jadi Rafdy turun tangan.” Hery meremas tangan istrinya. “Dan 2 minggu yang lalu, Donna mengakui isi hatinya tentang Ayah. Begitu juga Dina.”
Donna memandang pria yang sedang diperbincangkan. Pria itu duduk dengan santai di sofa. Kaki kanannya ditumpangkan di kaki satunya. Matanya yang hitam balas memandang Donna. Ia sama sekali tidak tersenyum. Tiba-tiba ia berdiri. “Oke, kurasa semua sudah beres. Aku harus menyingkir, lagipula sudah malam.”
Hery memintanya untuk menginap namun Rafdy menolaknya dengan halus.
Donna memandang kosong ke arah Rafdy yang meninggalkan ruang keluarga, diantar Hery, Retna, Dina, dan Andi. Pergi? Menyingkir? Apakah maksudnya Donna takkan bertemu lagi dengannya? Donna merasa dadanya sesak dan tubuhnya gemetar. Ia langsung berdiri dan berlari mengejar Rafdy. Ia sampai menabrak Ibunya di teras depan. Di halaman tempat Taft Rafdy diparkir, Donna menarik tangan pria itu. Napas Donna tersengal dan tak terasa pipinya telah basah. “Aku belum minta maaf padamu! Selama ini aku selalu bersikap kasar!”
Rafdy terkejut, hanya sedetik. Ia tersenyum dan menghapus air mata Donna. “Wajar saja. Jika aku jadi kau, kurasa aku akan melakukan hal yang sama.” Rafdy menatapnya lembut. “Baik-baiklah dengan Andre.”
“Kami sudah putus.” ujar Donna cepat. Seperti dugaan Donna, Rafdy mengangkat sebelah alisnya. Karena itu Donna meneruskan, “karena ada pria lain….”
“Begitu?”
“Pria itu…kau, Rafdy.”
Kali ini Rafdy benar-benar terkejut. Ia memandang ke teras yang ternyata telah kosong. Wajah Rafdy memerah dan ia berdiri canggung. “Aku tidak tahu harus berkata apa.”
Donna tersenyum. Ia mengusap air matanya yang masih terus mengalir. Ia menahan rasa sakit di dadanya. “Aku tahu, kau benar-benar mencintai Ibuku. Sikapmu pada Ibu sepertinya nyata.”
“Hei, Nona, jangan sembarangan. Aku menghormatinya, tidak lebih.” Rafdy menarik napas dan menghembuskannya perlahan. “Sebenarnya aku tidak suka untuk mengakui rahasiaku. Sepuluh tahun lalu aku bertemu Ayahmu, dan Aku jatuh cinta pada pandangan pertama padamu saat melihat fotomu yang selalu dibawa-bawa Ayahmu.”
“Kau bohong!” Jantung Donna berdegup kencang.
Rafdy menyelusupkan kedua tangannya ke belakang leher Donna, menyibakkan rambut panjang Donna, dan menariknya mendekat. Angin malam menerpa mereka, membuat Donna menggigil. Rafdy mempererat pelukannya. “Sungguh. Tapi aku agak takut juga saat kau memelototiku sewaktu Retna memberitahukan bahwa kami berpacaran.” Rafdy tersenyum mengingat hal itu. “Apakah kau sungguh jatuh cinta padaku?”
“Ya….”
“Boleh aku tahu ucapan nyaman tidak nyaman itu?”
“Yah, aku merasa aneh…entah kenapa aku merasa nyaman dalam pelukanmu, tapi tentu saja tidak nyaman karena kau pacar Ibuku….” Donna tersipu. Ia mencengkeram kemeja Rafdy. “Tadi kau bilang akan menyingkir? Jangan pergi, Rafdy. Tetaplah di sini.”
“Aku hanya pulang ke apartemenku, karena sudah malam.” Rafdy tidak bisa menahan senyumnya. “Yah, tadinya aku berniat pulang ke kota asalku, tapi karena ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan, jadi…aku akan tetap di sini menemanimu.”
Donna tersenyum penuh harap. “Sungguh?”
“Benar. Kalau begitu, kau mau menjadi kekasihku?”
“Mau!” Donna menjawab dengan semangat.
 “Baiklah, selamat malam.” Rafdy melepaskan pelukannya dengan enggan, karena sebenarnya  ia masih ingin memeluk Donna. “Boleh aku mengantarmu ke kampus besok?”
Donna mengangguk. “Sampai besok! Oyasuminasai!”
“Apa?”
“Have a nice dream.” Donna mengecup pipi Rafdy dengan malu-malu, lalu berlari masuk ke dalam rumah.
Rafdy terkejut karena Donna mencium pipinya. Ia tersenyum lembut. Ia berbalik dan menaiki Taftnya, lalu melajukan Taftnya dengan santai, sementara dadanya bergemuruh. Yes, akhirnya Donna jatuh cinta padaku! Rafdy tidak bisa tidak tersenyum. Ia bersiul-siul gembira menuju apartemennya. Ia berpikir ia tidak akan bisa tidur, tak sabar menanti hari esok untuk bertemu kembali dengan Donna, gadis yang selama sepuluh tahun ini selalu dirindukan dan hadir dalam setiap mimpi-mimpinya!
TAMAT

Nama: Putri Permatasari
Fb: putri_comics86_ydws@yahoo.com