Thursday, 27 June 2013

Puisi Sosial: Surat Buat Bapak Presiden

SURAT BUAT BAPAK PRESIDEN
(semoga beliau baca...)


Pak Presiden yang Terhormat,
bila harga BBM naik, dengan gagah dan baik hati konon
Bapak akan memberi kami kompensasi.
Bapak akan membuat kami mengantre untuk mendapatkan uang bantuan agar kami tak merasa kesulitan. Tapi, pikiran kami sederhana saja!

Pak, benarkah Bapak suka melihat kami mengantre panjang mengular dari Sabang sampai Merauke? Kami tidak suka itu. Kami tak suka terlihat miskin, apalagi menjadi miskin.
Kalau memang Bapak punya uang untuk dibagikan kepada 
kami,
pakailah uang itu, kami rela meminjamkannya untuk menyelamatkan ‘perekonomian nasional’ yang konon sedang gawat itu.

Tak perlu naikkan BBM! Pakailah uang kami itu: kami rela meminjamkannya untuk menyelamatkan bangsa!
Hidup kami sederhana, disambung lembaran-lembaran uang recehan.
Ilmu hitung kami kelas rendahan:
berapa untuk makan sehari-hari, uang jajan anak sekolah,
biaya transportasi, biaya listrik bulanan, dan kadang-kadang
cicilan motor, dispenser atau DVD player.
Tak perlu kalkulator.
Bila sedang beruntung, kami bisa punya sisa uang untuk jalan-jalan di akhir pekan.
Bila sedang sulit, kami tidak kemana-mana.

Pak Presiden yang Mulia:
Kami mencari kebahagiaan gratisan di televisi.
Meski...
kadang kala justru dibuat pusing dengan berita-berita tentang beberapa anak buah Bapak yang korupsi.
Bila perlu...
berdirilah di hadapan kami, katakan apa yang negara perlukan dari kami untuk menyelamatkan kegawatan bencana ekonomi negara ini?
Bila Bapak perlu uang...
kami akan menjual ayam, sapi, mesin jahit, jam tangan, atau apa saja agar terkumpul sejumlah uang untuk melakukan pembangunan dan penyelamatan perekonomian bangsa.
Bila Bapak disandra mafia...
pejabat-pejabat yang bangs*t, atau pengusaha-pengusaha yang menghisap rakyat,
tolong beritahu kami: siapa saja mereka? Kami akan bersatu untuk membantumu melenyapkan mereka.
Tentu saja, semoga Anda bukan salah satu bagian dari mereka!

Pak Presiden yang baik,
Dengarkanlah kami! Berdirilah untuk kami!
Berbicaralah atas nama kami! Belailah kami, maka kami akan selalu ada,
berdiri, bahkan berlari mengorbankan apa saja untuk membelamu.
Berhentilah berdiri dan berbicara atas nama sejumlah pihak,
membela kepentingan-kepentingan golongan.
Berhentilah jadi bagian dari mereka yang ingin kami benci sampai mati.
Jangan jadi penakut!
Pak Presiden, jangan jadi pengecut!
Buanglah kalkulatormu, singkirkan tumpukan kertas di hadapanmu,
lupakan bisikan-bisikan penjilat di sekelilingmu!
Lalu...
Dengarkanlah suara kami! Tataplah mata kami :
tidak pernah ada satupun pemimpin di atas dunia yang sanggup bertahan dalam kekuasaannya
jika ia terus-menerus menulikan dirinya dari suara-suara rakyatnya!

Pak Presiden,
Sekali lagi, tentang kenaikan harga minyak,
barangkali kami memang tak pandai berhitung.
Tapi...sungguh, kami tak perlu menghitung apapun untuk untuk
memutuskan mencintai atau membenci sesuatu, termasuk mencintai atau membencimu!

No comments:

Post a Comment