Sebelum membaca cerpen ini, alangkah baiknya para pemirsa dimanapun Anda berada sedia tisu sebelum hujan (air mata), hehehe. Selamat mencicipi kisahnya!
Aku masih menelusuri hiruk pikuk toko emas, mataku melirik ke kiri dan kanan mencoba mengingat toko emas yang ku kunjungi dua bulan lalu untuk membuat cincin lamaranku ke Tania. Toko Sinar Emas, yah ku lihat lagi toko emas itu dan meyakinkan langkahku untuk masuk kedalamnya.
Aku tarik nafas panjang dan mengeluarkan kotak cincin emas dari saku celanaku, ingatanku kembali tertampar saat membuka kotak cincin emas buat Tania, cincin yang ku beli saat gaji pertamaku menjadi seorang pegawai negeri sipil, cincin sederhana untuk melamarnya menjadi pendampingku dan calon ibu dari anak-anakku kelak bersamanya. Namun tak pernah muncul difikiranku kalau orang yang ku cintai empat tahun lamanya menolak lamaranku hanya dengan alasan belum siap berjalan beriringan melewati rumah tangga dengan penghasilanku yang pas-pas’an. Dia seperti menampar wajahku dengan bola api kehidupan yang begitu panas membakar semua harapanku lalu dia pergi meninggalkan hatiku yang remuk dan berlenggang dengan cantiknya mencari ambisinya menjadi seorang model. Terlalu sakit saat mengingat akhir cerita dengannya dan cincin ini begitu menyesakan dadaku. Kini aku kembali pada toko emas hanya untuk membuang semua harapan yang telah hangus terbakar rasa kecewa, dengan hati yang sangat berat ku jual kembali cincin cintaku selama empat tahun pada Koko Lim yang berbadan putih tambun lalu aku pergi secepat mungkin meninggalkan Toko Sinar Emas.
Belum cukup lima belas menit, otakku di gerogoti kenangan bersama Tania. Saat dia bilang, “Mas nanti kalau kita menikah aku ingin memiliki dua orang anak, aku mau anak pertama seorang pria dan anak kedua wanita. Saat mas libur kantor kita kita jalan ke kawah putih lalu traveling ke ke raja ampat.” Semua tawa, manja dan suaranya menggoda ingatanku dan ku putar kembali sepeda motorku menuju Toko Sinar Emas. Aku berlari secepat mungkin ke toko itu untuk mengambil kembali kenanganku yang baru ku jual, namu dadaku semakin sesak saat cincin itu sudah tidak terpajang pada etalase emas milik Koko Lim.
“Ko...Maaf cincin yang barusan aku jual itu bisa ku beli kembali?” tanyaku dengan nafas yang masih belum beraturan.
“Haiya, kamu olang ini bagaimana, balu jual sekalang mau beli lagi, cincin kamu sudah laku.” Koko Lim berbicara denganku dengan dialek aneh mengganti huruf R menjadi L.
“Kalau begitu saya minta no telepon pembelinya Ko, bisakan?? Aku mohon Ko.” pintaku dengan memelas.
Melihat wajahku yang penuh dengan raut nasib tak jelas dan aura kesedihan yang mungkin terpancar dan bisa dibaca oleh Koko Lim, dia memberiku nota karbones berisi nama dan no handphone pembeli cincin kenanganku.
***
Otakku masih berfikir apa yang harus ku bilang pada pemilik baru cincinku itu, bagaimana kalau dia tak ingin menjualnya kembali padaku. Semua pertanyaan itu muncul tanpa bisa ku jawab, lalu ku beranikan diri menekan no handphone yang ada pada nota pembelian yang diberikan Koko Lim padaku. Terdengar nada sambung dari balik handphone ku dan tak lama kemudian suara merdu itu menyapaku.
“Hallo, Assalamu Alaikum!” suara itu menyapaku.
“Walaikum salam, maaf benar ini dengan mbak Chika?” tanyaku dengan sedikit gugup
“Oh iya benar ini siapa yah, mas?” tanyanya.
“Walaikum salam, maaf benar ini dengan mbak Chika?” tanyaku dengan sedikit gugup
“Oh iya benar ini siapa yah, mas?” tanyanya.
Aku mencoba untuk menceritakan semua yang terjadi pada diriku dan cincin kenangan itu, berharap dia sedikit iba dan mau menjual kembali cincin harapanku bersama Tania. Aku tak tahu apa yang ada dalam fikiran Chika, ia hanya memintaku untuk datang pada perumahan Elite di kawasan Jakarta Selatan. Lalu ku pacu secepat mungkin motorku bagaikan seorang pembalap F1 yang berlaga di sirkuit. Tepat sejam aku sampai depan rumah Chika, rumah yang sangat mewah menurutku dan aku disambut dengan satpam rumah yang berwajah garang namun sangat bersahabat, mengantarku masuk menemui tuan rumahnya. Aku menunggu Chika diruang tamu yang megah, ku lihat foto keluarga yang terpajang dengan ukuran besar di dinding, terlihat seorang pria setengah baya mengenakan setelan jas begitu berwibawa sangat terlihat kalau dia seorang pemimpin dan tepat berdiri disampingnya wanita cantik mengenakan kebaya berwarna senada dengan gadis imut yang duduk sendiri pada foto mereka. aku pastikan itulah Chika gadis yang membawaku sampai dirumah ini.
“Kakak Brian ya?” suara lembut itu mengalihkan penglihatanku pada foto keluarganya.
“Iya” jawabku simpel dan membalas senyuman manisnya.
“Iya” jawabku simpel dan membalas senyuman manisnya.
Aku tak berani menatap matanya yang cantik, jantungku berirama seperti gendang dangdutan. Lalu ku lihat dijari manisnya, ia memakai cincin kenanganku, cincin yang seharusnya melingkar pada jari manis Tania buka jari manis Chika. Ingin rasanya segera ku lepaskan dari jari manisnya.
“Kakak Brian menginginkan cincin ini kembali?”ia sambil memamerkan cincinku di jari manisnya.
“Iya, Kha. Aku kesini memang untuk cincin itu. Aku akan beli berapapun yang kamu minta, tapi kalau boleh jangan terlalu mahal ya.” jawabku sedikit memaksa.
“Aku tidak butuh uang kakak, aku cuma butuh waktu kakak dua minggu menemaniku kemanapun yang aku mau, setelah itu kakak Brian boleh mengambil kembali cincin kakak. Bagaimana?” pinta Chika kepadaku.
“Tapi aku kerja, aku punya tanggung jawab dengan pekerjaanku.” pintaku sedikit menolak permintaanya yang aneh.
“Seminggu kakak ambil cuti dan seminggu lagi kakak temui aku tiap pulang jam kerja.” kembali Chika memberikan permintaan.
Aku tahu Chika punya uang lebih dari yang ku miliki, dia tidak mungkin menukar cincinku dengan uang namun kenapa harus aku yang menemaninya. Permintaan yang harus ku terima dan menelannya seperti pil pahit yang dicekok kedalam mulutku secara paksa.
Bersambung....
Untuk sementara pause dulu yah. Penasaran kan? Hehehe
Untuk sementara pause dulu yah. Penasaran kan? Hehehe
Nantikan kelanjutan ceritanya di postingan selanjutnya.
No comments:
Post a Comment