Saturday, 30 June 2012

Cerpen Horor: Misteri Rumah Baru

Misteri Rumah Baru
Cerpen Misteri Horor
oleh Novie An-Nuril Khiyar


Hari ini adalah hari pertama aku pindah dari kontrakan ku yang dulu. Di karenakan jauh dari kampus, akhirnya aku memilih untuk menyewa rumah baru. Dengan pendapatan yg pas-pasan, aku lebih memilih menyewa rumah yg terlihat tak terurus. Kebetulan sewa rumah itu jauh lebih murah di banding harga sewa rumah ku yg kemarin. Hanya berbekal uang 500 ribu aku bisa mendapatkan rumah yg tergolong mewah, walaupun sedikit tak terurus dan berantakan. Aku saja heran, mengapa rumah ini terlalu murah utk di sewakan,,bukankah rumah ini besar dan luas??. Tapi aku akan tetap tnggal di sini berdua.. Ya,,selama ini aku tinggal berdua dengan teman sekampusku. Kami dari kampung yg merantau kekota hanya sekedar mencari ilmu dan mimpi.

“rumah ini sepertinya lama di tinggalkan, bukti nya tak ada 1 barang pun yg terlihat layak utk di pakai”.ujar sherry temanku. Aku hanya terdiam dan tak menggubris omongan sherry, karena ku fikir emang benar. Tak ada 1 barangpun yg terlihat sempurna. Semuanya lapuk,,dan benar2 tak bisa di pakai.

Setelah membereskan ruang tamu , aku langsung menuju ruang tengah dan segera membersihkan nya, sementara sherry membersihkan ruang dapur. Kami emang terlihat kompak dalam hal seperti ini. Hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit, kami dapat beristirahat di rumah ini. Untuk sementara rumah yg kami tempati saat ini adalah milik kami.

Jam menunjukkan pukul 11.00 pagi, waktunya kami pergi bekerja. Aku bekerja sebagai penjaga buku di salah satu toko buku yg terkenal di kota ini, sementara sherry bekerja di café sebagai pelayan café. Dikarenakan hari ini sherry masuk malam, jadi aku pulang kerja langsung kuliah dan pulang ke rumah. Cukup menyeramkan tinggal dan mendapatkan suasana baru di sini, di rumah baruku. Tapi karena aku termasuk orang yg pemberani, (walaupun sebenarnya ada hal yg aku takuti) aku tetap memberanikan diri untuk tinggal sendiri malam ini sampai pukul 22.00 malam.

Karena belum ada persiapan untuk pindah, jadi aku hanya punya barang seadanya utk hari ini. Seperti alat2 memasak dan peralatan utk tidur serta pakaian. Jadi malam ini aku hanya bisa baca buku utk menghabiskan malam. Di dalam kamar yg luas,,aku merasa aneh di situ. Aku seakan melihat sinar di pojok ruang itu, tepatnya di dalam lemari yg berumur sekitar 20 tahun, karena di situ terdapat tahun, yg aku rasa adlh tahun di mana lemari itu baru di beli. Aku langsung menghampiri lemari itu dan membuka setiap laci yg ada. Dan aku melihat satu buku yg terlihat usang. Buku apa itu? Dengan rasa penasaran, aku mengambil buku itu dan membacanya. Halaman per halaman dapat aku baca dengan sempurna. Di saat aku membaca halaman yg ke 14, aku mendengar suara keributan seperti pertentangan antara anak dan orang tua. Ya,,seperti buku yg aku baca saat ini,, buku pada halaman ke 13,,yg isinya perdebatan hebat antara anak dan orangtua. Dengan rasa yg campur aduk, Aku langsung keluar kamar dan menghampiri ruangan yg bersumber keributan itu. Tapi apa yg aku dapatkan? Hanyalah keheningan. Lalu apa yg aku dengar tadi?.. entahlah…aku sendiri saja bingung. Sambil menunggu jam 10 malam, akupun tertidur dengan buku yg masih ku pegang.

Dengan berjalannya waktu,, tak terasa aku sudah 2 minggu tinggal di rumah ini. Tak ad keanehan yg di rasakan Sherry. Tapi aku? Selalu saja keanehan yg aku rasakan di rumah ini. Rutinitas berjalan seperti biasa, kerja, kuliah dan pulang ke rumah. Itu aktivitas aku dan sherry. Sampai akhirnya aku lupa menceritakan hal aneh yg aku rasakan di hari pertama kami tinggal. Dan seperti biasa, hal aneh terjadi lagi saat aku membaca buku itu. Yg lebih aneh,,setiap halaman yg aku baca, seolah ada kehidupan yg ada di hadapan ku sekarang dan cerita nya sama persis dengan kisah yg aku baca di buku ini. Dengan rasa penasaran, aku mencoba menonton apa yg aku lihat. Dan dia,,siapa dia? Wanita itu ? apa yg aku lihat saat ini? Dia yg seperti bayangan menyerupai wanita yg aku sayangi, sherry? Ya,, itu benar sherry. Apa yg aku lihat saat ini. Pertanda apa ini? Apakah benar wanita yg ada di hadapan aku sekarang adalah sherry?? Aku selalu bertanya dengan orang yg ada di hadapanku, tapi mereka tidak memperdulikanku, seakan2 tidak melihatku. Apa ini? Aku langsung terdiam ketika aku mendengar dialog “ aku tak akan pernah bisa berhentimencintainya yah,, walaupun aku tlah mati”. Kata2 itu selalu aku ingat,, kata2 yg membuat aku bingung dan penasaran. Pandangan di sekililingku kembali normal saat aku menutup buku itu. Aku benar2 tidak mengerti dengan buku yg ada di tanganku sekarang. Sangat misteri.

Hari ini aku terpaksa bolos kerja dan kuliah hanya untuk melihat kejadian yg ada di buku itu. Dengan semaksimal mungkin, aku berfikir keras. Apakah ada hubungannya dengan rumah, waktu dan sherry. Aku akan mencoba mengungkap misteri ini dari awal.

Beberapa waktu lalu, sherry mengajak aku pindah rumah secara paksa. Walaupun dengan alasan tepat, tapi aku tetap aja curiga dengan dia. Tanggal ,,, aku mengenal sherry lavida tepat tanggal 13 maret, 1 tahun yg lalu. Dimana tanggal itu adalah tanggal terakhirnya cerita di buku diary yg aku temukan itu. 13..adalah angka yg benar2 sering muncul di buku itu,,,apalagi yg menyakin kan aku adalh saat pertama aku melihat kejadian aneh itu di saat bacaanku terhenti di halaman ke 13. apa artinya ini?

Pikiranku terhenti saat ponselku berdering, dan kulihat pesan di ponselku, ternyata dari sherry. Pesan itu berisi “van, mungkin hari ini aku pulangnya agak malam ya, aku lembur. Ok.”,, itu pesan yg aku baca dari sherry. Malam ini aku sendiri,,karena rasa penasaran aku yg begitu kuat, aku rela malam ini gak tidur untuk menyaksikan kejadian beberapa tahun yg lalu di rumah ini.

Aku mulai membaca dari halaman 14, halaman yg kemarin sempat terhenti.
“hari ini aku bertemu lagi dengan nya di suatu tempat. Aku senang karena masih bisa bertemu dengan nya, walaupun pertemuan itu berakhir dengan pertengkaran yg amat hebat dengan kedua orangtuaku. Orangtua yg tak pernah merestui hubunganku,, orangtua yg egois…dan orangtua yang……” aku berhenti membaca ketika aku melihat bayangan sherry ada di hadapanku. Dan apa yang aku lihat,, sosok orangtua yg sangat marah dengan anaknya, anaknya itu adalah sherry.

“ayah tidak melarang kau mencintai lelaki,, tapi jangan dia?” kata2 yg dpt aku dengar dengan jelas, setelah itu semuanya samar terdengar. Aku mencoba membaca kelanjutan bacaan ku tadi…

“…sangat keras. apakah aku pantas membenci ayah dan ibu karena mereka menentang cinta kami. Cinta yg kami jalani 2 tahun lama nya, apakah harus berakhir dengan kematian?”

Waktu yg lama, fikirku. Aku melanjutkan bacaan ku ke halaman berikutnya,, tapi sebelum aku melanjutkan, aku merasa kaki ku sangat berat, kakiku seolah2 ingin melangkah tanpa aku suruh. Aku mencoba melemaskan kaki ini dan melangkah kearah yg ingin di tuju. Dan apa yg aku lihat sekarang,,, darah. Ya, darah lah yg aku lihat tepat di bawah kaki ku. Aku ambil darah itu, aku cium, ternyata darah itu masih segar, seprtinya belum lama,, bau amis yg aku cium sangat menyakinkan kan bahwa cairan merah itu benar2 darah. Petunjuk apalagi ini? Aku benar2 bingung, dan aku tak aku tau apa yang harus aku lakukan sekarang.

Jam menunjukkan pukul 2 pagi. Aku masih saja membaca buku itu sampai halaman terakhir. Aneh,, aku tak menemukan halaman yg ke 20,, aku mencari halaman itu,,, di lemari, di lantai, di dalam buku dan sampai di ruang tamu,, tapi aku tak menemukan nya. Akhirnya aku menyerah, mungkin halaman itu memang tak di tulis. Aku hanya membaca halaman terakhir saja yg isinya seperti ini …

“ayah, maafkan shelly. Shelly sangat mencintainya, seperti ayah mencintai ibu. Tolong izinkan shelly untuk memilikinya yah,,”

Shelly?? Jadi nama perempuan itu shelly?

Aku kembali berfikir, Cuma beda tipis antara “SHELLY” dan “SHERRY”.

Di tengah2 keheningan malam, tiba2 aku mendengar tangisan yg begitu pilu dan sangat menyayat hati. Di saat mendengar tangisan itu, aku langsung menangis,,, menangis dan menangis. Setelah tangisanku terhenti, aku langsung mencari asal dari tangisan perempuan itu. Tapi sebelum mendapatkan apa yg aku inginkan,, aku kembali melihat darah yg begitu banyak dan seolah2 darah itu berjalan menuju kakiku. Aku mencoba berlari,, namun kaki ku benar2 terasa berat, bahkan tak bisa di gerakkan.

Tangisan itu terhenti,, kembali hening. Darah yg ada pun hilang,, aku kembali duduk di ruang tamu sambil mendengar pembicaraan yg terdengar samar. Pembicaraan itu sepertinya tidak asing bagiku…ya,,ternyata apa yg aku dengar adalah pembicaraan antara shelly dan ayahnya. Saat itu ayahnya benar2 sangat marah,, sampai2 memukul2kn meja. Semakin sadis yg aku lihat, lelaki itu membentak2 selly, dan….”baiklah ayah, , ayah tak pernah merestui hubungan kami, lebih baik ayah bunuh shelly, shelly rela yah mati di tangan ayah” itu adalah kata2 yg kluar dari mulut shelly. Dan seperti yg aku lihat, lelaki itu berkata yg membuat aku benar2 tak percaya “ baiklah,, jika itu yang kamu ingin kan…aku akan membunuhmu.” Itulah kata2 yg membuat aku takut melihat kejadian nya. Apa yg aku lihat sekarang, semuanya seperti nyata. Lelaki itu langsung membunuh shelly dengan cara yg begitu sadis… darah yg aku injak,,terasa masih segar dan itu adlh darahnya shelly. Aku tak sanggup melihatnya, ,selly mati di tangan ayah nya…sungguh sulit tuk di percaya. Lelaki itu membunuh dan mengubur shelly di rumah ini,, tepat di ruang yg aku injak adlah ruang yg di dlm tanahnya terdapat jasad shelly.

Malam ini aku merasa malam yg panjang. Aku bisa melihat kehidupan shelly beberapa tahun lalu. Sunggu tragis.

Hari ini aku kembali melakukan aktifitas seperti biasa. Namun pas aku buka pintu kamar, aku mendapati selembar kertas yg berisi “tolong bongkar tempat ini !!!” hanya kalimat itu. Kalimat yg tintanya seperti dari darah. Aku kaget, tapi penasaran juga. Akhirnya aku memutuskan untuk membongkar ruang itu, walau tanpa sepengetahuan sherry.

Aku mencoba membongkar tempat itu bersama teman2 kampus ku yg lain. Betapa kagetnya aku, aku mendapati tulang belulang yg terbungkus dengan plastik hitam. Apakah benar tulang belulang itu adalah kepunyaan shelly? Aku langsung memanggil ustadz dan warga sekitar untuk melihat apa yg aku temukan hari ini. Kami langsung mengubur tulang2 itu dengan selayak nya menguburkan jenazah yg masih utuh. Rumah itupun di evakuasi, tuk sementara aku tinggal di rumah teman ku. Tapi ada yg aneh dgn hal ini,, sejak aku merasakan hal aneh di rumah,, selalu saja tanpa hadirnya sherry. Apa maksudnya?

“sherry? Apa kau melihat sherry?” tanyaku dengan teman2ku yg lain.

“sherry siapa van?”

“sherry teman kampus kita, teman aku, yang tinggal di sini bersama aku”

“van, selama ini kau hanya tinggal sendiri”

“apa?....ucapku heran.

“tinggal sendiri” jadi siapa sherry yg aku kenal itu. Di saat aku bingung seperti ini,,ponsel ku berbunyi. Aku mendapati pesan,, dan pesan itu dari sherry…

“Van,, aku shelly. Shelly adalah sherry. Terimakasih ya van, kamu udah Bantu aku. Mungkin kamu tak mengerti apa konflik yg aku rasakan beberapa tahun yg lalu, karena aku tak pernah menceritakannya padamu. Dia lah van,, dia adalah lelaki yg sangat aku sayangi, ayahku sangat membencinya karena dia adalah anak dari musuh ayahku. Cinta kami di tentang,,bahkan sampai detik terakhirku. Aku tak rela dia menjadi korban pembalasan dendam dari ayahku, makanya aku berani mati saat aku membela dia.
Sekali lagi, terimakasih ya vanny,, kamu udah membuat aku tenang di surga. Aku tak meminta lebih dari perkenalan kita setahun lalu, aku hanya ingin kamu mengungkapkan penyebab kematian ku dan dapat mengubur ku dengan layak…..”SHELLY LAVIDHA”.”

Setelah selesai aku membaca pesan itu, aku langsung melihat cahaya putih yg menyerupai sherry. Dia tersenyum padaku

“Selamat jalan teman,, semoga kau tenang di sana”

the end

)* mohon komentar nya,, maklum,, saya masih newbie.

Fb : Novie An-Nuril Khiyar
twitt : @noviepurple19

Friday, 29 June 2012

Cerpen Persahabatan: Jatuh Cinta yang Salah

Jatuh Cinta Yang Salah
Cerpen Cinta yang Salah

Oleh Leriani Buton

Sahabat adalah serangkaian jalian kasih
Dikala jatuh dia akan datang untuk mengangkatknya
dengan kedua tangannya.
Selalu mengharapkan kebahagiaan yang terurai
Di setiap serat-serat persahabatan
Bagiku sahabat adalah sebagian nafas yang aku punya
Walau terkadang mereka sering pergi meninggalkanku…
Tapi, mereka telah tergores di tinta jalan hidupku….
Sahabat tak pernah terurai oleh massa…
Dan tak kan pernah sirna hanya karena kebencian
Meskipun kadang tak sependapat
Namun selamanya akan tetap menjadi sahabat….

               Dulu, aku memiliki kehidupan yang sangat suram di masa kecilku. Aku nyaris tak punya teman ketika aku duduk di bangku SD dulu. Setiap kali aku mencoba untuk mendekati mereka, mereka malah menjauhi dariku. Padahal aku berusaha untuk bisa berteman dengan mereka, dulu aku menekan rasa maluku untuk mendekati mereka. Namun, itu semua sia-sia. Mereka menganggap suaraku hanyalah gemuruh yang lewat dan akan menghilang setelah suasana menjadi cerah. Mereka bilang padaku, aku hanyalah anak yang jelek, cupu’, dekil yang hanya dianggap sampah. Aku akui aku jelek dan cupu’. Namun, aku ga’ dekil. Tapi itu adalah presepsi orang. Dan aku harus terima itu. Aku hanya tak ingin membuat masalah.

               Hingga di suatu ketika, ada seseorang yang datang di kehidupanku. Sahabat pertama yang kumilki, dialah Arlen. Dia sangat baik padaku. Setiap kali aku menagis karena ejekkan teman-temanku, dialah yang menenangkanku. Meskipun kami masih kecil pada saat itu dan masih di anggap anak ingusan, namun bagiku dia adalalah malaikat berwujud manusia yang akan selalu menjagaku. Katika aku bersamanya, akhirnya banyak teman-teman yang aku punya. Aku akui, ketampanan Arlenlah yang membuat mereka mau berteman denganku. Aku sangat bahagia. Arlen selalu mengatakan padaku untuk tidak menangis di kala aku di ejek dengan sebutan mata kodok. Dia selalu bilang mataku ini indah seperti mata bidadari.

               Hingga di suatu ketika, Arlen pergi meninggalkanku. Dia pindah di kota Ambon. Rasanya sulit bagiku menghadapi semua ini sendirian. Teman-teman yang sempat ada, kini menghilang sejak kepergiannya Arlen. Dan kini aku harus memulainya lagi dari awal .

               Hari berganti hari. Tanpa terasa tahun-tahun pun terlewatkan. Ternyata 8 tahun sudah aku dan Arlen tak pernah bertemu. Bahkan sejak kepergiannya di hari itu, dia serasa benar-benar menghilang tanpa ada sepatah katapun dan tanpa meninggalkan jejak. Aku hanya bisa menangis ketika tahu dia sudah tidak ada di sisiku lagi. Begitu sulit menghadapi teman-teman yang suka memilah-milah teman. Namun, aku tahu aku akan mendapatkan sahabat yang baik di suatu hari nanti. Dan aku tahu dengan kekuatan cinta yang aku milki, semuanya akan terlihat mudah untuk dihadapi.

               Ya,,,, ternyata semuanya telah terjawab, aku sekarang memilki banyak teman dan bahkan lebih dari yang aku bayangkan. Aku tahu Allah akan memberi jalan kepada orang yang mau berusaha untuk berubah. Dan itu terbukti di kehidupanku….

               Di tahun yang ke-8, di pertengahan tanggal bulan Desember lebih tepatnya 16 Desember 2008, Di kala itu aku masih duduk di bangku SMA. aku mendapatkan nomor ponselnya Arlen dari salah satu sahabatku Antoni. Kebetulan dia jalan-jalan ke ambon, dan bertemu dengan Arlen. Dari situlah Arlen menitipkan nomor ponselnya kepada Antoni untukku. tanggal 17 Desember 2008 aku menghubungi Arlen. Namun, dia tak pernah membals SMSku. Besoknya aku SMS dia lagi, namun tak ada sms balasan darinya. Sejak sat itu aku pun tidak menghubunginya lagi. Aku berfikir, Antoni cuman ingin mempermainkanku. Di hari yang ke-6, tepatnya tanggal 23 Desember 2008, aku di SMS sama Arlen. Itulah kali pertama aku dan Arlen berhubungan lewat komunikasi telpon.

               Ya Allah… betapa senangnya hatiku saat itu. Aku hanya bisa terdiam mendengar kelembutan suaranya. Suaranya masih terdengar seperti kami masih SD dulu, benar-benar lembut. Hingga disuatu hari aku ngirim sms ke dia, namun dia tak membalasnya tapi dibalas sama temannya yang bernama Alvin. Dari situlah akhirnya aku berteman dengan Alvin. Ternyata Arlen sengaja membiarkan temannya yang membalas SMSku. Dia ingin mendekatkanku dengan temannya Alvin. Sejujurnya hari itu aku agak kecewa, tapi ternyata Alvin adalah orang yang baik yang memilki banyak kesamaan denganku. Mulai dari aktivitas sampai dengan hal yang kami sukai. Dan itu membuatku tarasa nyambung dengannya.

               Semuanya masih berjalan dengan baik. Aku dan Alvin masih tetap berteman baik. Dia selalu mengirim SMS disaat waktu yang tepat. Sedangkan Arlen menghilang tanpa jejak. Aku sudah merasa nyaman dengan Alvin. Namun, di saat Alvin akan menyatakan persaanya padaku, malah aku menerima Arlen sebagai pacarku. Sungguh aku telah menyakiti persaan Alvin.

               Sejak saat itu, Alvin pun menghilang dari kehidupanku. SMS yang biasanya ku terima dari dia setiap hari, kini tak ada lagi. Mungkin dia marah padaku. Itulah awal persahabatnku hancur.

               Seiring berjalannya waktu, aku pun semakin mengenal Arlen. Dia tak seperti Arlen yang kumilki seperti dahulu. Lingkungan telah merubahnya. Setiap kali dia ketemu denganku, dia selalu menceritakan mantan-mantannya padaku. Yang lebih parahnya lagi dia bilang padaku kalau dia masih mencintai mantannya. Dan lebih kacaunya lagi dia menyukai sahabatku Regina. Ya ampun…. Aku tak bisa berkata apapun. Aku hanya bisa tersenyum ketika dia mengatakan hal itu padaku. Entahlah apa yang dia inginkan. Yang pastinya itu membuatku sakit mendengarnya. Dia tidak memikirkan persaanku yang saat itu masih menjadi pacarnya.

               Aku berusaha bersabar, setiap kali dia curhat tentang masa lalunya aku selalu merubah statusku yang tadinya pacar, menjadi sahabat setia yang akan mendengarkan semua yang ia katakan. Namun, aku hanyalah manusia biasa yang punya perasaan. Aku tak kuat mendengar pacarku selalu mengungkit-ngungkit mantan pacar yang masih dicintainya. Kalaupun aku bertahan, entah sampai kapan aku bisa bertahan menyembunyikan persaanku yang hancur setiap kali dia menceritakan hal itu padaku?

               Ya Allah… aku tak kuat menerima semua ini. Rasanya sakiiiit sekali…. Hingga di suatu hari aku ngirim sms dia, namun nomor ponsel yang ku gunakan adalah nomor ponselku yang baru. Dia membalas SMS ku. Namun di beberapa bulan berikutnya, aku tak pernah mengSMSnya lagi. Dan dia juga tak pernah mengSMSku.


               Hingga di suatu hari, dia SMSan dengan fitria temanku, dan bertanya kepada fitria kenapa aku ga’ pernah lagi menghubunginya? Dan fitria menyampaikan hal itu padaku. Dua hari selepas itu, aku pun mengirim SMS padanya. Dan dia membalas SMS ku juga dengan bertanya siapa aku. Aku menyuruhnya menebak.

               Awalanya tebakannya membuatku GR setengah mati. Dia berkata kalau akau adalah pacarnya yang jauh namun dekat di hati. “hah,,,,melegakan, ternyata Arlen masih mengingatku,” pikirku dalam hati.

               Ternyata aku salah menduga, orang yang dia bilang pacar yang jauh namun dekat di hati adalah bukan aku tapi pacarnya yang lain Dea Yesika. Ya Ampun,,,, aku hanya berusa mengatur nafas untuk membuat air mataku tak boleh terjatuh. Namun apa daya, aku adalah manusia biasa yang punya persaan dan sore itu air mataku akhirnya jatuh juga. Ternyata selam ini, dia tak pernah save nomor baruku. Aku hanya terdiam dengan mata yang berkaca-kaca.

               Setelah mengetahui kebenarannya, aku pun mengSMSnya kalau yang dia tebak adalah salah. Ternyata dia tak pernah mengingatku. Mungkin selama ini aku keGRan dengan apapun yang dia katakan padaku di awal sebelum kami berdua berpacaran. Cinta telah membutakan mata hatiku. Sampai-sampai aku tak bisa melihat ketulusan dari orang yang menyayangiku. Dan Aku tak bisa membedakan yang mana kebohongan dan yang mana kebenaran.

               Setelah dia tahu kalau orang yang dia tebak adalah salah, dia pun mengirim SMS ke fitria dan meminta nomorku. Kamu tahu, setelah dia tahu kalau aku adalah orang yang SMSan dengan dia tadi, dia malah meminta maaf kepada fitria bukan padaku. Aku heran, dia tak bisa membedakan yang mana orang yang dia sakiti dan yang mana orang yang harusnya di mintai maaf.

               Tapi, tak apalah. Lagian aku bukan hakim yang harus menuntut dia untuk mengucapkan maaf padaku. Bagiku Arlen yang ku milki bukanlah Arlen yang ada padaku sekarang, tapi yang kumiliki hanyalah Arlen yang dulu ketika kita masih di bangku Sekolah Dasar. Aku tak membencinya, aku hanya kecewa dengan sikapnya yang sekarang. Waktu telah merubah dia menjadi orang lain. Aku tak bisa menyalahkan siapapun. Yang pastinya hidup ku akan terus berjalan meskipun tanpa Arlen.

               Mungkin benar sahabat akan selamaya menjadi sahabat. Namun, tak sedikit sahabat bisa menjadi cinta. Aku mengerti ini adalah kesalahanku dengan Arlen. karena di dalam hubungan yang kami jalani, ada seseorang yang kami sakiti. Dia adalah Alvin. “Maafkan aku sahabatku…!!!! Aku berharap kita bisa bertemu lagi dan bisa bersahabat seperti dahulu lagi.

Cinta Is Great
Semua akan berakhir pada waktunya
Tak akan ada yang tersisa
Semua yang ku miliki akan hilang
Yang tersisa hanyalah cinta
Cinta,,,,,
Entahlah itu benar ada atau tidak?
Kalaupun banar ada, mengapa cepat sekali berubah?
Ketika ku mencoba untuk percaya
Yang ada hanya dusta
Ya, dusta!
Mungkinkah aku jatuh cinta pada orang yang salah?
Atau mungkin aku yang terlau bodoh dalam mengenal cinta?
Namun, bagiku semua itu tak begitu berarti
Cinta memang ada untuk orang yang bisa merasakannya
Dan cinta juga bisa tak ada bagi orang yang tak pernah merasakannya
Semua orang bisa berubah karena cinta.
Namun tak sedikit orang orang yang mendustainya
Hah,,, cinta memang gila.
               Dan kini aku telah memaafkan semua yang telah terjadi. Aku tak bisa membencinya hanya karena dia pernah menyakiti hatiku. Dia sama sepertiku, dia hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Selama 10 tahun berakhir, di tahun yang ke-11 aku baru ketemu lagi dengan Arlen, ketika itu aku berencana pulang kampung. dulu kami pacaran jarak jauh. Ternyata fellingku benar, dia telah berubah menjadi Arlen yang tak ku kenal. Namun, dengan perubahnnya itu, tak kan membuatku menghapusnya menjadi sahabat pertamaku.

               Pertemuan kami terjadi begitu singkat. Ketika dia melihatku, dia hanya meminta maaf atas semua yang telah dilakukannya padaku di waktu dulu. Sebagai seorang sahabat, aku memaafkannya. Karena aku tahu sahabat takkan pernah terubah hanya karena kebencian. Sejak saat itu, aku pun membuka lembaran baru bersama Arlen dengan memulai persahabatan yang dulu sempat hilang. Aku memang menyayanginya, namun rasa sayang itu tak lebih dari rasa sayangku sebagai seorang sahabat. Kesalahan di waktu dulu takkan terulang kembali.

               Sejak saat itu, kami tak bertemu lagi. Karena aku harus melanjutkan studyku di Makassar. Namun, bukan berarti kami kehilangan komunikasi. Sesekali dia mengSMSku atapun sebaliknya. Aku akan menjalin persahabatan ini dengan rasa sayang, kesaling hormatian, dan Saling menasehati tanpa harus mendustainya. Aku tahu, bila aku memulai dengan kebohongan, maka semuanya akan berakhir dengan kepahitan. Aku berharap dia bisa mengerti dengan persahabatan yang kami jalani saat ini.

THE END

Cerpen untuk Seorang Kakak: In Her Beautiful Smile

In Her beautiful Smile
Cerpen Senyum
penulis: Natania Prima Nastiti
Aku punya seorang kakak perempuan yang sangat cantik. Nadira namanya. Bagiku dia adalah seorang kakak yang terbaik di dunia ini dan di dalam kehidupanku. Kami berdua selalu bersama dan tidak pernah bertengkar. Kadang, karna keegoisan aku sebagai adik, kakak selalu mengalah. Dia tidak pernah memarahiku. Jika aku salah, dia hanya menasihatiku dengan cara yang halus. Perbedaan umur kami hanya dua tahun, hal itu membuatku merasa dia juga sebagai seorang sahabat. Kak Dira, tiada hari tanpa tidak tersenyum. Senyumannya yang tulus itu, selalu membuatku senang. Beruntungnya aku mempunyai kakak seperti dia. Dialah segala bagiku.

Sampai akhirnya, Kak Dira selalu mengeluh sakit kepala yang luar biasa. Entah kenapa, dia selalu sakit kepala. Kadang dia menangis menahan sakit yang dia alami. Akhirnya, selama dua minggu selalu mengeluh, mama membawanya ke dokter. Dan dokter bilang dia punya penyakit tumor otak. Semenjak keterangan dokter itu, kakak masih selalu tersenyum. Entah apa yang membuatnya kuat, dia selalu saja tersenyum di hari-harinya yang selalu terlewati dengan kepahitan. Aku yang melihat senyum kakak dan ketegarannya, malah selalu sedih. Kakak, bagaimana mungkin dia tidak menganggap penyakit yang mematikan itu dan hanya tersenyum?. Tiga bulan hidup dengan tumor di otaknya, membuat kakak semakin tersiksa. Kini kakak sudah tidak bisa berjalan lagi. Kedua kakinya lumpuh total. Tetap seperti biasa, walaupun dia tidak bebas melakukan apa yang dia inginkan, senyumannya tidak pernah lepas dari bibirnya. Seminggu tidak bisa berjalan, ganti kakak tidak bisa berbicara. Sebenarnya dia bisa berbicara, hanya saja dia selalu berbicara dengan putus-putus. Setiap malam, kakak tidak bisa lagi bercerita untukku. Tapi senyuman kakak dan ketegaran hatinya tidak pernah pudar. Suatu hari, aku mendekati kakak dan memanggilnya.

“Kak Dira, mama buat kue nih buat kakak” ucapku dari arah belakangnya. Tapi Kak Dira tidak menyahuti.

Aku terus memanggilnya tapi tetap tidak ada sahutan dari mulut kakak. Kemudian aku memagang bahu kakak. Dia sedikit terkejut. Aku duduk di depannya dan memandangnya. Kak Dira tetap tersenyum. Saat itu aku sadar kakak tidak dapat lagi mendengar. Cukup! Cukup penderitaan yang dialami kakak. Kenapa harus kakak? Kenapa harus kakak yang mengalami penderitaan yang begitu menyakitkan ini?. ku genggam tangan kakak yang terlihat begitu rapuh. Kakak balas mengenggam tanganku. Kakak tersenyum lagi tapi aku tidak. Aku tidak bisa tersenyum padanya yang jelas-jelas merasakan kesakitan ini.

Malamnya, penyakit itu mengganggu tubuh kakak lagi. Kakak mengeram kesakitan dengan kerasnya.

“Sa... saakk... sakkittttt!!!!!!!!”, kakak selalu mengeluarkan ucapan itu dengan susahnya. Dan selalu memegang kepalanya juga menjenggut-jenggut rambutnya sendiri.

Aku benar-benar tidak tega melihat kakak tersakiti. Setiap kakak mengeluh kesakita, aku selalu keluar dari kamar dan menangis sendirian. Waktu itu aku sedang belajar dan kakak sedang membaca bukunya. Melihat kakak, aku kembali meneteskan air mata. Biasanya saat aku belajar, kakak selalu ada disampingku. Memang saat itu kakak menemaniku tapi dia tidak membantuku belajar. Dia sibuk dengan kerjaannya sendiri. Entah kenapa, tiba-tiba aku mulai menulis surat untuk kakak. Karena jarak kita waktu itu cukup jauh, aku meremas kertas yang bertuliskan suratku dan melemparnya pada kakak. Karna percuma aku memanggil kakak, toh kakak tidak mungkin memalingkan kepala kearahku. Setelah sadar ada kertas di sampingnya, kakak langsung mengambil kertas itu dan menengok kearahku dan tersenyum. Setelah cukup lama, kakak kembali menengok kearahku dan menyodorkan sebuah kertas tepat disampingnya. Kemudian aku mengambil kertas itu dan mulai membaca tulisan kakak.

Ini tulisanku pada kakak,

Kak, kenapa kakak selalu tersenyum di tengah-tengah penderitaan kakak? Kenapa kakak selalu tegar padahal penyakit kakak selalu mengganggu saat kakak tidur? Kenapa kakak nggak pernah meneteskan air mata disaat penyakit itu datang kak? Kak, menangislah walau hanya setetes air mata. Kakak nggak bisa selalu tersenyum. Kakak pasti sebenernya sedih kan? Terbukalah padaku, kak. Jangan kakak tutupi kesedihan yang mengganjal dihati kakak. Keluarkanlah semua amarah kakak. Aku mau menerima semua amarah kakak itu. Aku akan menemani kakak.

Tulisan kakak padaku,

Tersenyum, hanya itu yang bisa kakak lakukan sekarang ini. kakak ingin sekali menangis, tapi kakak yakin itu hanya akan membuat keluarga ini tambah sedih. Tersenyum, kakak akan selalu melakukan itu selagi kakak bisa melakukannya. Karna nanti jika kakak sudah ada di alam yang berbeda dengan kamu dan keluarga ini, kakak yakin sudah tidak bisa lagi tersenyum dihadapan kalian semua. Tegar, itu juga hal yang akan kakak terus lakukan. Hanya dengan ketegaran, kakak bisa menahan tangisan kakak ini. untuk saat ini, kakak nggak mau ninggalin kalian semua. Jani, kamu jangan selalu memandang sedih pada kakak ya? Tersenyumlah pada saat kakak melihat kamu. Karna melihat senyuman kamu itu, bisa membuat kakak selalu tegar dan kuat untuk menghadapi dan melawan penyakit yang menyakitkan ini. percaya pada kakak, kamu pasti bisa melihat kakak yang seperti dulu lagi. Jangan nangis lagi ya, jani? Janji sama kakak ya? Smile :)

Setelah membaca tulisan kakak yang tidak bagus seperti dulu itu, aku meneteskan air mata lagi. Dulu aku iri saat setiap melihat buku catatan pelajaran kakak. Aku iri dengan tulisan bagus kakak. Tapi saat ini, tulisan kakak sudah tidak sebagus dulu. Banyak tulisan yang bergemetar. Aku yakin kakak menulisnya dengan susah payah. Kemudian aku menghampiri kakak dan memeluknya. Kemudian aku tersenyum di tengah tangisanku. Kakak mengelap air mataku dan tersenyum padaku juga. Ketegaran kakak, sepertinya kakak sungguh-sungguh akan hal itu.

Setelah hampir lima bulan, kakak hidup dengan penderitaan. Malam itu adalah puncaknya kakak mengeluh akan penyakitnya. Kakak sama sekali tidak bisa tidur. Dia terus berteriak tanpa bersuara. Saat akan dikeluarkan suaranya, dia selalu bersusah payah mengeluarkan suaranya. Dia memegang kepala dengan kuat-kuat. Saat itu juga, kakak seperti sulit bernafas. Lagi-lagi aku tidak bisa melihat kakak. Tapi, disaat seperti ini, harusnya aku disamping kakak. Menyemangatinya walau hanya dengan sebuah senyuman. Kuurungkan niatku untuk meninggalkan kamar. aku duduk di samping kakak yang terbaring tidak karuan. Ku genggam tangannya dengan erat. Setiap kakak melihat kearahku, saat itu juga aku berhenti menangis dan tersenyum padanya walau ini sangat terpaksa sekali. Kakak juga masih bisa tersenyum padaku sambil menahan sakitnya yang dirasakan kakak. Dia juga menggenggam tanganku dengan erat. Aku benar-benar tidak sanggup melihat kakak seperti ini. akhirnya malam itu juga kami semua membawa kakak ke rumah sakit. Ke tempat dimana kakak tidak pernah mau berada. Tapi takdir berkata kalau kakak harus ada di tempat yang paling kakak benci itu.

Hari demi hari berganti. Semenjak kakak di rumah sakit, kakak belum juga membuka kedua matanya. Senyum yang selalu aku lihat setiap harinya itu, tiba-tiba saja pudar seketika. Selang-selang rumah sakit, menghiasi tubuh kakak saat itu. Karena terus menjalani kemo terapi, rambut indah hitam kakak semakin berkurang. Rambut yang dahulu sangat aku inginkan itu, semakin lama semakin berkurang. Rambut kakak juga sudah tidak seindah dulu. Wajah cantik kakak, entah kenapa wajah itu semakin hari semakin membengkak. Aku terus duduk disamping ranjang kakak terbaring. Berharap akulah orang pertama yang bisa melihat kedua mata itu membuka dan melihat senyuman kakak yang selama beberapa hari ini tersembunyi di balik bibirnya yang pasti juga terasa sakit itu. Setelah hampir tiga minggu koma, akhirnya kakak kembali membuka matanya. Mata yang terlihat berbinar-binar itu kembali bisa aku lihat. Suara tangis mama, menghiasi kamar kakak saat itu. Kali ini, kakak hanya bisa terbaring di ranjangnya tanpa bisa melakukan apapun.

Suatu hari, aku menjenguk kakak di rumah sakit sepulang sekolah. Melihat kakak menderita, aku sangat ingin sekali menangis. dengan sangat terpaksa, aku menahan air mata yang akan keluar dari mataku. Kemudian kakak mengelus rambutku dan tersenyum padaku. Kakak benar-benar terlihat tegar saat itu. Aku yakin dia pasti ingin sekali mengatakan sesuatu padaku, tapi, dia tidak bisa mengatakannya. Dia selalu membuka mulut dan berusaha mengucapkan sesuatu, tapi dia selalu menutup kembali mulutnya itu. Aku memegang wajah kakak yang bengkak setiap harinya itu. Kemudian aku tersenyum sambil menganggukkan kepala. Setelah 15 hari kakak bertahan untuk membuka matanya, akhirnya kakak kembali menutup matanya dan koma. Dan akhirnya, kakak benar-benar menutup kedua matanya dan tidak akan pernah membukanya lagi. Aku tidak akan pernah bisa melihat mata indah kakak lagi. Tidak akan pernah bisa memerhatikan senyuman indah kakak lagi. Lebih baik begini daripada kakak harus menahan rasa sakitnya terus-menerus. Kami semua sudah ikhlas dengan kepergian kakak untuk selama-lamanya. Penderitaan kakak cukup sampai disini. Ketegaran kakak untuk tetap hidup dan melihat keluarganya, hanya cukup sampai disini. Mungkin dengan ini, kakak akan tenang dan tidak akan merasakan penderitaan itu lagi.

Setelah mengantar kakak ke tempat peristirahatan terakhirnya, aku masuk ke kamar kakak. Kulihat foto-foto saat kita berdua masih bisa berpelukan dan tersenyum juga tertawa bersama. Kulihat meja belajar kakak yang terlihat dingin karena tidak pernah kakak gunakan lagi selama berbulan-bulan ini. senyuman kakak, aku hanya bisa melihatnya di foto-fotonya dulu. Kakak.. kenapa kakak harus tinggalin aku? Kak, kakak bilang aku akan melihat kakak yang dulu lagi. Kenapa kakak pergi begitu cepat? Sekarang aku sendiri disini, kak. Sekarang aku udah nggak bisa belajar bareng kakak lagi. Semua yang akan kulakukan di rumah ini, hanya sendiri. Tanpa ada kakak di sampingku. Setelah lama melihat foto-foto kakak, aku duduk di kursi meja belajar kakak dan mulai membuka buku-buku kakak yang kaku. Tiba-tiba sebuah surat terjatuh saat aku membuka salah satu lembaran buku kakak. Kuambil surat itu dan kubaca.

Selalu menyinari bumi walaupun kita tidak bisa meraihnya. Selalu berada diatas kepala kita setiap harinya. Walau kadang kita tidak menganggapnya ada, tapi dia idak pernah lepas menjalankan tugasnya untuk menyinari bumi. Ya, itulah matahari. Matahari.. aku ingin sekali menjadi matahari. Walaupun nanti aku akan pergi, aku masih mampu melindungi keluargaku. Walau nanti aku akan pergi, aku masih bisa melihat senyum dan tawa keluargaku. Sekuat apapun aku bertahan, aku yakin aku akan lelah. Aku yakin aku tidak akan bisa bertahan terlalu lama. Semua kenangan yang menyangkut diriku, aku ingin sekali mereka semua bisa melupakannya dengan cepat. Aku tidak mau membuat mereka ikut menderita. Cukup aku saja yang menderita. Mereka semua harus tersenyum apapun caranya. Bahkan, disaat terakhirku nanti, aku mau melihat senyuman mereka semua Tuhan.. karna hal itulah yang membuat aku kuat melangkah maju untuk hidup di kehidupan kedua nanti.

Jani, dialah adikku yang sangat aku sayangi. Jangan biarkan dia terlalu lama terlarut dalam kesedihan yang harusnya diakhiri dengan cepat ini Tuhan.. setelah waktunya tiba, biarkan aku menutup mata dengan bahagian dan sambil tersenyum menuju tempat terakhirku. Memang berat meninggalkannya tapi, ini sudah takdirku. Jika Engkau membuat senyum keluargaku, aku tersenyum Tuhan.. aku sayang mereka semua... :)
*****

Jakarta, 19 Januari 2012
*19 Januari, tepat disaat kakak berulang tahun dan saat seminggu kakak menderita penyakitnya yang mematikan. Kak, aku akan selalu tersenyum untukmu. :)

Thursday, 28 June 2012

Cerpen Rindu: Sometimes and Always

Sometimes and Always
oleh: Wulanai
Sudah hampir berjam-jam aku duduk diatas pohon besar di halaman belakang rumahku. Tidak jelas pohon apa ini. Yang jelas pohon ini ukurannya besar dan sudah ada sejak pertama kali aku tinggal dirumah ini. aku memainkan harmonika pemberian nenek kemarin asal-asalan. Soalnya aku tidak tau cara memainkkanya. Dan aku heran kenapa nenek memberikannya pada ku.


''Rey! ayo turun! Disuruh sama ibumu! Soalnya udah sore!''
Aku menengok kebawah. Oh ternyata Sarah. Sepupuku yang setiap liburan musim panas, pasti akan berkunjung kemari. Dia pergi kemari bersama ibunya.
''hah??'' ucapku pura2 tak dengar. ''turuuuuunn!!'' teriaknnya terdengar kesal. Aku terkikik geli. ''aku tidak bisa mendengarmu, sarah! Suara mu kecil sekali!''
''Turunnnnnnn!! kamu tuli ya?!''
''hah? Guruuunn??''
''Rey!!!''
''hahahaha iya iya'' aku turun dari pohon sambil tertawa-tawa. Saat kakiku sudah menginjak tanah, Sarah mencubit lenganku kuat. Aku berteriak kesakitan. ''Rasain!'' ucapnya jutek.
''aku tuh capek tau manggil kamu, teriak-teriak kaya orang gila, tapi kamu malah pura2 ga dengar!''. Sarah ngerocos.
''Terussss????'' ucapku gak peduli sambil berjalan memasuki rumah. Sarah mendengus kesal lalu ia mengekorku dibelakang.
Dan tiba-tiba saja ide busukku kembali muncul. Aku mempercepat langkahku ke arah pintu belakang. Dan setelah sampai diambang pintu, aku malambaikan tanganku ke arah Sarah. kemudian aku menutup pintunya, lalu menguncinya.
''REEEYYY!!''
aku tersenyum penuh kemenangan.

****
Rey sialan. Aku terpaksa masuk kedalam melewati pintu depan. Kenapa sih dia selalu saja menjahiliku setiap aku datang kemari. Tingkahnya Tidak pernah berubah. Masih saja kaya anak kecil padahal umurnya kan sudah 16 tahun.

Saat aku masuk kedalam rumah, aku melihat dia sedang merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil memejamkan matanya. Karena masih kesal, aku mendatanginya diam-diam lalu menjewer telinganya.
tapi belum sempat aku menjewer telinganya, dia sudah menepis tanganku duluan.

''walaupun mataku tertutup, aku bisa membaca gerak gerikmu'' ucapnya sambil tersenyum sinis. Bagaimana dia bisa tau? Aku benar2 kesal dibuatnya. lalu akupun ikut2 merebahkan tubuhku disebelahnya. ''kau menyebalkan!''

Dia terkekeh geli. ''kau mengesankan. Mengesankan untuk dijahili..'' aku mencubit perutnya lalu beranjak pergi kedalam kamar. Meninggalkan si anak menyebalkan itu mengumpat-ngumpat kesakitan sendirian.

****
Keesokan paginya, aku terbangun karena Sarah menyiramiku dengan air. Aku kaget dan langsung marah-marah karena kesal. katanya Sarah lelah membangunkanku tapi aku tidak bangun-bangun.
''ngapain sih dibangunin?!'' tanyaku kesal
''ibu kamu suruh!''
''ibu kamu suruh''aku membeo.''selalu saja begitu! Kenapa coba mesti pake air?! Liat, kasurnya jadi ikutan basah, kan?''
''aku udah-
''ah terserah. Keluar aja deh kamu!''
Aku mengusirnya. Lalu Sarahpun keluar dari kamarku diakhir dengan bantingan pintu yg cukup keras. Aku menutup mukaku dengan bantal.

Selesai mandi, aku keluar dari kamar berjalan menuju ruang makan. Tidak ada siapa-siapa disana. Bahkan diseluruh penjuru rumah ini pun tidak ada orang. Yang ada hanya kucing persiaanya ibu sedang tergolek malas di atas sofa ruang tengah.
Tidak tahu mau ngapain, aku pun pergi kehalaman belakang rumah. Memanjat pohon besar kesayangnku, dan duduk diatas dahannya yang kokoh.
Tapi saat hampir saja aku ingin duduk didahannya, aku terkejut melihat sarah ada disana.
''heh! Ngapain kamu disini?''. Sarah menoleh. ''eh ng... aku penasaran kenapa kamu suka duduk disini. Makanya aku coba manjat, Dan ternyata menyenangkan ya!'' ucapnya kaku.
lalu aku naik, dan duduk disebelahnya.
''maaf ya yang tadi pagi...''
Aku melihat kearahnya. Wajahnya tertunduk dalam. ''soalnya kamu gak bangun-bangun sih...'' lanjutnya sambil sesekali melirikku. Aku tidak bicara. Hanya diam memandanginya saja.
Sarah salah tingkah.
''ngomong dong Rey.. Jangan diliatin aja''ucapnya terdengar seperti bisikan diakhir kalimat. Aku terkekeh. Lucu sekali. Baiklah, kali ini aku berniat untuk menggodanya.
Aku menggeser tubuhku agar lebih dekat dengannya.
''baik..aku memaafkanmu.. Tapi sebagai gantinya, aku meminta sebuah.......ciuman''
Aku mendekatkan wajahku kearahnya. Sepertinya dia kaget setengah mati. Wajanya memerah seketika. semakin dekat dekat dan semakin dekat. Sarah makin salah tingkah. Mau menghindarpun kepalanya sudah mentok di batang pohon. Sebisa mungkin aku menahan agar aku tidak tertawa. Dan akhirnya saat benar2 sudah terlalu dekat.......................................fuh! Aku meniup wajahnya. Lalu menjauhkan diriku dan tertawa terbahak bahak. Mulut Sarah menganga lebar. ''kena kau! Ha ha ha''

****
Aku malu setengah mati. Aku kira dia benar-benar akan menciumku. aku mengumpat pelan dan menutup wajahku dengan kedua tangan.
''sudah jangan malu begitu...hahaha'' Katanya masih tertawa-tawa. Aku merasakan tangannya mengacak-ngacak rambutku. Langsung saja ku menepisnya.
''kau benar2 menyebalkan!!''aku berteriak kesal lalu memuku-mukul lengannya sekuat yang aku bisa. Entah kenapa aku kesal sekali dengannya.
Aku kesal karena dia menjahiliku sampai sebegitunya. Aku sampai ingin meanangis rasanya.
''sudah!'' Rey berhasil menahan tanganku. ''Sakit tau! Mukulnya kira-kira dong''
aku memasang muka jutek. Lalu berusaha menarik tanganku yang ditahan olehnya. Tapi dia menahannya terlalu erat.
''kayanya marah banget. Minta dicium beneran nih?'' Rey tersenyum jahil, sambil menaikkan kedua alisnya. pertanyaan yang berhasil bikin jantungku serasa mau copot.
''a..a..apa?!'' ucapku terbata-bata. ''eng...engak!''
''hayoo ngaku...''. Rey terkikik geli.
''Enggak kok!''
''Bener.....'' Rey medekatkan wajahnya lagi ke arahku. Aku gelagapan. ''R...rey...''
Rey semakin mendekatkan wajahnya ke arah ku. Aku bahkan bisa merasakan hembusan nafasnya. Semakin dekat dan semakin dekat. Aku memejamkan mataku erat2. Kenapa aku tidak menolakanya? Aku tidak tau! Lalu.....................cup. Rey mencium...keningku?
Aku membuka mataku dan melihat Rey yang jarak wajahnya sangat dekat denganku, dia tersenyum manis sekali. ''Selesai... Jangan marah lagi yaa...'' katanya sambil melepaskan tanganku yang sedari tadi digenggamnya. Lalu bergegas turun meninggalkanku sendirian disini.

****
Sejak kejadian itu, setiap saat aku jadi memikirkannya. Terkadang aku bahkan sampai tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila. Terkadang aku juga suka mencuri-curi pandang ke arah Rey. Dan merasa sangat membosankan jika Rey sedang tidak ada di rumah.

Dan.... Sejak kejadian itu Rey berubah. Rey tidak suka menjahiliku lagi. Rey jadi sering tidak ada dirumah. Jika berpas-pasan denganku dia hanya sekedar menyapaku dengan wajah sok cerianya itu. Dia tidak mengajakku berbicara. hari berganti hari Rey tidak kunjung berubah seperti dulu. Aku mulai merindukannya. Merindukkan kejahilannya. Aku tidak tahu kenapa aku merindukannya. Kenapa aku lebih memilih dia menjahiliku dari pada tidak peduli denganku. Padahal dulu-nya aku sangat ingin dia berhenti mengangguku setiap aku pergi berlibur kemari. Besok aku akan pulang. Soalnya liburan musim panas akan berakhir. Dan kami akan kembali masuk sekolah. Untuk pertama kalinya aku merasakan musim panas kali ini terlalu singkat.

***
Aku menarik koperku berjalan keluar rumah. Berjalan mendekati ibuku, ibu Rey dan Rey yang sudah menungguku dari tadi didepan gerbang.

''baiklah... Taksi yang akan mengantarkan kita ke stasiun kereta sudah sampai... Kami pamit dulu ya'' ucap ibuku sambil berpelukan dengan ibunya Rey. Lalu ibuku memeluk Rey. Dan aku memeluk ibunya Rey. Setelah itu, ibuku berjalan masuk kedalam taksi. Dan sekarang aku sedang berhadap-hadapan dengan Rey. Rey memelukku. Aku membalasnya. Tapi terlalu singkat. Soalnya Rey langsung melepaskannya. ''sampai jumpa diliburan musim panas berikutnya'' katanya lembut. Aku tersenyum tipis. Lalu merogoh saku celanaku dan memberikannya selembar kertas yang terlipat dua. Rey menerimanya ragu-ragu dan akupun beranjak masuk kedalam taksi. Setelah taksi berjalan pergi, sampai aku didalam kereta api dan sampai aku kembali kerumahku, yang aku fikirkan nya bagaimana reaksi Rey ketika ia sudah membaca surat itu?

***
''aku pulang!!''. Aku mengusap-usap kedua telapak tanganku karena kedinginan. Musim Dingin kali ini serasa lebih dingin dari pada musim dingin sebelumnya.
aku berjalan menuju ruang tengah dan mendapati.......
''Rey???''
''hai sayang, kau sudah pulang? Lihat siapa yg datang, Rey berkunjung kerumah kita'' ucap ibu senang. ''tapi sayang ibunya tidak bisa datang''
''oh baiklah, karena kau sudah pulang, kau saja yang menemani Rey. ibu mau pergi soalnya ada arisan. Ibu pergi dulu ya..''
Lalu ibuku pergi meninggalkan aku dan Rey dalam keheningan. Lama aku hanya berdiri, akhirnya aku memutuskan untuk duduk dihadapannya. ''hai'' sapaku canggung. Dia tersenyum
''Well, aku udah baca suratnya.. Maaf, dan teruma kasih..''ucapnya. Dan aku tidak mengerti.
''oh begitu... Apa kabar?''ucapku mengalihkan pembicaraan.
''tidak terlalu baik. kamu?''
''kenapa? Aku baik''
Lama rey hanya diam. Lalu dia berkata pelan ''karena kau tidak ada dirumah..''
''apa?''
''karena kau...ng...aku merindukanmu..'' mendengar itu Aku hampir saja mati kena serangan jatung.
''kau sedang bercanda kan? aku tau itu. Itu kebiasaanmu'' kataku pura-pura tenang.
''kali ini aku serius!''
''lalu kenapa....''
''karena waktu itu aku sedang kacau. Sejak kejadian itu, Aneh rasanya jika aku dekat2 denganmu..''
''aneh?''
''ya..''
Lalu kehingan kembali menghantui kami. Lama sekali.
Tiba2 saja Rey, menggenggam tanganku. Aku menatap kearahnya kaget.
''I love you Sarah. I keep asking my self why it has to be you. it needs a long time to know that you the most beautiful thing in my life''
''maaf kalo kamarin-kemarin aku hanya diam gak ngomong apa-apa sama kamu. Itu karena aku cuman terlalu takut..''
aku merasa mataku mulai terasa panas.
''kamu gak lagi becanda kan?'' ucpku hampir manangis sangking senangnya.
Rey tertawa. Lalu menggeleng mantap. bangkit dari duduknya. Berjalan ke arahku dan memelukku erat.
''I love you too'' ucapku didalam pelukannya.
''haha aku tau.. kan kamu udah tulis di surat..''
Aku mempererat pelukanku. Menghirup aroma rey dalam-dalam. Melepas kerinduan yang Sudah terpendam lama. Kau dan aku selamanya...

The END


Nama : Wulanai
Alamat email : wulanai62@yahoo.com
Twitter : @itsKugySyid

Wednesday, 27 June 2012

Cerpen Romantis Sedih - Gabriel: Mencintaimu Cukup Bagiku

Gabriel: Mencintaimu Cukup Bagiku
Cerpen Romantis Sedih
oleh Nurul A. Erviningrum
Biarkan aku menatap lirih
Setiap keping kenanganku yang telah retak
Biarkan aku tetap mendengar
Bisu kata dari semua yang pernah terucap
Izinkan aku kembali melangkah
Sebelum lembar masa lalu berhasil menjamah
Akanku hirup udara yang menyesakkan
Walau nyata, tak dapat ku genggam angin
Sempatkan aku untuk tertunduk
Menyentuh kembali sakit yang terindah

“Gabriel.. ayo!!.”

Waktunya tiba, perempuan paruh baya itu sudah memanggilku. Aku tak punya alasan lagi untuk berkata ‘tidak’.

Kupandangi pintu lobi itu, entah untuk yang keberapa kali. Disana ada seorang penjaga, masih dengan kesibukan yang sama.

Perempuan paruh baya yang memanggilku tadi – yang tak lain adalah ibuku- ia mengecek barang-barang. Ia menenteng satu koper besar, bersiap menggeretnya.

“iel, kamu bawa yang ini!!.” Perintahnya. Ia menyisakan sebuah tas besar penuh isi. Aku tak tahu apa isinya. Bukankah sejak awal aku tak tahu barang apa saja yang kami bawa. Mm.. bukan kami, dia tepatnya. Ibuku. Aku tak sedikitpun andil dalam mengemasi barang-barang, karena sejak awal pula, aku enggan pergi. Aku meraih tas besar yang dimaksud sebelum ibuku berteriak lagi. Suara yang berusaha keras untuk kuabaikan.
Sudah kubilang padanya tak perlu membawa barang banyak-banyak. Tapi tetap saja, ia yang menang, apalagi alasan yang sungguh masuk akal. Kami akan pergi dan takkan kembali. Jadi wajar bukan jika membawa seluruh barang yang ada. Bagiku tetap saja berlebihan.

“jangan sampai ada yang tertinggal!! Itu, koper kecil itu dibawa sekalian yel!. Isinya surat-surat sekolah kamu.” Ujarnya lagi.

“ayoo!.” Ia sudah melangkah lebih dulu.

Sekali lagi, aku menatap pintu lobi, berharap disana ada seorang gadis berdebat dengan petugas penjaga karena memaksa masuk seperti di film-film.

Tapi mataku tak melihat apa-apa. Aku bahkan bisa menyebut tak melihat siapapun. Karna tak ada yang ingin kulihat saat ini kecuali gadis itu.

“Gabriel….” Erang ibuku. Ia sudah berjarak 7 meter dariku. Aku bisa melihatnya kesal. Bisa saja ia kembali kesini dan menjewer salah satu telingaku agar aku ikut berjalan dengannya. Tapi ia tak mungkin melakukan itu, umurku 18 tahun. Apalagi kami sedang di bandara. Dan satu lagi kenapa ia tidak akan meluapkan kekesalannya dalam bentuk lain, karna toh aku sudah mau ikut pergi. Pergi meninggalkan kota ini. Negara ini dan gadis itu. Gadis yang bukan gadisku.

Aku mengecek sekitaran tempat duduk. Sebenarnya aku juga tidak begitu peduli kalaupun ada yang tertinggal. Aku hanya sedang tidak ingin menambah situasi menjadi rumit.

“gabriel, ayo! Nanti kita ketinggalan pesawat.” Ocehnya lagi.

Aku menatapnya pasrah. Tak tega juga terus-terusan membuatnya mengomel begitu.

Okkey,, aku pergi. Selamat bu, karena sekarang aku berada penuh dalam kendalimu.

Aku melangkahkan kaki menuju dimana ibuku berdiri namun belum sempat aku sampai padanya, ia sudah berjalan lagi. Sepertinya ia tak tahan lagi menunggu langkahku. Yang penting dalam penglihatannya aku sudah mau berjalan. Langkahku terasa berat. Ada rantai dengan bola besi yang mengikat kakiku. Dan benda-benda itu tak kasat mata.

Melihat reaksinya, aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Kepalaku tertunduk seolah merasakan aku telah kalah. Membuat ubin-ubin penyusun lantai ruangan ini terlihat jelas oleh mataku.

Aku juga bisa menangkap kedua tanganku yang menenteng tas besar disebelah kanan serta koper berukuran sedang disebelah kiri. Pearasaan malasku semakin muncul, rasanya ingin sekali aku berbalik arah kemudian berlari kencang, melempar dua benda ditanganku ini tanpa memperdulikannya dan kabur dari tempat ini. Tapi tidak, aku tak melakukannya. Jika setahun bahkan seminggu yang lalu aku masih punya alasan untuk menolak ajakannya bahkan sekedar menunda bersekolah di pert dan berkumpul lagi dengan ayahku, sekarang aku tidak punya alasan lagi untuk melakukannya. Bahkan semua telah berbalik, mungkin sebaiknya memang aku pergi. Aku ingin pergi. Hmm,.. bukan aku tak ingin, tapi aku harus. Akhh.. entahlah aku sudah tak tahu lagi.

“Gabriel.” Teriak seorang wanita lagi, cukup samar. Tapi aku tahu itu suara wanita.

Aku hampir mengumpat tertahan. Kukira itu ibuku. Tapi sedetik kemudian aku tersadar, itu bukan suara ibuku. Aku mendongak, didepan sana kudapati ibuku masih berjalan, tampaknya ia tak mendengar ada yang menyebut namaku, atau bahkan memanggilku dengan sengaja.

“Gabriel.”

Lagi. Suara itu?

Aku menoleh cepat. Belum sempat aku melempar pandangan, seseorang menubruk tubuhku dan melingkarkan kedua tangannya, memelukku erat. Aku hampir saja jatuh kebelakang, tapi tubuh orang ini tidak cukup untuk merobohkan pertahananku.

Mataku bertemu pada dua buah kornea hitam didepan sana. Ia menatapku tajam, gerahamnya yang kuat seolah berperang dengan kendalinya sendiri. Detik berikutnya matanya berkedip, tatapannya berubah tak setajam tadi. Nafasnya berhembus kasar. Pria itu berdiri seolah memberi jarak. Tentu saja ia menunggu disana dihadapanku dan seseorang yang memelukku ini sekitar 5 meter. Ia membiarkan lalu lalang orang menghalangi pandangannya.

Dengan menghiraukan tatapan pria itu, aku membalas pelukannya. Membiarkan rinduku bersemayam detik ini, dan aku berharap waktu berhenti sekarang juga.

Siapapun, hentikan waktu sekarang juga!!!

Ia membenamkan wajahnya didadaku dan aku membenamkan wajahku dilehernya. Posturku yang lebih tinggi membuatku memaksakan ini. Tak apa. Yang penting aku sangat nyaman.

Biarkan saja orang-orang melihatku dengan tatapan aneh termasuk pria itu. Biarkan saja, ibuku mengomel lagi karna aku tak kunjung menyusulnya. Biarkan saja detak jantungku beradu dengan aliran darahku yang deras. Biarkan saja keringatku mengucur karna rasa gugupku yang terlalu hebat. Dan kumohon biarkan saja, gadis ini tetap memelukku seperti ini.
***


“vi, buruaann!!!.” Teriakku didepan gerbang rumah.

“iya..” jawabnya.

Sivia masih sibuk mengikat tali sepatunya diteras rumah. Sedangkan aku sudah gelisah menunggunya sambil sesekali melirik kearah matahari.

Aku memang tidak suka memakai jam tangan dan dengan melihat bagaimana cahaya matahari saja aku sudah tahu jam berapa sekarang. Sivia berlari keluar gerbang rumahnya yang berjarak 3 langkah saja dari tempatku berdiri. Rumah kami memang bersebelahan tanpa penghalang apapun. Kecuali tembok tentunya.

“ayook!!.” Aku menggamit lengannya.

Kami mengambil langkah lebar menuju halte depan gapura kompleks. Aku masih menggandeng sivia, gadis ini akan semakin tertinggal kalau kulepaskan.

“aduh iyel, kaki kamu panjang banget sih? Aku jadi lari-lari nih.” Eluh sivia. Ia tertinggal satu langkah dariku.

“kalo ga gini nanti kita ketinggalan bis yang biasanya. Nah itu dia bisnya.” Ucapku.


Aku melihat bis itu berhenti di halte. Beberapa anak berseragam smp maupun sma naik, dua orang berseragam rapi akan ke kantor juga ikut naik. Bis itu nampak akan segera berangkat lagi. Sialnya kami belum sampai di gapura apalagi menyebrang ke halte itu.


“ ayo vi!.” Ajakku.

Kini kami tidak berjalan lagi. Aku berlari dan sivia, ia semakin berlari ketika menyadari bis itu akan segera meninggalkan kami.


“tunggu paakk!!.” Teriakku keras.

Aku berharap sopir itu mendengarnya. Atau kalau tidak, kondekturnya, atau beberapa penumpanglah minimal.

“pak stop pak.” Teriak sivia kali ini.kami masih berlari mengejar bis itu yang mulai berjalan lagi. Sivia dan aku sudah berhasil menyebrang, sayangnya bis itu sudah berjalan ketika kami sampai di halte.

Aku menambah kecepatan berlari, tanpa sadar tanganku masih menggandeng sivia. Gadis itu bersusah payah mengikuti kecepatan lariku. Cara berlarinya membuatnya mulai kehilangan keseimbangan.

Buuggg..

Tanganku tertarik kebawah. Aku hampir saja terjatuh karena itu. Ketika aku menoleh, sivia sudah tersungkur dijalan aspal.

“sivia..” pekikku menyadari gadis ini terjatuh.

Posisinya parah sekali untuk dilihat. Apalagi sebelah tangannya yang masih kugenggam membuatnya tak bisa menahan tubuhnya agar tak terbentur aspal.

“aduuhh..” erangnya. Ia duduk diatas aspal yang membuatnya mengerang kesakitan. Lutunya ditekuk, menampakkan sebuah luka lebar menganga disana. Mataku membelalak, darah merah mulai mengalir dari lukanya.

“sakit yel.” Lanjutnya

Aku ikut berjongkok didepannya, awalnya aku bingung harus melakukan apa kecuali, aku membuka resleting tas ranselku. Syukurlah, ada sapu tanganku didalamnya.

“pake ini dulu yah, nanti disekolah aku obatin.” Ucapku meyakinkan.

Sivia mengangguk. Kubalutkan sapu tangan putihku di lututnya. Bercak merah mulai tampak disapu tanganku itu.

“hey.. jadi naek nggak???” teriak seseorang dibalik punggungku. Aku menoleh kaget.

Seorang kondektur berdiri disamping pintu belakang bis yang sedang berhenti. Seorang pria berseragam sekolah berjalan menghampiri.

“jadi pak, tunggu sebentar.” Ucap pria itu sambil terus berjalan kearah kami.

“iel?.” Ucapnya.

“Alvin?.” Ucapku.

“kalian gak pa-pa kan?” tanyanya kemudian setelah menyadari posisi kami yang terduduk dijalanan aspal.

“ayok, keburu bisnya gak mau nunggu.” Ucapnya lagi.

Aku menoleh pada sivia, ia masih meringis kesakitan. Aku bisa melihat sebenarnya ia hampir menangis. Tapi tak jadi, mungkin karna ada orang lain disini sekarang.

“masih bisa kan vi?.” Tanya ku

Sivia mengangguk pasrah. Aku membantunya berdiri dan memapahnya menuju bis yang sopirnya sudah menekan klakson berkali-kali serta beberapa penumpang yang menunggu kami tak sabar.

Bis ini cukup penuh, sudah tak ada tempat duduk yang tersisa. Bahkan sudah ada beberapa orang yang berdiri saat kami naik. Aku menatap sivia prihatin, peluh keluar dari dahi serta bagian kulit wajahnya yang halus. Sementara kakinya, ia pasti sangat kesakitan jika terus berdiri. Bagaimana mungkin aku tega melihatnya begini?

Tiba-tiba alvin melepas ransel dari punggungnya lalu meletakkannya dilantai bis. Ia menepuk-nepuk ranselnya lalu memandang kearah sivia. Ia berjongkok didepan kami. Keningku mengerut melihatnya.
Kami masih berada didekat pintu belakang. Sivia tak sanggup berjalan lagi untuk sekedar masuk ketengah-tengah bis.

“duduk disini, isinya cuma buku aja kok.” Ucapnya yakin sedikit mendongak. Aku melongo cukup kaget atas perilakunya. Aku bahkan tak sampai berfikiran seperti itu. sivia menoleh kearahku ragu, aku mau tak mau mengangguk. Aku tak ingin membiarkannya semakin tersiksa dengan berdiri dalam keadaan lutut yang luka.

Aku sempat merutuki diriku sendiri kenapa tak bisa berfikir sekreatif alvin. Tapi sudahlah yang terpenting sivia bisa duduk sekarang yah meskipun akan terlihat seperti dilantai bis. Aku berjongkok disampingnya.

Hampir semua pandangan penumpang mengarah pada kami bertiga.

“thanks ya vin.” Ucapku. Alvin mengangguk saja menimpali.

“oh ya vi, kenalin ini alvin temen smpku dulu.” Ucapku. Sivia memandang alvin lama, alvin menunjukkan senyumnya.

“alvin.” Ucap temanku itu sambil menyodorkan telapaknya.

“sivia.” Ucap gadis ini menyambut jabatan tangan alvin.

“makasih ya.” Tambah sivia.

Alvin mengangguk seraya tersenyum lagi. Jabatan tangan itu masih terjadi. Entah kenapa tiba-tiba saja hatiku terasa sangat perih. Aku seperti merasa akan kehilangan.

Sejak pertemuan di bis itu, sivia dan alvin semakin dekat. Awalnya aku tak mempermasalahkan hal itu. Aku cukup tau Alvin. Tiga tahun aku duduk sebangku dengan pria itu. Ia pria yang baik. Tapi aku sadar kedekatan mereka lebih. Bahkan hingga hari ketujuh setelah perkenalan mereka, aku tak tahu sedekat apalagi mereka. Aku sering melihat Alvin datang kemari, kerumah sebelah, tepatnya rumah sivia. Aku juga sempat melihat Alvin mengantar sivia pulang kemarin.

Sivia mulai agak menjauh dariku. Mm..bukan. tapi jarak kami yang sedikit mulai menjauh. Aku memang masih berangkat bersamanya, tapi didalam bis, selalu sudah ada Alvin dan saat itulah aku seperti sulit untuk masuk dalam dunia sivia, dunia mereka. Keduanya sering tak sadar, aku berada didalam bis yang sama dengan mereka.

Entah sejak kapan alvin jadi suka naik bis, karna seingatku dulu ia tak suka naik transportasi umum. Mungkin hari itu kebetulan alvin terpaksa naik bus dan mulai hari itu pula ia selalu naik bus hingga kami selalu bertemu. Tepatnya sivia dan alvin selalu bertemu. Aku tahu aku sudah merasakan rasa yang tak wajar. Perasaan yang tak baik untuk tetap ada. Aku merasakan iri melihat kedekatan mereka, aku merasa sakit hati melihat mereka berdua mengobrol, bercanda, tertawa bahkan alvin pernah menolong sivia yang hampir jatuh dari pintu bis yang belum sepernuhnya berhenti.

Aku merasa posisiku dulu sudah tergantikan. Seperti saat ini, aku hendak mengajaknya pergi, dan kalian tahu sivia berkata apa? Gadis itu berkata...

“hey vi. Mm... aku ada tanding futsal nih, kamu nonton yah?. Emm masih sparring aja sih sebenernya, tapi kamu mau nonton kan?” tanyaku

Ia berpakaian cukup rapi. Semoga saja ini waktu yang tepat untuk mengajaknya pergi agar kedekatan kami yang sempat merenggang selama seminggu ini bisa kembali seperti dulu.

“mm… sorry yel, tapi aku ada janji mau nonton pertandingan basket Alvin. Kamu cuma sparring kan? Lain kali aja yah, kalo kamu tanding beneran aku bakal nonton kok. Ga pa-pa yah?.” Sivia menatapku tak enak hati.

Begitulah jawaban ia menolak ajakanku. Sesungguhnya aku lebih memilih dia berbohong saja daripada berkata jujur begini. Sakit sekali rasanya mendengar ia akan pergi menonton pertandingan basket Alvin, orang yang baru dikenalnya sekitar seminggu ini daripada pertandinganku sahabatnya sejak tiga tahun lalu.
“ngg.. yauda ga pa-apa kok.” Ucapku tak ikhlas.

Mungkin benar istilah orang-orang yg berkata
Dibalik “cie” ada kecemburuan
Dibalik “gpp” ada masalah
Dibalij “terserah” ada keinginan
Dan dibalik “yaudah” ada kekecewaan. Benar!! aku tengah kecewa sekarang.

“oke.. bye iyel.” Pamitnya

Aku memandang punggungnya bergerak melewati gerbang. Ternyata itu alasan ia berpakaian rapi sore ini. Dengan sadar aku berjalan kembali memasuki rumah.

“loh kenapa balik yel?.” Tanya ibuku.

“gak jadi pegi ma.” Ucapku malas.

Aku duduk disofa ruang tengah, melempar asal tas berisi perlengkapan futsalku.

“kok gitu, katanya mau tanding?.” Tanya beliau lagi.

“pertandingannya gak penting kok.” Ucapku berusaha santai.

Aku bisa melihat kening ibuku mengerut. Seolah berfikir aneh sekali dengan sikapku. Benar saja, aku tak pernah melewatkan satu latihanpun dari futsal, jadi bagaimana mungkin aku bisa dengan santai berkata ‘ pertandingan futsalku tidak penting’ itu sangat aneh menurut beliau pasti. Dan aku tidak memungkirinya.

“trus gimana yel sama tawaran mama tadi? Kamu ikut kan? Sebentar lagi kenaikan kelas loh yel.”

“aku uda bilang berapa kali sih sama mama. Aku gak mau pindah ke australia. Kalo mama mau pergi kesana ya kesana aja!. Iel ga apa-apa kok sendirian.” Jelasku.

Perasaanku semakin bertambah buruk saja sekarang.

“sendirian? Kamu pikir mama mau tinggalin kamu sendirian disini?.”

“mama gak percaya sama aku? Aku bakal baik-baik aja kok. Aku uda gede. Aku tau mana yang baik dan enggak. Lagian disini juga ada...”

“ada siapa? Sivia?” potong ibuku

Ia menatapku tajam. Aku membalas tatapannya enggan.

“sampe kapan kamu mau ngandelin dia? Minta bantuan dia apa-apa kalo mama gak ada? Memangnya dia gak kerepotan apa?.” Tanya ibuku bertubi-tubi.

Benarkah? Apa benar ucapan ibuku? Apa benar aku merepotkan sivia?

Selama ini aku selalu mengandalkannya memang. Ia memasakkan makanan untukku ketika ibu harus pulang malam bekerja. Ia membantuku mmembersihkan rumah yang berantakan ketika aku sibuk bermain futsal. Ia? Benar, mungkin aku memang terlalu merepotkan.

“iel ngerepotin sivia ya ma?” ucapku pelan.

Hari ini, aku tidak berangkat dengan sivia. Aku masih kepikiran ucapan mama, apa benar aku merepotkan gadis itu?.

Aku berangkat agak siang. Aku yakin sivia juga tak akan menungguku, toh didepan sana sudah ada alvin yang siap didalam bis langganan kami. Sudah ada pria yang menjaganya. Tapi apakah aku rela membiarkannya? Menggantikan posisiku menjaga sivia?. Aku bahkan memberinya ruang gerak pagi ini.
Tidak!!!. Pria itu, alvin, ia tak pernah tahu bagaimana aku menjaga gadis itu selama ini. Ia tak pernah tahu bagaimana aku jatuh bangun mengejar sivia. Dan satu hal yang harus dia tau, semua tak akan mudah. aku tidak akan melepas sivia. Aku tak akan melepaskan sivia demi apapun. Kecuali sivia yang memintanya. Gadis itu yang belum menjadi gadisku.

Aku beranjak dari sofa. Aku sudah selesai mengikat tali sepatu sejak tadi sebenarnya, tapi karna fikiran bodohku itu aku jadi melamun saja membiarkan waktu meninggalkanku sendiri tanpa sivia.

Hari ini, tepat dua bulan setelah kejadian dalam bis itu. Hari ini juga pembagian rapor kenaikan kelas. Aku sudah menerima raporku sejak tadi. Setelah itu, Aku menunggu kedatangan sivia ditaman sekolah. Ingin sekali kutunjukkan padanya bahwa raporku semester ini amatlah sangat membanggakan. Aku tak peduli jika ibuku menungguku dirumah, menanti bagaimana hasil belajarku selama ini. Yang terpenting sekarang adalah aku ingin menunjukkannya dulu pada sivia. Dia gadis pertama yang ingin kuberi tahu.

Dulu aku pernah berjanji pada diriku sendiri, aku akan menjadi yang terbaik dikelas. Dan ketika itu bisa terjadi, akan kuungkapkan perasaanku padanya. Akan kunyatakan rasa yang kumiliki ini. Akan kujelaskan betapa ia begitu berharga dalam hidupku. Dan inilah waktunya.

Menunggu sivia membuatku jadi gugup sendiri, jantungku berdegup kencang. Sekalipun aku sudah menghembuskan nafas menenangkan berkali-kali tetap saja tak berhasil. Aku gusar, menantinya dan menanti ucapanku sendiri.

Tak lama gadis itu datang, ia tersenyum. Senyum yang selalu kubayangkan kembali sebelum tertidur saat malam. Ia berjalan tenang, tapi bisa kulihat ia sangat senang sekali. mungkin ia mendapat nilai bagus atau kabar gembira yang lain. Semoga dengan pernyataanku nanti aku bisa menambah bahagianya hari ini.

“hay fy... aku mau ngomong sama kamu.” Ucapku mengawali.

Aku berusaha keras menyembunyikan rasa gugupku. Okeeh aku memang tidak berpengalaman, tapi kuharap aku bisa melakukannya.

“aku juga mau ngomong sama kamu yel.” Ucapnya sangat sumringah. Sungguh dengan mata terpejamkupun aku bisa melihat kebahagiaan terpancar dimatanya.

“oh yaudah kamu duluan deh yang ngomong. Ladies first.” Ucapku sok-sok’an. Sivia tertawa lebar.

“oke, yang pertama nilaiku diatas 85 semua yel. Yeee...” ucapnya semangat. Ia sempat melompat-lompat kegirangan.

“wahh... bagus tuh. Kayaknya aku bakal dapet traktiran deh.” Ucapku berbasa-basi. Ia berhenti melompat.

“eumm.. gak itu aja. Itu masih biasa kok. Mmm kamu tau gak...apa yang bikin aku lebih seneng?.”

Sivia menunjukkan ekspresi paling menggemaskan yang ia punya. Jantungku berdegup semakin cepat. Ya tuhan,, itulah salah satu alasan mengapa aku sangat merindukannya setiap detik. Aku menggeleng pelan.

“alvin nembak aku yel, kita udah jadian tadi pagi. Yee...” ucapnya girang lagi.

DEGG...
Hening. Bukan,, bukan karna sivia tak bersuara lagi, sivia masih lompat kegirangan. Tapi telingaku, telingaku seolah baru saja tersambar petir sehingga membuatnya tak bisa mendengar apapun lagi. Aku sudah tak bisa merasakan apapun lagi. Jantungku berhenti berdetak mungkin. Darahku berhenti mengalir. Nafasku tercekat ditenggorokan.

Mataku tak berkedip. Aku menatapnya nanar. Apa benar yang baru kudengar? Tuhan, silahkan ambil nyawaku sekarang.

“kamu kenapa yel?. Gak seneng yah?.” Ucap sivia sedih menyadari aku yang tak bereaksi apa-apa.

Aku menggeleng lemah. Aku masih bertahan dengan sisa nafas yang belum kuhembuskan sebelum sivia berucap tadi. Kubiarkan saja paru-paruku tak terisi oksigen. Biar, biar aku bisa merasakan sakit pada paru-paruku. Dengan begitu mungkin aku bisa menutupi rasa sakit pada hatiku.

“yel?. Kamu kenapa?. Rapot kamu baguskan?. Kamu naik kelas kan?.”

Aku mengangguk lemah. Sungguh, aku tak bermaksud untuk tak menjawab pertanyaannya. Tapi rasanya suaraku sudah diambil tuhan.

“beneran yel?. Ato Kamu sakit yah? Muka kamu kok tiba-tiba pucet?.”

Mataku menatapnya nanar lagi. Benarkah wajahku berubah pucat. Oh mungkin karna aku baru tersambar petir. Suaraku sudah diambil tuhan. Pendengaranku juga. Mungkin sebentar lagi nafasku. Jadi pantas saja kalau aku pucat.

“aku anter kamu pulang deh ya. Makan-makannya lain kali aja.” Ucapnya.

Kamu benar. Mana mungkin aku bisa makan. Bernafaspun aku sudah tak berniat. Aku mengurung diriku di kamar. Membenamkan wajahku pada tempat tidurku sendiri. Ibuku sempat panic melihatku yang pucat pasi. Setibanya tadi, ia langsung mengecek raporku, barangkali nilai disana yang membuatku begini. Andai aku bisa menjerit, bukan. Bukan itu.

Hari sudah malam, aku bisa melihatnya lewat kaca jendela kamar yang masih terbuka tirainya. Tadi sebelum aku tertidur, aku berifikir sesuatu. Sesuatu yang mungkin terbaik dan membiarkan aku jadi seorang pengecut. tapi aku leih baik jadi pengecut daripada mengusik kebahagiannya.

Aku turun menemui ibuku yang berada diruang tengah. Ia menyambutku hangat. Meski tak tahu apa yang sedang terjadi padaku.

“kamu makan ya nak. Mama ambilin.” Ucapnya.

“iel mau ngomong ma.”

Ibuku berhenti melangkah, mendengar nada suaraku yang serius. Beliau duduk kembali.

“apa?.”

“ma, iel bersedia sekolah di australi.” Ucapku parau. Aku menghembuskan nafas berat. Susah sekali aku mengucapkan itu.

“kenapa?.”

“mama gak perlu tahu alasannya. Yang penting iel mau.” Ucapku

“tapi?. Baiklah kalau begitu. Kapan?.” Wajahnya tak menegang lagi.

“besok? Bisa?.” Tanyaku tak yakin.

“secepat itu?.” Tanya ibuku tak percaya.

Aku mengangguk. Iya lebih cepat lebih baik. Toh aku sudah kalah, sudah saatnya aku pulang. Pulang tanpa dendam akan kekalahanku atau berniat merebut gadis itu. Aku tidak akan melakukannya. Melihat gadis itu tersenyum seperti tadi pagi, sudah cukup untuk meyakinkanku Alvin bisa membuatnya bahagia. Bahkan lebih bahagia daripada saat bersamaku.

“oke. Mama akan telfon papa. Kamu siap-siap yah!.” Perintah beliau.

Aku mengangguk. Dengan berat hati kutinggalkan perempuan paruh baya yang duduk disofa itu. Aku tahu pasti tanda Tanya besar ada diotaknya sekarang. Mungkin pertanyaan macam ini. ‘bagaimana bisa? Ada apa?’ benar. Karna sebelumnya aku selalu menolaknya mentah-mentah.

Tentu saja, untuk apa sekarang aku menolak lagi. Aku sudah tak punya alasan. Aku sudah tak berkewajiban lagi menjaga gadis itu. Gadis itu sudah mempunyai penjaganya sendiri. Bahkan juga penjaga hatinya.


Aku melangkah menuju balkon rumah dengan menenteng sebuah gitar. Menikmati sejenak hembusan angin malam yang mungkin sudah tak kan kurasakan lagi esok ditempat ini. Malass sebenarnya aku bersenandung. Atau sekedar memetik senar-senar gitar ini. Tapi entah aku ingin mempersembahkan sesuatu pada langit kota ini untuk yang terakhir. Aku ingin mencurahkan perasaanku pada bintang malam.

Semula ku tak yakin
Kau lakukan ini padaku
Meski di hati merasa
Kau berubah saat kau mengenal dia
Reff:
Bila cinta tak lagi untukku
Bila hati tak lagi padaku
Mengapa harus dia yang merebut dirimu
Bila aku tak baik untukmu
Dan bila dia bahagia dirimu
Aku kan pergi meski hati tak akan rela
* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu
“aku cinta kamu vi. Aku cinta kamu.” Ucapku lirih pada wajah sivia yang terlukis dilangit.

***

“aku udah tau semuanya.” Ucapnya melepas pelukan hangat ini.

Mataku membelalak lebar

Darimana?

“yah.. aku tahu. Alvin yang bilang. Kenapa kamu gak jujur aja sih?.”

Alvin? Kamu tau dari Alvin. Lalu Alvin tau darimana?. Oh aku lupa kalo alvin laki-laki. Ia pasti tahu sekali bagaimana perasaanku padamu sivia. Tapi apa? Sudah tak ada gunanya juga bukan?.

Lagipula, kenapa harus dia yang memberi tahumu vi? Kenapa bukan kamu sendiri yang bisa tau? Tak bisakah kamu membaca mataku? Tak bisakah kamu melihat perlakuanku? Tak bisakah kamu mendengar suara hatiku? Atau setidaknya bertanyalah pada langit dimana aku sempat berkata padanya dan kamu akan mendapat jawabannya?.

“kenapa harus pergi sih yel?. Kamu gak mau yah temenan sama aku lagi gara-gara aku gak bisa bales perasaan kamu?.”

Aku menggeleng keras.

“bukan. Bukan itu. Bisa mencintai kamu aja itu udah cukup buat aku.” Ucapku tersenyum.

“terus?.” Kening sivia mengerut.

“aku harus meneruskan hidupku. Bukan begitu?. Aku tidak ingin mengganggu kalian.”

Sivia sudah memasang wajah tak terima.

“hey, sejak kapan kamu mengganggu?.”

“banyak alasan yang gak bisa aku sebutin vi, aku harus pergi. Aku harap kamu ngerti keputusanku.” Timpalku.

Sivia memasang wajah pasrah lagi. Gadis ini. Ya tuhan andai gadis ini tahu, setiap ekspresi wajahnya itu semakin memunculkan rasa cintaku dan mengeruknya semakin dalam.

Sivia mengangguk mengerti. Aku menghembuskan nafas berat.

“kamu harus raih cita-cita kamu disana. Dan kamu harus janji akan buka hati kamu untuk gadis lain. Hey gadis pert cantik-cantik loh.”

“haha aku suka gadis Indonesia.” Ucapku basa-basi.

“oh disana kan juga banyak pelajar indonesia.” Timpalnya

“janji yah?.” Tagihnya.

Aku berfikir sejenak.

“mm.. okeh.” Ucapku

Dalam hati aku berkata ‘enggak, aku gak janji vi.’

Sivia tersenyum lega. Ia lalu menoleh pada alvin. Alvin tersadar waktunya datang. Ia menghampiri kami.
Dan inilah tiba saatnya waktu kami terbagi lagi. Dimana dunia kami menjadi bertiga lagi setelah sempat beberapa menit lalu aku merasa dunia ini hanya milikku dan sivia. Seperti duniaku sebelum kedatangan alvin dulu.

“jaga sivia ya bro.” Ucapku sok-sok’an

“pasti. Tanpa lo minta.” Ucapnya yakin.

Aku mengangguk paham. Lalu berbalik arah hendak pergi.

“iyel.”panggil alvin.

“gue akan ngejaga sivia sebagaimana lo pernah jaga dia dulu. Thanks ya lo ada disaat garis takdir belum mempertemukan gue sama gadis yang gue cintai.” Ucapnya.

Aku meneguk salivaku lalu mengangguk saja.

“gabriel.” Teriak ibuku lagi. Ia merusak suasana ini.

“aku pergi. Bye” ucapku lalu meninggalkan mereka.

Samar-samar aku mendengar ketika langkahku menjauh.

“kamu memang bukan orang yang aku cintai yel. Tapi kamu special.” Ucap gadis itu, gadis yang pernah kuimpikan jadi gadisku.

* terkadang ku menyesal
Mengapa ku kenalkan dia padamu

END..

Tuesday, 26 June 2012

Cerpen: PESAN TERAKHIR

PESAN TERAKHIR
Cerpen Pesan Terakhir

oleh: Mega Silfia
Atap yang begitu putih, membuat ku teringat dengan dia, bagaimana aku bisa bertemu dengan dia yang sudah tiada. Rasanya aku tidak bisa bernafas, setiap ku mengingat kebersamaan dengannya.

“nanda, nanda kamu sudah sadar.” ucap ibu tiri ku dengan wajah panik dan bergegas mencari dokter di rumah sakit nanda di rawat.

“nanda, kalo kamu dengar ucapan saya coba anggukan kepala kamu.” sambil melepaskan alat penafasan.

Akupun menganggukan kepala, melihat kaki yang dibalut oleh perban, tak sengaja aku mencuri pembicaraan antara dokter dan ibu tiriku, yang ku dengar kaki kananku patah akan sembuh total selama enam bulan lagi dan menyuruh ku di bawa ke psikolog.

“nah, nanda kamu jangan banyak bergerak dan tidur saja.”

Tanpa mendengar perintah dokterpun aku akan tidur dan melupakan semuanya, ketika aku dan dia bertemu. Saat itu sore yang sedikit cerah memungkinkan ku untuk kabur dari rumah, dengan menggunakan tas ransel besar dan jaket tebal lalu kupluk untuk menutupi kepaku. Ayah ku menikah lagi dengan wanita yang sama-sama di tinggal oleh pasangannya. Ibuku meninggal saat melahirkanku, melihat sosok ibu aku tidak tau, aku kabur dari rumah karna aku tidak butuh ibu, mungkin aku cemburu. Apalagi wanita itu mempunyai anak laki-laki berumur 7 tahun. Membuat ayahku semakin senang. Sepucuk surat ku letakan di kamar yang berisi “aku pergi dan jangan menghawatirkan ku lagi, semoga kalian bahagia, NANDA.”

Saat itu aku ingin semua itu berhasil dan sesuai rencana ku , mereka akan khawatir dan mencariku, entah mengapa pikiran ku saat itu kekanak-kanakan. Aku hanya ingin mereka melihatku. Semua berubah saat aku berhenti di sebuah rel kereta api. Di situ aku berfikir, aku akan kabur kemana? Dan bila tersesat bagaimana?. Jujur aku tidak mempunyai teman di sekolah, ini karna sifat pendiamku. Aku tidak pintar beriteraksi dengan orang lain. Yang ku bisa saat itu hanya duduk dan duduk di kursi tunggu kereta api. Entah mengapa aku mulai merasa curiga saat ada seorang anak laki-laki duduk di sebelahku dengan memakai topi dan tas ransel dia duduk dan melihati ku. Sedikit melirik, aku melihat dia, anak laki-laki yang ku rasa seumur dengan ku. Ku rasa dia bukan orang jahat, itu terlihat dari style dan jam tangan yang dia kenakan , bermerek mahal. Di kursi itu dia mulai mengeluarkan suaranya.

“kamu kabur dari rumah juga ??” Tanya dia sambil tersenyum

“bukan urusan kamu.” Ku jawab dengan nada datar dan dingin.

“oh !”

Tiba-tiba saja dia berdiri dan menarik tanganku, aku yang saat itu duduk terkejut dan berdiri, wajahnya tepat di depan wajahku. Mata yang coklat, wajah yang putih, bibir yang merah dan dari tubuhnya tercium bau yang hangat. Membuatku tidak dapat bergerak, namun aku mengelak. Dengan ransel yang ku pegang aku pergi meninggalkan dia. Di stasiun dia terus mengikuti ku, walau sudah ku peringatkan di tetap tersenyum dan mengikuti ku , akhirnya aku menyerah dan berhenti.

“kenapa sih kamu ngikutin mulu? mau kamu apa sih?” Tanya ku

“kabur bareng.” jawabnya sambil tersenyum ringan.

Dengan suara kereta yang sangat bising, suaranya sedikit tersamar namun masih terdengar oleh telingaku, aku hanya terdiam dan berfikir, aku dan dia sama-sama kabur, dan apakah aku mempunyai tujuan untuk kabur, mungkin diapun sama, tidak punya tujuan. Aku menyerah dan kita kabur bersama. Dan aku bertanya siapa namanya.

“nama kamu siapa.”

“aku andre.”

“aku nanda.”

***
Selama perjalanan dia tidak berhenti mengoceh, namun tak kudengar, hanya sedikit ku dengar, seperti dia takut dengan monyet, dia mengaku dia pernah di culik oleh monyet karna dia merebut pisang dari monyet tersebut, aku tidak percaya saat itu, karna yang kupikirkan dia pasti inggin melihat ku tertawa, namun aku tidak bisa karna ku tak terbiasa.

“kita bakalan nginep dimana?”

“aku tau tempat bagus untuk nginep.” jawab dia sambil memegang tanganku.

Sempat ku berfikir dia akan membawaku kesebuah tempat penginapan, namun dia membawaku kesebuah taman dan berkata “disana ada kursi kamu tidur di situ aja, aku di atas rumput di selimuti oleh bintang.”

“…….” Aku hanya bisa terdiam, dan mengikuti keinginannya.

Pagi harinya dia bangun dengan bugar. Betapa beratnya bila kita kabur namun tak ada tujuan. Akupun terbangun dari kursi dan tak sengaja menginjak kakinya yang sedang santai sambil menghembuskan nafas.

“aw, kenapa sih?”

“kalo kaburnya kayak gini, mending aku kabur sendiri.”

“15 kilo meter lagi kita sampai di tempat tujuan kok.”

Di perjalanan dia menceritakan tempat tujuannya untuk kabur, yaitu sebuah rumah yang sudah lama tidak di tempati, itu adalah rumahnya namun sudah kosong. Dan akhirnya sampai di tempat tujuan. Rumah yang lumayan besar. Ada sebuah jendela besar di balik rumah tersebut dan kitapun masuk. Entah mengapa saat masuk aku melihat rumah itu seperti bukan rumah yang di tinggalkan oleh penghuninya, sangat bersih. Dia mulai duduk dan melemparkan tasnya lalu membuka topinya. Karna sinar matahari dari kaca, wajahnya terlihat sangat jelas saat itu. Di rumah itu dia melakukan aktifitas sesuai keinginannya, minum, membuat makanan, anehnya dari kulkas ada banyak perlengkapan makanan yang belum basi. Di sebuah meja makan aku bertanya kepadanya.

“rumah ini kaya bukan rumah tanpa penghuni.”

“yah emang, ada penjaga, yaitu setan berambut bule.”

Entah mengapa aku tersenyum saat itu, tapi aku serius ingin tau, akhirnya dia menjawabnya, memang ada penjaga khusus untuk merawat rumah ini, dan dia menyuruh untuk berhenti sementara membersihkan tempat tersebut.

***
Hari-hari ku lewati dengannya, aku lupa bahwa aku punya keluarga dan aku merasa nyaman saat dengannya, sedikit demi sedikit aku bisa terseyum karna banyolannya. Hingga di suatu malam aku memberanikan untuk menanyakan identitasnya. Ternyata dia masih sekolah. Dan satu yang membuatku penasaran. Kenapa dia kabur.

“trus kenapa kamu kabur,kalo aku sih karna ibu tiri ku.” tanyaku sambil melihat bintang.

“karna ingin melihat bintang, matahari, dan semua yang kadang-kadang ku lihat.”

Saat aku mendengarnya entah mengapa dia seperti burung dalam sangkar. Dari matanya aku melihat sebuah penantian.

“jawabanya gak etis.”sambil tersenyum dan menatap wajahnya

“kenapa, apa keluargamu kacau, apa kau tak suka dengan ibu tirimu, apa karma kamu di perlakukan kaya upik abu?”

“gak , hanya aku merasa tak bisa dekat dengan orang yang baru ku kenal.”

“lalu, kenapa dengan ku kamu langsung dekat, cobalah tersenyum untuk seseorang yang sebenarnya kamu saying.”

Dan malam itu mulai membuatku ingin menutupkan mata namun saat mulai sedikit menutupkan mata dia mengucapkan sesuatu

“aku akan pergi jauh.”

Namun aku sudah tertidur dan tidak ku hiraukan. Hingga suatu hari saat itu hujan sangat deras, ku melihat dia memandangi jendela, sambil meminum secangkir teh hangat dengan sweeter yang tebal tercium bau yang hangat di campur bau hujan. Dia pun melihatku yang turun dari tangga dan memberikan sebuah senyuman kepadaku dan aku bisa membalas senyumannya. Namun saat langkahku hampir berada dekat dengannya tiba-tiba saja dia memegang dadanya, dan menjatuhkan cangkir teh, aku pikir dia melakukan sebuah lelucon lagi, namun tidak. Dia mengeluarkan mata dan mengaung kesakitan. Aku yang panik tidak tau harus berbuat apa, saat itu aku mencari telepon genggamnya dan di daftar telepon tertulis jelas HOME. Akupun mulai menelepon dan di angkat oleh ibunya. Suaranya semakin keras, dia mengeluh kesakitan. Karna panik aku menelepon ayahku. Saat itu aku sangat ketakutan, ambulan mulai datang dan membawa andre ke rumah sakit, di dalam ambulan aku melihat ibunya menangis sambil memegang tanganya. Ayahnya terus menerus menenangkan sang ibu, telepon dari ayah berdering, dan aku mengirimkan sebuah pesan singkat bahwa aku akan pergi kerumah sakit. Aku hanya bisa melihatnya dan tidak ingin menangis seolah-olah dia akan pergi selamanya. Sesampainya di rumah sakit, dokter dan suster mulai sibuk membawa andre ke ruang UGD, dengan jaket tipis dan basah aku hanya diam di luar rumah sakit hingga dari kejauhan aku melihat ibu tiriku mengahampiri dan memelukku. Dengan badan yang lemas aku berfikir kenapa bukan ayah yang datang.

***
Perasaan takut kehilangan dirinya mulai datang dalam hati ku, ketika aku datang untuk menjengungnya dan aku mulai memberanikan diri untuk bertanya kepada ibunya , ada apa sebenarnya dengan andre. Dia pergi dari rumah dan meminta izin untuk mengahabiskan waktunya, beda dari perkataanya, dia bilang dia juga kabur dari rumah. Dan hal yang sangat membuatku syok, dia sakit parah yaitu kanker hati dan hidupnya memang tidak lama lagi. Itu bohongkan. Aku tidak menginginkan kenyataan ini, namun itu memang nyata. Dan dia dalam keadaan koma saat ini. Sehabis pulang sekolah aku berniat untuk kembali melihat kondisinya, di lorong rumah sakit, dari kejauhan terlihat ibu andre menangis keras sekali. Ayahnya hanya memeluk dan menahan tangisannya si balik kaca matanya. Dan mereka masuk ke tempat andre di rawat. Perasaanku tidak enak, aku berlari menuju mereka, dan menerima kenyataan. Andre sudah tiada. Apa artinya ini. Kenapa saatku merasakan kehadiran seorang yang berarti dia pergi dengan cepat. Pikiranku melayang. Yang ku pikirkan, bagamana cara ku menemuinya lagi. Dan aku melangkah sedikit demi sedikit sampai terhenti di depan tangga menuju atap rumah sakit. Langkah ku menuju tangga tak terhenti hingga sampai menuju atap. Langit saat itu cerah. Angin yang kencan mengibaskan pipiku. Seolah-olah mengusap air mataku.

“dimana andre, apa andre ada di langit, di surga, aku ingin menemuinya.”ucapku saat pikiranku melayang.

Aku pun berdiri di ujung atap. Betapa tingginya keberadaanku sekarang. Rasanya aku ingin loncat dan berada di tempat yang lebih tinggi. Tempat andre berada. Dan akupun lompat. Saat tersadar aku merasa mati rasa. Kaki dan tanganku di perban.

***
Pagi itu ayah dan ibu tiriku terus saja mengatakan bahwa aku akan sembuh. Lalu meminta maaf. Aku hanya bisa diam. Karna sebenarnya aku pun merasa bersalah. Aku merasa sudah melukai perasaan mereka. Pikiranku berkata maaf. Namun mulutku sulit mengucapkannya. Sedikit keberanian dan suara yang belum ku keluarkan. Aku berkata “maaf” dan respon mereka sangat luar biasa. Hari-hari ku sudah mulai membaik. Aku mencoba tersenyum untuk mengobati perasaan kehilangan ku. Pintu terbuka dan ada seorang wanita masuk dari balik pintu itu, dia ibu andre. Langkahnya mulai menghampiriku yang terbaring lemah. Dia menannyakan keadaanku. Dan bagaimana pertemuanku dengan andre, anaknya? Semua ku jawab. Dan dia menceritakan semua tentang andre. Andre yang tegar. Andre yang kuat. Dan andre yang sangat menyayangi keluarganya. Andre adalah kebalikan denganku. Dan ibu andre memberikan ku sebuah surat. Surat dari andre sebelum dia pergi untuk selamanya. Ibu andre pergi saat menyerahkan surat ini.

“dear nanda, mungkin bila kamu membaca surat ini aku sudah tiada. Tuhan sudah memberikan ku banyak kebahagiaan dan kebahagiaan trakhir untuk hidupku adalah bertemu dengan mu, ini adalah salam trakhirku. Jadilah nanda yang tegar, nanda yang selalu tersenyum kepada semua orang. Karma nanda lebih cantik tersenyum dari pada menangis. Saat kau membaca surat ini pasti kau menangis. Maaf sudah membuatmu menangis. Tapi berjanjilah, ini adalah tangisan trakhir nanda. Pesan terakhir andre prawijaya muftian.”

Aku menangis saat membaca surat itu. Aku akan menjadi nanda yang tegar. Nanda yang selalu tersenyum. Dan nanda yang tak akan mengangis lagi saat membaca surat ini. Ini janjiku.


THE END


Nama  : Mega silfia
FB        : Mega Silfia S (mega_bakikuk@yahoo.co.id)
Twitter : @megahwaiting
Blog     : http://megamyname.blogspot.com

Ini cerpennya original banget. Saya yang buat. pernah kirim ke majalah. tapi saya gak tau di prosese atau gak. jadi boleh silahkan di baca yaa ^_^

Monday, 25 June 2012

Cerpen Romantis: WANT YOU

WANT YOU
Oleh Bella Danny Justice

“maafkan aku fi, aku menyukai Priscilla. Aku mendekatimu supaya aku bisa kenal dengannya. Maafkan aku...”

Sudah 1 tahun berlalu tapi perkataan Jun masih teringat jelas dalam pikiranku. Setelah hubungan yang kami jalin selama 5 bulan, akhirnya ia mengaku bahwa ia berpacaran denganku hanya supaya ia bisa dekat dengan kakakku Priscilla. Pertama kali aku mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya aku memang merasa sangat jengkel. Aku seperti manusia bodoh, mudah di bohongi dan di sakiti.

Namun sekarang aku bukan lagi seorang perempuan berseragam putih abu-abu yang terkenal labil. Aku sudah menjadi mahasiswi dan aku harus bangkit dari keterpurukanku dalam masalah percintaan. Sedangkan kakakku Priscilla kini tengah menjalani praktek di rumah sakit Kasih Bunda yang terkenal.

Dari lahir aku tidak pernah akrab dengannya, apalagi karna masalah Jun aku jadi semakin membencinya. Dia selalu merebut pria yang dekat denganku sejak SMP. Tak terlukiskan rasa kekesalanku pada Kak Silla. Aku layaknya bom waktu yang dapat meledak kapan saja, terlebih jika menyangkut hal yang berurusan dengan kakakku.

“Fi, tolong kasih bekal makan siang ini ke kakak kamu ya. Kampus kamu kan searah sama rumah sakit Kasih Bunda.” Mama menyodorkan rantang makanan itu kepadaku. Tapi aku tidak segera mengambilnya. Melihat rantangnya saja membuat hatiku panas, apalagi memberikannya pada nenek sihir itu.

Aku melirik sekilas rantang makanan tak berdosa itu. “Ngga ah ma! Aku ga mau! Mama suruh mas Jono aja yang anterin ke kakak. Lagian aku nanti bisa telat masuk kelas kalau harus mampir dulu ke rumah sakit.” Sangkalku.

“Gak bisa Fi, mas Jono mau servis mobil. Udah nih pokoknya mama ga mau tau kamu harus kasih ini sama kakak kamu, titik!” mama menarik tanganku dan menyangkutkan genggaman rantang itu kedalam telapak tanganku dengan paksa.

Hahhh...benar-benar hari yang menyebalkan! Keluhku dalam hati.

Sesampainya dirumah sakit aku langsung memasuki ruang praktek kerja kakakku tanpa permisi. Tapi beberapa saat aku mencari-cari sosoknya rupanya ia tidak ada. Yang aku lihat hanya seorang pasien sedang berbaring di ranjang dengan matanya yang diperban.

Ia terbangun dari posisi rebahannya dan bersandar di punggu ranjang. “Dokter Silla, apa itu kau?” aksen bicaranya seperti orang barat, bahasa Indonesianya pun terdengar kurang fasih.

“Mmm...ma-maaf aku bukan Dokter Prisicilla, aku kemari hanya ingin mengantarkan bekal makan siang ini untuknya. Maaf ya, aku permisi dulu.” Jawabku seperti orang salah tingkah. Aku meletakkan rantang itu dengan kasar dan bersiap pergi dari sana.

“wait up!” sahutnya membuatku menghentikan langkahku yang tergesa-gesa.

“what else?” aku menoleh ke arahnya dan menengok jam tangan dengan gelisah.

“who are you?” tanyanya dengan nada datar dan dingin.

“i’m Fioren, Priscil’s little sister. Sorry, i have to go now. Bye.” aku langsung mengaktifkan langkah seribu untuk mengejar waktu yang sangat mepet untuk sampai ke kampus.

Oh My God! Bisa telat nih!
###

Dengan selamat sentosa aku sampai kelas tepat waktu, tetapi selama jam kuliah berjalan hatiku tidak tenang. Aku gelisah dan terus memikirkan pasien laki-laki yang ada di kamar praktek kakakku itu. Konyol sekali, tapi aku ingin bertemunya lagi. Rasa penasaranku ini tak dapat terbendung, dengan nekat sepulang kuliah aku pun memutuskan untuk datang ke tempat kakakku.

“eh Fi, mau kemana? Kita ga jadi nonton?” ujar Gisel. Ia memperhatikanku yang sedang merapihkan buku seperti orang kebakaran jenggot.

“aduh..jangan sekarang deh Gis! Gue ada urusan nih, besok aja ya. Byee..” seruku seraya meninggalkan kelas dan melambaikan satu tangan pada temanku Gisel.

Tiba-tiba.. BAAAMM!!

“aduduh...awhh...” erangku kesakitan. Tubuhku jatuh terduduk ke lantai dan buku-buku yang ku pegang berhambur berantakan. Tak lama aku melihat guliran tangan yang seolah berkata “mari, aku bantu kau berdiri.”

“maaf, aku tidak sengaja. Mari, aku bantu kau berdiri.” Aku meraih genggaman tangan itu lalu menyibakan debu yang menempel di celana panjangku.

“sekali lagi aku minta maaf.” Katanya lagi. Pria ini tampan sekali... pujiku dalam hati.

“ah, ya tidak apa-apa.” Ucapku sambil menorehkan senyum sekenannya. Aku baru ingat bahwa aku ingin ke tempat praktek kakakku. Ya ampun, kalau jam segini pasti ia sudah pulang. Dengan terpaksa aku mengurungkan niat untuk pergi kesana.

“ini..” Laki-laki itu mengulurkanku buku-buku yang tadi berserakan kepadaku.

Aku mengernyitkan dahi dan menatap matanya sepintas. “t-terimakasih, maaf aku sudah menabrakmu.” Pria ini...sepertinya aku mengenalnya? Aku kembali memperhatikan wajahnya dengan seksama. Memandang wajahnya-membuang pandanganku-memandang wajahnya-membuang pandanganku... Aku ingat orang ini!

“oya, aku harus buru-buru pulang untuk menyiapkan makan malam. Bye.” Aku tau orang ini, karena itu aku mencari alasan ingin “menyiapkan makan malam” lalu segera pergi dari hadapannya. Ya, walaupun sebenenarnya aku tidak bisa memasak, tapi itu satu-satunya alasan yang melintas di otakku.

Pria itu menahan aku. Ia menarik pergelangan tanganku. “jangan pergi Fioren, aku harus menjelaskan sesuatu padamu.”

Jun, apa lagi yang kau inginkan dari diriku? Tidak puaskah kau telah menyakitiku? Kenangan masa lalu seakan muncul kembali ke permukaan. Aku sungguh tidak menginginkan ini terjadi. Tapi, tak kupungkiri aku masih menyimpan rasa terhadapnya.

Kami pergi ke suatu restauran yang begitu asri dan indah pemandangannya. Aku tidak tau tempat apa ini. Aku tidak tau kemana ia membawaku. Yang aku tau sekarang aku berada di sebuah daerah pegunungan. Sudah 3 tahun aku tidak bertemu dengannya semenjak kelas 1 SMA karena aku meminta pada mamaku untuk pindah sekolah, dan selama itu juga aku bisa lihat penampilannya berubah dari yang dahulu.

Sekarang ia terlihat lebih tinggi dan rambut spikenya kini berubah dengan poni menyamping yang menutupi sebagian keningnya. Tidak salah kalau aku pernah jatuh cinta padanya, meskipun ia hanya mempermainkanku tetapi aku tidak menyesal.

“mm.. Fio, apa kau masih memendam kebencian padaku?” tuturnya membuka pembicaraan di tengah kesunyian kami.

“hanya saat kau mengatakan bahwa kau menyukai kakakku.. hanya saat itu aku membencimu..” ucapku tanpa menatapnya dan melemparkan pandangannku pada pegunungan yang diselimuti kabut tebal.

“aku datang menemuimu karna aku ingin mengatakan suatu hal yang dulu tidak sempat aku sampaikan..” wajahnya nampak pucat pasih karna gugup. Jun menelan ludahnya dan berusaha memandangku.

“setelah aku menyatakan perasaanku pada kakakmu, ia menolakku. Dan ketika itu aku sadar bahwa aku benar-benar menyukaimu. Dulu aku tidak bersyukur telah mendapatkan wanita sepertimu. Karena itu, sekarang... aku sungguh minta maaf kepadamu Fi, aku ingin kau kembali menjadi wanita-ku.” Ia menatapku dengan wajah memelas dan kening yang berkerut sedih.

Aku tidak peduli lagi. Aku sudah melupakannya. Aku meninggalkan Jun dari tempat makan itu. Aku tidak tahan mendengar kata-katanya. Aku ingin bersama dengannya, tapi entah mengapa ada sesuatu yang mendorongku untuk tidak menerimanya lagi.
###

Sepanjang malam aku hanya berbaring di atas tempat tidur dan membenamkan wajahku ke dalam bantal. Aku terus mengingat-ingat pria itu. Bukan Jun, tetapi pria yang ada di kamar praktek kakakku. Tapi sepertinya pria itu kenal dekat dengan kak Priscil? Karena hanya orang-orang tertentu saja yang memanggilnya dengan sebutan “Silla”. Yaa...mungkin itu pacarnya? Gumamku.

Tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu yang membuyarkan andai-andaiku. “Ren, kakak boleh masuk?” seru suara itu. “Ren” adalah panggilan masa kecilku yang diberikan oleh Kak Silla.

“ya.” Jawabku bermalasan-malasan. Kakaku yang paling tidak aku sukai mulai memasuki kamarku. Ia berjalan ke arahku dan duduk di sampingku. “Ren, kamu yang anter makan siang tadi ke tempat praktek kakak ya?”

“iya.” Aku hanya menjawab sekenannya tanpa menoleh padanya.

“mmm...terimakasih ya Ren. Ini ada sesuatu untuk kamu.” ia mengeluarkan sebungkus bingkisan dari belakang tangannya. Sebuah kotak kado berwarna pink bermotif love lengkap dengan pitanya yang juga berwarna pink. Aku berpikir ini tidak mungkin hadiah dari kak Silla. Kak Silla yang melihatku tanpa reaksi akhirnya menjelaskan asal-usul tentang hadiah itu. “ini dari seseorang untuk kamu Ren. Dia ingin memberika hadiah ini untuk kamu. Coba bukalah dulu.”

Perlahan aku mulai melepas pitanya dan membuka tutup kado tersebut. Aku sungguh dibuat terkejut oleh hadiah dari orang itu! Sebuah kotak musik dengan lapisan warna emas dan putih yang berukuran sedang, serta terdapat seorang wanita dan pria yang berdansa dengan anggun di atasnya. Lalu aku memutar katup kotak musik itu... dan... melantunlah lagu klasik yang begitu indah. Lagu ini... aku kenal lagu ini! Lagu klasik favoritku! Atau bisa dibilang satu-satunya lagu klasih yang aku tau dan aku suka saat pertama kali mendengarkannya yaitu Nocturne no.2 in E-Flat Major, op.9 no.2 oleh Frédéric Chopin versi dari Vladimir Ashkenazy.

Lantunan merdu denting piano yang keluar dari speaker kotak musik itu membawaku terhanyut ke dalamnya. Hatiku terasa tentram, seperti ada ketenangan di balik lagu ini. Lagu ini mampu membuatku tersenyum dan bersedih pada waktu yang bersamaan.

“hadiah itu pemberian seseorang. Dia berharap kamu menyimpannya Ren.” Kalimat yang diucapkan kak Silla membuatku tersadar. Aku masih tidak mengerti apa maksud orang itu memberikan hadiah ini untukku, tapi yang pasti aku tidak akan menolak kado indah ini.

“ya. Sampaikan terimakasihku kepadanya.” Hanya itu yang bisa aku katakan, untuk saat ini aku belum ingin tahu siapa yang memberikan bingkisan berharga ini.
###

Sesuai janjiku pada Gisel karna kemarin tidak bisa nonton dengannya, seusai jam kuliah kami pun pergi ke mall dan menonton film. Gisel mengajakku makan di American Grill tetapi sekarang aku sedang tidak selera makan makanan barat. Ketika kedua mataku menangkap keberadaan stand food yang menjual makanan Jepang sederahana kesukaanku Okonomiyaki, aku pun segera melesat ke sana dan membelinya.

“enak kan Gis? Makanya jangan makan makanan barat melulu! Coba makan makanan dari kebudayaan lain juga dong, apalagi Okonomiyaki dari Jepang ini.” Pamerku pada Gisel sambil terus melahap makanan itu dengan sumplit yang begitu tipis dan sedikit membuatku kerepotan.

“iya iya kali ini kamu menang Fi! Aku akuin ini enak banget.” Balas Gisel yang juga tidak berhenti memakan makan itu dan sesekali menyeruput Blue Iced-nya.

Tanpa kami sadari seseorang telah berdiri di hadapan kami. Ia terus menatapku dan tiba-tiba ia menaruh sekotak Okonomiyaki lainnya di atas mejaku. “ini, makanlah yang banyak. Okonomiyaki adalah hidupmu, bukan? Bahkan dulu saat kecil kau pernah merengek kepada kakakmu dan memarahinya karna ia tidak membelikanmu makanan itu.” lalu pria itu melangkah pergi dengan santai sambil memasukan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana panjangnya.

Aku terbelalak dibuatnya. Bagaimana bisa orang asing seperti dia tau tentang masa kecilku?! Ketika aku terbangun dari lamunanku, aku langsung berlari mengejar ke arah pria itu tadi berjalan namun aku tidak menemukannya. Dia sepertinya sudah pergi.. tapi siapa dia? Ujarku dalam hati.

Gisel yang mengejarku mati-matian akhirnya mendapatkanku. “heh Fi cepet banget sih larinya! Aku hampir kehabisan nafas nyusul kamu, tau?!”

Siapa laki-laki tadi? Tapi sepertinya tidak asing...

Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Aku ingin penjelasan! Setelah mengantar Gisel kerumahnya aku segera membalikan stir mobil ke arah tempat praktek kakak ku bekerja. Aku merasa dia tau akan hal ini. Aku merasa dia punya andil atas keanehan yang terjadi padaku belakangan ini.

Dengan langkah berdebum aku menuju ke sana. Entah mengapa hatiku sekarang seperti air mendidih, aku takut emosiku meluap ketika mengetahui semuanya. Aku takut aku menyesal karena telah datang ke sini.

Akhirnya aku tiba di depan pintu kamar praktek kakak ku. Aku menyentuh gagang daun pintu itu dan bersiap mengayunkanya ke bawah, tapi niatku terhenti saat mendengar percakapan yang sedang teruntai dari dalam ruangan.

“aku sudah memberikan hadiah itu kepadanya. Ada lagi yang ingin kau sampaikan untuknya?” suara kak Silla begitu jelas terdengar. Apa hadiah yang dia maksud adalah kotak musik itu?!

“tidak perlu. I just met her, dan itu sangat menyenangkan. I saw her face was full of questions of who i am saat aku memberikan Okonomiyaki kepadanya and mengatakan kejadian masa kecilnya dulu about that food.” Ujar orang itu sambil terkekeh. Apa?!

“apa? Kau berani sekali! Why don’t you just tell the truth?” balas kak Prisicilla.

“i don’t have such courage to say.” Kali ini suara pria itu melemah dan terdengar putus asa.

“aku yakin adikku pasti akan menerimamu.” Aku tidak sabar lagi! Dengan perasaan yang kacau aku memasuki ruangan tersebut. Dan terpampanglah pemandangan yang tidak mengenakan kedua mataku. Kakaku sedang berpelukan dengan pria itu! Aku hanya berdiri mematung menyaksikannya. Air mataku bahkan tidak dapat keluar, tetapi di dalam, hatiku menjerit. Tenggorokanku tercekat sehingga tak ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Aku tidak tau mengapa kejadian yang ku liat ini begitu menyakitkan padahal aku tidak mengenal pria itu.

Aku melangkah pergi dari sana dengan keadaan tubuh yang agak limbung dan kepala yang berkunang-kunang. Kaki ku melemah, seluruh syarafku seperti terhenti yang alhasil membuatku jatuh pingsan.

seseorang sepertinya menggendongku? Aku bisa merasakan nafasnya yang tersengal-sengal, di dalam pelukannya aku merasa nyaman. Aku juga bisa mendengar denyut jantungnya yang berdetak cepat, ia nampaknya begitu khawatir dengan keadaanku. Aku ingin sekali melihat orang ini, tetapi mataku tidak dapat terbuka...
###

Aku tidak tau sudah pingsan selama berapa jam, tetapi yang pasti sekarang mataku seperti menempel dan aku kesulitan membuka kelopak mataku. Namun usahaku yang gigih membuahkan hasil yang manis. Ketika mataku sudah benar-benar terbuka, yang aku lihat hanya kak Prisicilla yang duduk di sisi kiri ranjang tempat aku terbaring dan seorang pria yang sedang terlelap di sisi satunya sambil... menggengam tanganku?!

“Fioren, kamu sudah sadar?!” kak Priscil tersentak melihat aku yang sudah siuman. Ia langsung mengecek keadaanku secara seksama menggunakan stetoskopnya. “kamu baik-baik saja bukan? Maafkan kakak Ren,” sambung kakakku itu. Karena reaksi kak Priscil yang cukup menghebohkan pria itu pun terbangun dari tidurnya.

Fioren, you’re awake? are you all right?” cara pria itu mencemaskanku terasa tidak aneh bagiku. Aku justru merasa bahagia akan kekhawatirannya. Tapi, siapa dia?

“siapa kau?” aku tidak yakin suaraku akan terdengar jelas karena kerongkonganku sedikit sakit ketika bersuara.

“Fioren, dia Daniel... dia teman kakak saat di panti asuhan dulu.” Sela kak Priscill. Dia nampak pucat saat mengucapakan kata-kata itu.

“panti asuhan? Apa maksudmu?!” aku sengaja menaikan intonasi pembicaraan. Jadi selama ini Priscilla adalah kakak angkatku?

“mama dan papa berencana untuk tidak pernah mengatakan hal ini kepadamu, tetapi aku tidak bisa menyimpan rahasia akan siapa diriku selamanya karena kelak kau pasti menyadarinya.” Wanita yang kukenal sebagai kakak kandungku menghentikan kalimatnya sejenak, ia menghela nafas dan melanjutkannya. “saat dulu kau masih kecil sekitar umur 7 tahun kau dan orangtuamu datang ke panti asuhan untuk menjemput aku, tetapi kau begitu marah dan tidak setuju, kau berlari sampai ke tengah jalan dan sebuah mobil hampir menabrakmu, syukurlah itu tak terjadi. Dia... Daniel teman sebayaku yang menyelamatkanmu. Kau pingsan dan Daniel menggendongmu dengan tergopoh-gopoh, tapi Daniel tidak menyerah. Namun ketika kau sadar, kau menangis sangat keras begitu melihat Daniel. Sejak saat itu Daniel terpukul atas sikapmu. Ia me...”

let me tell the rest Silla. Aku menyukaimu Fioren, karena terlalu menyukaimu akhirnya aku memutuskan pergi dari kehidupanmu. Kebetulan aku juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Amerika dan aku mengambil kesempatan itu sekaligus untuk melupakanmu. Selama 11 tahun aku tinggal di sana tetapi tidak kunjung menemukan pengganti dirimu, setiap malam aku selalu terbayang wajahmu yang ketakutan saat melihatku... aku sangat merindukanmu dan ingin bertemu tapi aku tidak mau membuatmu menangis...” Daniel menghentikan ceritanya. Ia tertunduk lurus menghadap lantai rumah sakit. Aku bisa mendengar suaranya yang serak seakan tak sanggup melanjutkan cerita masa lampaunya yang memilukan.

Tubuhku bergerak dengan sendirinya. Perlahan langkah kakiku menghampiri pria yang di sapa Daniel itu. Aku tidak lagi menangis ketika melihatnya, tetapi justru aku sangat bahagia. Aku tidak tau apa yang dulu telah terjadi sehingga aku bersikap begitu kejam terhadapnya. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak bisa mengingatnya. Tapi kini semua sudah jelas. Inikah sebabnya mengapa aku sangat ingin bertemu dengannya sejak pertama kali bertemu dia? Maafkan aku Daniel...

Aku menyentuh pundak laki-laki itu dan berkata. “maafkan aku Daniel... aku janji tidak akan menangis lagi karena melihatmu, justru sekarang aku sangat bahagia...”

Daniel menengadahkan kepalanya dan menatapku tak percaya. Ia berdiri dan mendekapku ke dalam pelukannya. “thank you Fioren.”
###

Keesokan harinya mama dan papa menjelaskan bahwa dulu aku sempat menderita amnesia anterograde dan retrograde secara bersamaan. Aku tidak mampu mengingat kejadian sebelum hampir tertabrak mobil dan tidak dapat mengingat kejadian setelahnya karena trauma parah. Aku tercengang mendengarnya. Karena itu kah aku sampai melukai perasaan Daniel?

Di tengah-tengah keheningan kamarku yang hanya dihiasi oleh lantunan musik klasik pemberian dari Daniel handphone-ku berdering dengan nyaringnya. Aku melirik layar hape itu dan melihat sebuah nomer yang tidak ku kenali.

Aku menempelkan benda kecil itu ke telinga. “siapa ini?”

“ini aku Jun, Fioren.. tolong jangan matikan telfonnya.” Pinta suara itu dari sebrang dengan nada lemah lembut.

“ada apa lagi?” jawabku sekenannya.

“aku ingin bertemu denganmu. Besok aku jemput sehabis jam kuliah.” Kemudian sambungan telfon itu terputus begitu saja. Dasar seenaknya! Kau pikir siapa dirimu?!

Pria menyebalkan! Gerutuku dalam hati.

Besok hari setelah jam kuliah berakhir aku bergegas meninggalkan ruangan supaya tidak bertemu Jun. Namun harapanku tampaknya tidak terkabul. Ia sudah menungguku di depan pintu dengan beberapa wanita yang kelihatan sedang mengaguminya. Dasar wanita-wanita bodoh!

“aku cuma ingin bertemu denganmu untuk terakhir kalinya Fioren. Jadi aku mohon kau jangan kabur seperti waktu itu.” ucapnya kemudian menarik pergelangan tanganku dan memasuki mobil.

“kita mau pergi kemana? Aku ada janji dengan seseorang jadi jangan lama-lama.” Ujarku ketus tanpa memandangnya.

“tidak lama, aku juga ada janji dengan seseorang kok.” Balasnya

Beberapa saat kemudian tibalah kami di sebuah... Bandara?! Aku tidak tau apa yang sedang direncanakan oleh Jun. Tetapi aku rasa ini akan sangat mengejutkan.

Tiba-tiba Jun menunjuk ke suatu arah sambil berkata. “ah itu dia! Ayo Fioren!” ia kembali menarik tanganku dengan cukup keras dan membuatku sedikit tidak nyaman namun aku tak dapat mengelaknya. Kami berjalan mendekati seseorang yang sedang berdiri tegap menghadap ke arah luar jendela transparan yang besar.

“hai Daniel!” sahut Jun dengan semangatnya. Apa yang dia katakan barusan?! Daniel?! Pria yang di panggil Jun sebagai ‘Daniel’ itu pun membelokan badannya dan perlahan berhadapan dengan aku dan Jun. Ini benar-benar suatu surprise yang tak terduga! Aku tak dapat bergerak dan mematung di samping Jun. Bagaimana mungkin?! Apa dunia sesempit ini?! Jun mengenal Daniel?!

“Fioren... k- kau? Kau kenal dengan Jun?” Daniel mengucapkan kalimatnya dengan sedikit terbata-bata. Aku rasa dia juga sama shocknya seperti aku.

Jun tertawa terbahak-bahak melihat kekikukkan yang menimpa kami. Ia tertawa dengan lepasnya dan membuatku jengkel seolah ia meledekku! “kenapa kau tertawa?!” bentakku padanya yang seketika menghentikan tawanya.

Jun meraih tangan kananku dan ia juga meraih tangan kiri Daniel. Ia meletakkan tangan Daniel di atas punggung tanganku dan menyatukannya. “tetaplah bersama sampai maut memisahkan kalian. Sudah waktunya aku untuk kembali ke Amerika. Daniel, jaga Fioren dengan baik! Itu perintahku. Selamat tinggal semuanya.” Jun, pria itu menyunggingkan seulas senyum manis sesaat sebelum meninggalkan kami berdua. Aku tidak percaya bahwa ini sungguh pertemuan terakhir antara aku dan dia.

Aku berlari mengejarnya dan memeluknya dari belakang. Ia menghentikan langkahnya dan membalas pelukanku. “terimakasih untuk semuanya Fioren. Aku senang bisa mengenalmu.” Jun memegang pundakku dan mengendurkan dekapannya. Ia terus berjalan sampai aku tak dapat lagi melihatnya.

Aku rasa baru saja beberapa tetes air mata berjatuhan membasahi pipiku. Aku menghapusnya tetapi semakin banyak linangan air mata yang keluar. Lalu aku merasakan seseorang mengegam erat bahuku. Ia membelai rambutku dan menciumnya dengan lembut. “don’t cry, i’ll always be by your side
###

2 tahun kemudian...

Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagi keluargaku, terutama kakak angkatku yang sudah kuanggap seperti saudara kandung sendiri yaitu Kak Priscilla. Ia merayakan pesta pernikahannya dengan pasangan yang juga seorang dokter keturunan barat bernama Fritz, sedangkan aku menjadi pengiring pengantin untuk kakakku.

Aku berharap suatu hari nanti aku dapat menyusul kakakku bersama Daniel. Tetapi aku rasa aku harus menundanya karena Daniel sekarang sedang melanjutkan study S2-nya di Amerika. Ia berjanji setelah semua urusannya selesai kami akan segera menikah dan aku menunggu akan hal itu. Seharusnya sejak 1 minggu yang lalu dia sudah kembali ke Indonesia, namun tidak ada kabar darinya. Aku sedikit kecewa dan cemas akan sikapnya belakangan ini. Aku takut ia memiliki wanita lain di sana dan membatalkan rencananya denganku.

“hei, Fioren! Kenapa tidak ikut dengan yang lainnya untuk memperebutkan buket bunga pernikahan kakak!? Siapa tau kau yang mendapatkannya dan bisa segera menyusulku.” Ucapan kak Silla yang cukup kencang membuatku malu. Aku sebenarnya tidak ingin ikut berpartisipasi dalam hal ini, tapi yasudahlah...

Saat kak Silla menghitung dari 1 sampai 3 ia langsung melemparkan buket bunga itu ke belakang tepat ke arah para undangan yang hadir dan berebutan untuk mendapatkannya.
“will you marry me Fioren?” perkataan seseorang itu membuatku yang sedang meneguk segelas sirup stroberri tersentak.

Aku menoleh ke arah suara itu. Aku melihatnya! Daniel datang! Ia dengan buket bunga yang dilempar tadi oleh kakakku! Ia berlutut dengan satu kaki dan mempersembahkan buket bunga itu. Tanpa ragu aku meraihnya dan berkata. “yes, of course!” aku melompat kegirangan lalu memeluk Daniel. Ia memberikan kejutan yang membuatku tak bisa berkata-kata sedikitpun.

Dalam pelukan Daniel, dari kejauhan aku melihat sebuah mobil sedan hitam di depan gerbang rumah. Pria itu memakai kacamata hitam, ia tampak sedang memperhatikan kearah ku, sadar jika aku mengetahui keberadaannya ia lalu melajukan mobilnya dan pergi dari sana.

Aku dan Daniel berdansa dengan diiringi musik klasik favoritku. Kami berdansa dengan anggun layaknya patung pria dan wanita di kotak musik pemberian Daniel.

Jun, aku sangat bahagia...

Aku harap kau juga merasakan kebahagian seperti aku...

DE END


TWITTER : @bellajusticee
FB : Bella Justice
Give a comment so i could write a better story ^_^ thank you for reading my work!
Hope you all enjoy it! ;)
Cerpen Bella yang lain: EverlastingLOVE THAT I SHOULD HAVETHERE’S SOMETHING IN YOUR EYES, dan Kenangan yang Terlupakan