In Her beautiful Smile
penulis: Natania Prima Nastiti
Aku punya seorang kakak perempuan yang sangat cantik. Nadira namanya. Bagiku dia adalah seorang kakak yang terbaik di dunia ini dan di dalam kehidupanku. Kami berdua selalu bersama dan tidak pernah bertengkar. Kadang, karna keegoisan aku sebagai adik, kakak selalu mengalah. Dia tidak pernah memarahiku. Jika aku salah, dia hanya menasihatiku dengan cara yang halus. Perbedaan umur kami hanya dua tahun, hal itu membuatku merasa dia juga sebagai seorang sahabat. Kak Dira, tiada hari tanpa tidak tersenyum. Senyumannya yang tulus itu, selalu membuatku senang. Beruntungnya aku mempunyai kakak seperti dia. Dialah segala bagiku.Sampai akhirnya, Kak Dira selalu mengeluh sakit kepala yang luar biasa. Entah kenapa, dia selalu sakit kepala. Kadang dia menangis menahan sakit yang dia alami. Akhirnya, selama dua minggu selalu mengeluh, mama membawanya ke dokter. Dan dokter bilang dia punya penyakit tumor otak. Semenjak keterangan dokter itu, kakak masih selalu tersenyum. Entah apa yang membuatnya kuat, dia selalu saja tersenyum di hari-harinya yang selalu terlewati dengan kepahitan. Aku yang melihat senyum kakak dan ketegarannya, malah selalu sedih. Kakak, bagaimana mungkin dia tidak menganggap penyakit yang mematikan itu dan hanya tersenyum?. Tiga bulan hidup dengan tumor di otaknya, membuat kakak semakin tersiksa. Kini kakak sudah tidak bisa berjalan lagi. Kedua kakinya lumpuh total. Tetap seperti biasa, walaupun dia tidak bebas melakukan apa yang dia inginkan, senyumannya tidak pernah lepas dari bibirnya. Seminggu tidak bisa berjalan, ganti kakak tidak bisa berbicara. Sebenarnya dia bisa berbicara, hanya saja dia selalu berbicara dengan putus-putus. Setiap malam, kakak tidak bisa lagi bercerita untukku. Tapi senyuman kakak dan ketegaran hatinya tidak pernah pudar. Suatu hari, aku mendekati kakak dan memanggilnya.
“Kak Dira, mama buat kue nih buat kakak” ucapku dari arah belakangnya. Tapi Kak Dira tidak menyahuti.
Aku terus memanggilnya tapi tetap tidak ada sahutan dari mulut kakak. Kemudian aku memagang bahu kakak. Dia sedikit terkejut. Aku duduk di depannya dan memandangnya. Kak Dira tetap tersenyum. Saat itu aku sadar kakak tidak dapat lagi mendengar. Cukup! Cukup penderitaan yang dialami kakak. Kenapa harus kakak? Kenapa harus kakak yang mengalami penderitaan yang begitu menyakitkan ini?. ku genggam tangan kakak yang terlihat begitu rapuh. Kakak balas mengenggam tanganku. Kakak tersenyum lagi tapi aku tidak. Aku tidak bisa tersenyum padanya yang jelas-jelas merasakan kesakitan ini.
Malamnya, penyakit itu mengganggu tubuh kakak lagi. Kakak mengeram kesakitan dengan kerasnya.
“Sa... saakk... sakkittttt!!!!!!!!”, kakak selalu mengeluarkan ucapan itu dengan susahnya. Dan selalu memegang kepalanya juga menjenggut-jenggut rambutnya sendiri.
Aku benar-benar tidak tega melihat kakak tersakiti. Setiap kakak mengeluh kesakita, aku selalu keluar dari kamar dan menangis sendirian. Waktu itu aku sedang belajar dan kakak sedang membaca bukunya. Melihat kakak, aku kembali meneteskan air mata. Biasanya saat aku belajar, kakak selalu ada disampingku. Memang saat itu kakak menemaniku tapi dia tidak membantuku belajar. Dia sibuk dengan kerjaannya sendiri. Entah kenapa, tiba-tiba aku mulai menulis surat untuk kakak. Karena jarak kita waktu itu cukup jauh, aku meremas kertas yang bertuliskan suratku dan melemparnya pada kakak. Karna percuma aku memanggil kakak, toh kakak tidak mungkin memalingkan kepala kearahku. Setelah sadar ada kertas di sampingnya, kakak langsung mengambil kertas itu dan menengok kearahku dan tersenyum. Setelah cukup lama, kakak kembali menengok kearahku dan menyodorkan sebuah kertas tepat disampingnya. Kemudian aku mengambil kertas itu dan mulai membaca tulisan kakak.
Ini tulisanku pada kakak,
Kak, kenapa kakak selalu tersenyum di tengah-tengah penderitaan kakak? Kenapa kakak selalu tegar padahal penyakit kakak selalu mengganggu saat kakak tidur? Kenapa kakak nggak pernah meneteskan air mata disaat penyakit itu datang kak? Kak, menangislah walau hanya setetes air mata. Kakak nggak bisa selalu tersenyum. Kakak pasti sebenernya sedih kan? Terbukalah padaku, kak. Jangan kakak tutupi kesedihan yang mengganjal dihati kakak. Keluarkanlah semua amarah kakak. Aku mau menerima semua amarah kakak itu. Aku akan menemani kakak.
Tulisan kakak padaku,
Tersenyum, hanya itu yang bisa kakak lakukan sekarang ini. kakak ingin sekali menangis, tapi kakak yakin itu hanya akan membuat keluarga ini tambah sedih. Tersenyum, kakak akan selalu melakukan itu selagi kakak bisa melakukannya. Karna nanti jika kakak sudah ada di alam yang berbeda dengan kamu dan keluarga ini, kakak yakin sudah tidak bisa lagi tersenyum dihadapan kalian semua. Tegar, itu juga hal yang akan kakak terus lakukan. Hanya dengan ketegaran, kakak bisa menahan tangisan kakak ini. untuk saat ini, kakak nggak mau ninggalin kalian semua. Jani, kamu jangan selalu memandang sedih pada kakak ya? Tersenyumlah pada saat kakak melihat kamu. Karna melihat senyuman kamu itu, bisa membuat kakak selalu tegar dan kuat untuk menghadapi dan melawan penyakit yang menyakitkan ini. percaya pada kakak, kamu pasti bisa melihat kakak yang seperti dulu lagi. Jangan nangis lagi ya, jani? Janji sama kakak ya? Smile :)
Setelah membaca tulisan kakak yang tidak bagus seperti dulu itu, aku meneteskan air mata lagi. Dulu aku iri saat setiap melihat buku catatan pelajaran kakak. Aku iri dengan tulisan bagus kakak. Tapi saat ini, tulisan kakak sudah tidak sebagus dulu. Banyak tulisan yang bergemetar. Aku yakin kakak menulisnya dengan susah payah. Kemudian aku menghampiri kakak dan memeluknya. Kemudian aku tersenyum di tengah tangisanku. Kakak mengelap air mataku dan tersenyum padaku juga. Ketegaran kakak, sepertinya kakak sungguh-sungguh akan hal itu.
Setelah hampir lima bulan, kakak hidup dengan penderitaan. Malam itu adalah puncaknya kakak mengeluh akan penyakitnya. Kakak sama sekali tidak bisa tidur. Dia terus berteriak tanpa bersuara. Saat akan dikeluarkan suaranya, dia selalu bersusah payah mengeluarkan suaranya. Dia memegang kepala dengan kuat-kuat. Saat itu juga, kakak seperti sulit bernafas. Lagi-lagi aku tidak bisa melihat kakak. Tapi, disaat seperti ini, harusnya aku disamping kakak. Menyemangatinya walau hanya dengan sebuah senyuman. Kuurungkan niatku untuk meninggalkan kamar. aku duduk di samping kakak yang terbaring tidak karuan. Ku genggam tangannya dengan erat. Setiap kakak melihat kearahku, saat itu juga aku berhenti menangis dan tersenyum padanya walau ini sangat terpaksa sekali. Kakak juga masih bisa tersenyum padaku sambil menahan sakitnya yang dirasakan kakak. Dia juga menggenggam tanganku dengan erat. Aku benar-benar tidak sanggup melihat kakak seperti ini. akhirnya malam itu juga kami semua membawa kakak ke rumah sakit. Ke tempat dimana kakak tidak pernah mau berada. Tapi takdir berkata kalau kakak harus ada di tempat yang paling kakak benci itu.
Hari demi hari berganti. Semenjak kakak di rumah sakit, kakak belum juga membuka kedua matanya. Senyum yang selalu aku lihat setiap harinya itu, tiba-tiba saja pudar seketika. Selang-selang rumah sakit, menghiasi tubuh kakak saat itu. Karena terus menjalani kemo terapi, rambut indah hitam kakak semakin berkurang. Rambut yang dahulu sangat aku inginkan itu, semakin lama semakin berkurang. Rambut kakak juga sudah tidak seindah dulu. Wajah cantik kakak, entah kenapa wajah itu semakin hari semakin membengkak. Aku terus duduk disamping ranjang kakak terbaring. Berharap akulah orang pertama yang bisa melihat kedua mata itu membuka dan melihat senyuman kakak yang selama beberapa hari ini tersembunyi di balik bibirnya yang pasti juga terasa sakit itu. Setelah hampir tiga minggu koma, akhirnya kakak kembali membuka matanya. Mata yang terlihat berbinar-binar itu kembali bisa aku lihat. Suara tangis mama, menghiasi kamar kakak saat itu. Kali ini, kakak hanya bisa terbaring di ranjangnya tanpa bisa melakukan apapun.
Suatu hari, aku menjenguk kakak di rumah sakit sepulang sekolah. Melihat kakak menderita, aku sangat ingin sekali menangis. dengan sangat terpaksa, aku menahan air mata yang akan keluar dari mataku. Kemudian kakak mengelus rambutku dan tersenyum padaku. Kakak benar-benar terlihat tegar saat itu. Aku yakin dia pasti ingin sekali mengatakan sesuatu padaku, tapi, dia tidak bisa mengatakannya. Dia selalu membuka mulut dan berusaha mengucapkan sesuatu, tapi dia selalu menutup kembali mulutnya itu. Aku memegang wajah kakak yang bengkak setiap harinya itu. Kemudian aku tersenyum sambil menganggukkan kepala. Setelah 15 hari kakak bertahan untuk membuka matanya, akhirnya kakak kembali menutup matanya dan koma. Dan akhirnya, kakak benar-benar menutup kedua matanya dan tidak akan pernah membukanya lagi. Aku tidak akan pernah bisa melihat mata indah kakak lagi. Tidak akan pernah bisa memerhatikan senyuman indah kakak lagi. Lebih baik begini daripada kakak harus menahan rasa sakitnya terus-menerus. Kami semua sudah ikhlas dengan kepergian kakak untuk selama-lamanya. Penderitaan kakak cukup sampai disini. Ketegaran kakak untuk tetap hidup dan melihat keluarganya, hanya cukup sampai disini. Mungkin dengan ini, kakak akan tenang dan tidak akan merasakan penderitaan itu lagi.
Setelah mengantar kakak ke tempat peristirahatan terakhirnya, aku masuk ke kamar kakak. Kulihat foto-foto saat kita berdua masih bisa berpelukan dan tersenyum juga tertawa bersama. Kulihat meja belajar kakak yang terlihat dingin karena tidak pernah kakak gunakan lagi selama berbulan-bulan ini. senyuman kakak, aku hanya bisa melihatnya di foto-fotonya dulu. Kakak.. kenapa kakak harus tinggalin aku? Kak, kakak bilang aku akan melihat kakak yang dulu lagi. Kenapa kakak pergi begitu cepat? Sekarang aku sendiri disini, kak. Sekarang aku udah nggak bisa belajar bareng kakak lagi. Semua yang akan kulakukan di rumah ini, hanya sendiri. Tanpa ada kakak di sampingku. Setelah lama melihat foto-foto kakak, aku duduk di kursi meja belajar kakak dan mulai membuka buku-buku kakak yang kaku. Tiba-tiba sebuah surat terjatuh saat aku membuka salah satu lembaran buku kakak. Kuambil surat itu dan kubaca.
Selalu menyinari bumi walaupun kita tidak bisa meraihnya. Selalu berada diatas kepala kita setiap harinya. Walau kadang kita tidak menganggapnya ada, tapi dia idak pernah lepas menjalankan tugasnya untuk menyinari bumi. Ya, itulah matahari. Matahari.. aku ingin sekali menjadi matahari. Walaupun nanti aku akan pergi, aku masih mampu melindungi keluargaku. Walau nanti aku akan pergi, aku masih bisa melihat senyum dan tawa keluargaku. Sekuat apapun aku bertahan, aku yakin aku akan lelah. Aku yakin aku tidak akan bisa bertahan terlalu lama. Semua kenangan yang menyangkut diriku, aku ingin sekali mereka semua bisa melupakannya dengan cepat. Aku tidak mau membuat mereka ikut menderita. Cukup aku saja yang menderita. Mereka semua harus tersenyum apapun caranya. Bahkan, disaat terakhirku nanti, aku mau melihat senyuman mereka semua Tuhan.. karna hal itulah yang membuat aku kuat melangkah maju untuk hidup di kehidupan kedua nanti.
Jani, dialah adikku yang sangat aku sayangi. Jangan biarkan dia terlalu lama terlarut dalam kesedihan yang harusnya diakhiri dengan cepat ini Tuhan.. setelah waktunya tiba, biarkan aku menutup mata dengan bahagian dan sambil tersenyum menuju tempat terakhirku. Memang berat meninggalkannya tapi, ini sudah takdirku. Jika Engkau membuat senyum keluargaku, aku tersenyum Tuhan.. aku sayang mereka semua... :)
*****
Jakarta, 19 Januari 2012
*19 Januari, tepat disaat kakak berulang tahun dan saat seminggu kakak menderita penyakitnya yang mematikan. Kak, aku akan selalu tersenyum untukmu. :)
No comments:
Post a Comment